Salah satu bagian dalam istana Allah disebut syaghaf,
yang oleh Sayyidina Ali (KW) dijelaskan sebagai tempat terbitnya Mahabbatullah.
Di Al Quran juga terdapat istilah syaghaf yang diterjemahkan sebagai sangat
mendalam. QS Yusuf 12 ayat 30: Dan wanita-wanita di kota berkata, “Isteri Al
Aziz menggoda bujangnya untuk menundukkan dirinya, sesungguhnya cintanya kepada
bujangnya itu adalah sangat mendalam (syaghafa). Sesungguhnya kami memandangnya
dalam kesesatan yang nyata.”
Apakah maksudnya?
Untuk menjawab pertanyaan ini, tentunya yang
sahih dalam menjawab adalah Allah dan Rasulullah (SAW) yang menerima wahyu
berupa Al Quran tersebut. Allah tentunya sudah menjelaskan melalui Al Qur`an
dan Rasulullah (SAW) telah menjelaskan dalam Haditsnya. Namun karena
keterbatasan informasi yang kita terima dan penjelasan dari ahlinya belum
memuaskan, maka kita akan melakukan penelitian akan istilah tersebut dalam Al
Quran itu sendiri dengan tidak lupa memohon pemahaman kepada Allah.
Dari penjelasan ayat di atas, makna syaghaf
berhubungan dengan cinta yang sangat dalam. Bukankah setiap individu sangat
mencintai dirinya? Apalagi karena sang diri diciptakan untuk kesenangan.
Bukankah saat kita menyatakan, “Aku mencintaimu.”, sesungguhnya aku mencintai
diriku sendiri, dimana diriku akan bahagia dengan engkau di sisiku. Karena
cinta sejati atau cinta yang sangat dalam akan merelakan sang pecinta untuk
mengorbankan eksistensi dirinya. Namun akibat terperosok dalam mencari kesenangan
diri, dia menjadi lupa akan fitrahnya sebagai hamba dari Allah Yang Maha Kuasa.
Dengan demikian cinta yang sangat dalam itu berasal dari dirinya. Dia mencintai
dirinya sendiri dengan sangat dalam (syaghaf).
Pertanyaan selanjutnya adalah maukah kita
menerima kembali fitrah kita sebagai hamba ataukah kita tetap kepada keakuan
kita, seperti Iblis?
Semua itu adalah pilihan dengan manfaat dan resiko
yang akan dipertanggung-jawabkan sendiri-sendiri. Salah satu argumen yang
dilontarkan bagi yang tidak mau adalah bahwa keberadaan kita di alam dunia
adalah kehendak Ilahi, maka sudah sepantasnya Dia menyenangkan kita.
Argumen ini fitrah, namun juga menjadi hak
Ilahi untuk diakui keberadaan-Nya dan diabdi serta dipuja, sebelum kenikmatan
yang menjadi hak kita diberikan secara utuh.
Bagi yang mau, maka berjuanglah untuk
menanamkan kecintaan yang sangat dalam dari diri kepada Allah dalam sujudmu. Sikap
ini selalu kita lakukan dalam sholat saat sujud pertama. Ibaratnya mereka yang
sudah menyaksikan, mengetahui, mampu dan mau menerima Allah sebagai Ilah-nya
adalah sudah memasuki mihrab masjid. Bukankah mihrab adalah tempat kita
berperang menaklukkan diri sendiri dan mengubahnya menjadi cinta kepada Allah
secara mendalam?
Jangan lupa untuk selalu memohon kecintaan
Dia, kecintaan kepada hamba-hamba yang mencintai-Nya dan kecintaan kepada
amalan yang membuat kita dicintai-Nya. Karena hanya Allah lah yang bisa
memastikan terwujudnya kecintaan tersebut. Sedangkan upaya kita hanyalah
pendekatan untuk mencapai keberhasilan.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Papahan, 22 Syawal 1445 atau 1 Mei 2024
Sumber: Quran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar