Apa sejatinya makna fuw`ad yang merupakan tempat terbitnya ma'rifatullah?

Di Al Quran terdapat istilah fuw`ad yang diterjemahkan sebagai hati. Namun sejatinya apa yang dimaksud dengan fuw`ad?

Untuk menjawab pertanyaan ini, tentunya yang sahih dalam menjawab adalah Allah dan Rasulullah SAW yang menerima wahyu berupa Al Quran tersebut. Allah tentunya sudah menjelaskan melalui Al Qur`an dan Rasulullah SAW telah menjelaskan dalam Haditsnya, namun kita akan melakukan penelitian akan istilah tersebut dalam Al Quran itu sendiri.

Tafsir Al Quran per kata memaknanai fuw`ad dengan hati. Dengan terjemahan yang sama dengan qalbu, tentunya akan membingungkan umat. Marilah kita telaah ayat-ayat tentang fuw`ad ini untuk mendapatkan kepastian maknanya.

QS Al An’am 6 ayat 110: Dan Kami memutar-balikkan (wanuqallibu) hati mereka (af`idatahum) dan penglihatan mereka sebagaimana mereka tidak beriman kepadanya, pada pertama kali dan Kami biarkan mereka dalam kedurhakaan kebingungan.; dan pada ayat 113: Dan supaya cenderung kepadanya hati (af`idatu) orang-orang yang tidak beriman kepada hari Akhirat dan supaya senang kepadanya (bisikan setan) dan supaya mereka kerjakan apa yang (setan) mengerjakan. Fuw`ad di sini dihubungkan dengan kecenderungan hati, namun masih samar maknanya.

QS Hud 11 ayat 120: Dan Kami ceritakan kepadamu dari sebagian berita para Rasul (adalah) apa Kami teguhkan dengannya hatimu (fuw`adaka) dan telah datang kepadamu di dalam ini kebenaran dan pelajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman. Fuw`ad di sini ada hubungannya dengan keteguhan. Biasanya manusia memang tidak teguh dalam perjuangan mewujudkan cita-cita, apalagi bila semakin tinggi tingkat halangannya.

QS Ibrahim 14 ayat 37: Ya Rabb kami sesungguhnya aku menempatkan dari keturunanku di lembah tidak mempunyai tanaman di dekat Rumah Engkau dihormati. Ya Rabb kami agar mereka mendirikan sholat, maka jadikanlah hati (af`idatan) dari manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan agar mereka bersyukur. Fuw`ad dalam ayat ini ada hubungannya dengan rasa syukur, yaitu bilamana keinginan kita terwujud.

QS An Nahl 16 ayat 78: Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu tidak mengetahui sesuatu dan Dia anugerahkan bagi kalian pendengaran dan penglihatan dan hati (wal`af`idata) agar kalian bersyukur. Sama dengan QS Ibrahim 14 ayat 37 di atas.

QS Al Isra’ 17 ayat 36: Dan jangan kamu mengikuti apa yang tidak ada bagimu tentangnya pengetahuan. Sesungguhnya pendengaran dan penglihatan dan hati (walfuw`ada) tiap-tiap mereka itu tentang itu (akan) ditanya. Fuw`ad di sini ada hubungannya dengan pertanggungjawaban, yaitu berhubungan dengan niat / keinginan dan perbuatan.

QS Al Mu’minun 23 ayat 78: Dan Dia yang mengadakan bagi kalian pendengaran dan penglihatan dan hati (wal`af`idata). Amat sedikit kalian bersyukur. Sama dengan QS Ibrahim 14 ayat 37 dan QS An Nahl 16 ayat 78 di atas.

QS Al Furqan 25 ayat 32: Dan berkata orang-orang yang ingkar mengapa tidak diturunkan kepadanya Al Qur`an jumlah sekaligus? Demikianlah karena Kami hendak meneguhkan dengannya hatimu (fuw`adaka) dan Kami membacakannya bacaan yang tartil. Sama dengan QS Hud 11 ayat 120 di atas.

QS Al Qashash 28 ayat 10: Dan menjadi hati (fuw`adu) ibunda Musa kosong. Sungguh ia hampir menyatakan (rahasia) tentangnya, seandainya tidak Kami teguhkan atas hatinya (qalbiha) supaya ia adalah termasuk orang-orang yang beriman. Fuw`ad di sini ada hubungannya dengan kekecewaan atau kegagalan dalam mewujudkan keinginan.

QS As Sajdah 32 ayat 9: Kemudian Dia menyempurnakannya dan Dia meniupkan kedalamnya ruh-Nya dan Dia menjadikan bagi kalian pendengaran dan penglihatan dan hati (wal`af`idata), sedikit sekali kalian bersyukur. Sama dengan QS Ibrahim 14 ayat 37, QS An Nahl 16 ayat 78 dan QS Al Mu’minun 23 ayat 78 di atas.

QS Al Ahqaf 46 ayat 26: Dan sesungguhnya Kami meneguhkan kedudukan mereka di dalam hal tidak Kami meneguhkan kedudukanmu dalam hal itu dan Kami jadikan bagi mereka pendengaran dan penglihatan dan hati (wa`af`idatu). Tetapi tidak berguna bagi mereka pendengaran mereka dan tidak penglihatan mereka dan tidak hati mereka (`af`idatahum) sedikit juapun, karena mereka selalu mengingkari terhadap ayat-ayat Allah dan meliputi pada mereka apa yang mereka dengannya selalu memperolok-olok. Sama dengan QS Hud 11 ayat 120 dan QS Al Furqan 25 ayat 32 di atas.

QS An Najm 53 ayat 11: Tidak mendustakan hatinya (alfu`aadu) akan apa yang dia lihat. Ayat ini mengisahkan adanya suatu maqam dari diri seseorang.

QS Al Mulk 67 ayat 23: Katakanlah Dia yang menumbuhkan dan menjadikan bagi kalian pendengaran dan penglihatan dan hati (wal`af`idata), amat sedikit kalian bersyukur. Sama dengan QS Ibrahim 14 ayat 37, QS An Nahl 16 ayat 78, QS Al Mu’minun 23 ayat 78 dan QS As Sajdah 32 ayat 9 di atas.

QS Al Humazah 104 ayat 7: yang naik sampai ke hati (al-`af`idati). Bukankah keinginan yang tidak terwujud merupakan siksaan? Ini mirip dengan QS Al Qashash 28 ayat 10 di atas.

Dari penjelasan tersebut, bisa ditarik benang merahnya, yaitu makna fuw`ad adalah keinginan hati. Keinginan hati itu darimana munculnya? Tentunya berasal dari dalam hati, maqam dimana keinginan tersebut timbul. Kalau diamati lebih lanjut, ada perbedaan antara keinginan hati yang kemudian terseret oleh hawa nafsu tanpa petunjuk dengan keinginan hati yang murni atau hawa nafsu yang diberi hidayah atau rahmat Ilahi, yang sejatinya adalah kehendak Ilahi. Dengan demikian sang diri sudah mulai bisa memahami kehendak Ilahi, maka bisa dikatakan bahwa sang diri sudah semakin mengenal Rabb-nya. Dengan demikian benarlah pernyataan Sayyidina Ali KW bahwa fuw`ad adalah maqam terbitnya Ma’rifatullah. Barangkali dengan menyaksikan sang utusan yang disebut malaikat datang membawa perintah inilah yang dimaksud dengan QS An Najm 53 ayat 11 di atas. 

Namun bagaimanakah kita bisa membedakan antara hawa nafsu dengan keinginan yang merupakan kehendak Ilahi?

Hawa nafsu adalah fitrah manusia yang terdiri atas emosi dan ambisi, tidak akan bisa dipadamkan, tetapi bisa dikelola, yaitu dengan rahmat dan hidayah Ilahi. Untuk bisa mendapatkan rahmat dan hidayah Ilahi, tentunya diawali dengan sikap menghamba diri (shadr), mengimani (qalbu) dan selalu berupaya mi’raj ke hadirat-Nya (fuw`ad). Dengan bersikap memposisikan diri pada fuw`adnya, maka dia telah bersedia mendengar dan mentaati-Nya.

Pada maqam tersebut berjuanglah untuk menanamkan kepatuhan kepada Allah. Sikap ini selalu kita lakukan dalam sholat saat i’tidal. Ibaratnya mereka yang sudah menyaksikan, tahu, mampu dan mau menerima Allah sebagai Ilah-nya adalah sudah memasuki ruangan utama masjid. Bukankah Allah yang mengilhamkan kejahatan dan ketakwaan? QS Asy Syam 91 ayat 8 - 9: maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu kefasikan dan ketakwaan, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Mensucikan jiwanya berarti menempatkan sikapnya pada fitrahnya sebagai hamba Allah.

Hasil dari menanamkan ketundukan dan kepatuhan kepada Allah akan membuat kita semakin mudah memahami kehendak Ilahi dan semakin ringan menunaikan kewajiban.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Papahan, 12 Syawal 1445 atau 21 Apr 2024

Sumber: Quran 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Orang Jawa Menjelaskan Hakekat Manusia

Menyaksikan Keberadaan Rabbul 'alamin

Sugeng Kondur Bapak (Bapak Mas Supranoto)