Seorang anak menuntut kepada kedua orang tuanya, “Ayah dan ibu yang menginginkan aku ada di dunia ini, yang bukan mauku, maka menjadi kewajiban ayah dan ibu untuk membahagiakanku.”
Lalu ayahnya menyampaikan kepada kami bahwa
beliau akan menuntut Allah SWT untuk membahagiakan keluarganya.
Tuntutan tersebut adalah wajar. Hanya salah alamat.
Mestinya tuntutan tersebut disampaikan kepada Allah SWT. Kenyataannya, hal ini
sudah dituangkan dalam QS Al Fatihah. Tentunya tuntutan tersebut pastinya akan
dipenuhi Allah SWT. Buktinya leluhur kita Nabi Adam (AS) diciptakan di surga,
sarana kehidupan bisa dipergunakan untuk menyenangkan kita.
Namun tentunya harus ada perjanjian yang wajib
kita penuhi dan yang paling utama adalah mengakui eksistensi Allah SWT dan
bersedia mengabdi kepada-Nya. Diantara isi perjanjian tersebut sebagaimana
disampaikan Nabi (SAW) lewat Mu’adz bin Jabal (RA) bahwasanya beliau berkata,
“Rasulullah (SAW) bersabda, “Allah Ta’ala berfirman:
· “Hai anak Adam, malulah kepada-Ku ketika
engkau bermaksiat, maka Aku malu kepadamu pada hari dipintakannya amal yang
lebih besar. Jika Aku malu padamu, maka Aku tidak akan menyiksamu.
Pada saat kita bermaksiat, biasanya kita tidak
ingat akan Allah SWT karena kecintaan kita akan perbuatan tersebut. Pun kalau
kita ingat, namun kecintaan kita akan kenikmatan membuat kita mengabaikan-Nya.
· Hai anak Adam, bertaubatlah engkau kepada-Ku,
niscaya Aku akan memuliakanmu seperti memuliakan para Nabi.
Dalam upaya memenuhi janji, sejatinya Allah
SWT banyak memberikan kemudahan-kemudahan, diantaranya adalah pertobatan. Namun
entah kenapa umat semakin sulit untuk mau mengakui salah?
· Hai anak Adam, janganlah kamu memalingkan
hatimu dari-Ku, maka Aku akan menghinakanmu dan Aku benar-benar tidak akan
menolongmu.
Kesenangan sudah menjadi target utama dalam
kehidupan ini dan sarana untuk mendapatannya adalah dengan memiliki uang. Bukan
saja menjadi target, uang juga sudah menjadi nilai. Buktinya orang yang
memiliki uang akan lebih dihormati. Akibatnya kesibukan dalam memperjuangan untuk
memperoleh uang ini memalingkan hati kita dari Allah SWT.
· Hai anak Adam, kalau kamu berjumpa Aku pada
hari Kiamat dimana kamu membawa amal-amal kebaikan seperti amal kebaikan
penduduk bumi, maka Aku tidak akan menerima amalmu sehingga kamu membenarkan
janji dan ancaman-Ku.
Kita melakukan amal ibadah didasarkan atas
persepsi kita sendiri. Bahkan persepsi itu sudah menjadi kebenaran yang
diyakininya. Padahal yang memiliki ini semua adalah Allah SWT, demikian pula
kebenaran akan janji dan ancaman-Nya. Kenapa kita tidak meminta penjelasan dan
pertolongan kepada-Nya daripada mempersepsikan sendiri dalam beramal?
· Hai anak Adam, sesungguhnya Aku adalah Pemberi
rezeki dan engkau yang Kuberi rezeki serta engkau tahu kalau Aku menepati
rezekimu, maka sekali-sekali engkau jangan berani meninggalkan ketaatanmu
pada-Ku sebab mengurus rezeki. Karena sesungguhnya jika kamu berani
meninggalkan ketaatanmu kepada-Ku sebab mengurus rezekimu, maka Aku memastikan
siksaan-Ku kepadamu.
Kita ketakutan akan kemiskinan bahkan mati
kelaparan. Padahal kita hidup dihidupkan dan sudah sepantasnya dihidupi oleh
Yang Menciptakan. Semestinya kesibukan mencari rezeki adalah bagian dari
ketaatan kita kepada Allah dan bukan sebaliknya, yaitu mengabaikan ketaatan
kita kepada-Nya karena sibuk mencari rezeki. Ini menandai bahwa kita semakin tidak
percaya kepada-Nya.
Hai anak Adam, peliharalah karena Aku lima
perkara itu, engkau pasti mendapatkan Surga.”””
Inilah perjanjian kita dengan Allah SWT yang
dituangkan dalam hadits Qudsi[1] terseebut.
Semoga Allah menolong kita untuk bisa memenuhi perjanjian tersebut.
Papahan, 2 Sya’ban 1445 atau 14 Feb 2024
[1] Syaikh Muhammad bin Abu Bakar Al ‘Ushfuri, Terjemah dari kitab Al
Mawa’idhul “Ushfuriyah, PT Karya Toha Putra, Semarang, 1993, hal. 31.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar