Fitnah perpecahan ini sudah menjadi
ketentuan Allah, sebagai bagian dari pendidikan manusia. Bila memperhatikan
sejarah Islam, pada awalnya imam dan kepemimpinan (amir/khalifah) berada dalam
tangan yang satu, yaitu Nabi (saw), hamba Allah dengan akhlak terbaik. Hal ini
berlanjut hingga Khulafaur Rasyidin
dan Hasan (ra). Selanjutnya Hasan (ra) meletakkan jabatan amir dan hanya
menjadi imam umat, maka Muawiyah menjadi amir. Lalu keluarga Abbasiyyah yang mulanya mendukung
imam keturunan Nabi (saw) menghancurkan dinasti Umayyah tampil menguasai.
Bukannya mereda, malahan konflik antara
imam dengan amir semakin keras, hingga imam keturunan Nabi (saw) dijadikan
tahanan rumah dan pada zaman khalifah Al Mutamid dari dinasti Abbasiyyah imam
Abu Al Qasim Muhammad disembunyikan Allah bersamaan dengan wafatnya ayahnya
Hasan Al Askari pada tahun 874 M di penjara Samarra. Selanjutnya
tidak ada imam di antara umat, yang ada hanya amir/pemimpin negara.
Dengan ketiadaan imam di masyarakat, muncullah para pemikir yurisprudensi Islam dengan menelusuri Qurán dan hadits-hadits
Nabi (saw). Dari situlah muncullah berbagai madzab dan kelompok.
Diantaranya ada yang
menamakan dirinya sebagai kelompok Sunni sebagai bentuk perlawanan dengan
munculnya gerakan Syiah seabad setelah hilangnya Abu Al Qasim Muhammad.
Keberadaan kelompok Sunni ini ditandai dengan adanya program penulisan hadits
yang dipelopori oleh Bukhari (as) yang wafat pada tahun 870 M.
Konflik pun menjadi semakin keras dan berdarah-darah. Zaman berubah, muncul
para diktator lalu demokrasi. Dimana siapa saja bisa menjadi pemimpin asalkan
bisa didukung mayoritas masyarakat. Dengan demikian amanat sudah menjadi barang
perdagangan atau rampasan.
Karena sibuk dalam perbedaan dan
perpolitikan akhirnya masyarakat pun semakin jauh dari Allah dan semakin kuat
pula kecintaan kepada dunia. Dan sebagaimana fitrah Allah yang selalu mendorong
manusia untuk selalu ingat dan mengabdi kepada-Nya, maka bencana pun
turun sebagai pengingat agar manusia bertaubat dan kembali ke Allah. Nampaknya
tingkah laku kecintaan kepada dunia sudah semakin mendarah daging dan mulai
melingkupi seluruh sendi-sendi masyarakat, maka bencana pun semakin banyak mengalir.
Pengajaran agama pun menjadi terbalik-balik bilamana
dibandingkan dengan kenyataan. Orang hidup dalam ilusinya sendiri, hingga lupa
menggali kebenaran sejati. Mereka yang beragama bisa jadi tak bertuhan,
sedangkan yang bertuhan bisa jadi tak beragama. Dalam kisah Dajjal, air
disangka api, api disangka air.
Ibnu Abi Dunya
berkata, “Telah
menceritakan kepada kami Ar Rabi’ bin Tsaqlab, katanya, “Farj bin
Fadhalah menceritakan kepada kami riwayat dari yahya bin Sa’id, dari Muhammad
bin Ali, dari Ali (kw), katanya Rasulullah (saw) telah bersabda, “Jika umatku
telah melakukan lima belas perilaku, maka ia layak mendapatkan bala’
(bencana).”
Ditanyakan, “Apa
saja kelima belas perilaku itu ya Rasulullah?”
Beliau menjawab,
“Jika kekayaan hanya berputar pada kalangan tertentu, amanat menjadi barang
rampasan, zakat menjadi utang; seorang lelaki menurut pada istrinya dan
mendurhakai ibunya; berbuat baik kepada teman namun kasar terhadap ayahnya
sendiri; ditinggikannya suara-suara di masjid; yang menjadi pemimpin suatu kaum
adalah orang yang paling hina di antara mereka; seseorang dimuliakan karena
ditakuti kejahatannya; diminumnya khamr; dipakainya kain sutera; mengambil para
biduanita; dan orang-orang akhir dari umat ini telah melaknat orang-orang
terdahulu. Maka kalau sudah demikian, tunggulah datangnya angin merah,
pengamblesan bumi dan pengubahan bentuk.”
Dalam riwayat
lain: “… telah muncul perzinaan …, pada umat ini kelak ada orang-orang yang
menghabiskan malamnya dengan makanan, minuman dan musik dan … jika kaum
laki-laki sama kaum laki-laki dan kaum perempuan sama kaum perempuan.”
Ini adalah gambaran umat mendekati akhir
zaman, dimana akan banyak terjadi bencana alam. Angin merah bisa dimaknai
banyaknya kejadian peledakan dan kebakaran. Pengamblesan bumi diantaranya
adalah gempa, tsunami, banjir dan longsor. Sedangkan pengubahan bentuk, akan
semakin banyak orang yang berubah bentuknya, entah karena operasi plastik, operasi transgender dan lain-lain.
Semua kejadian pada masa kini menandakan
bahwa risalah para Nabi nampaknya sudah diabaikan atau
barangkali malahan sudah mengalami distorsi dari aslinya. Apakah manusia telah
berubah dari fitrahnya? Barangkali saat inilah
awalnya.
Ini
semua bisa terjadi akibat kegelapan pikiran manusia, karena intervensi
keakuannya. Apalagi ketika manusia sudah didogma dan diancam dengan ketakutan
akan adanya siksa yang mengerikan selamanya. Cahaya akal dan pengertian manusia
akan padam. Manusia hidup dalam kegelapan. Dalam kegelapan, manusia saling
berebut, saling menyikut bahkan bisa jadi saling membunuh.
QS
Al-Anaam 6 ayat 94: “Dan sesungguhnya kamu datang
kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya, dan
kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia) apa yang telah Kami karuniakan
kepadamu; dan Kami tiada melihat besertamu pemberi syafa'at yang kamu anggap
bahwa mereka itu sekutu-sekutu Tuhan di antara kamu. Sungguh telah terputuslah
(pertalian) antara kamu dan telah lenyap daripada kamu apa yang dahulu kamu
anggap (sebagai sekutu Allah).”
Penggunaan
pikiran (a7) dapat mengakibatkan kesesatan. Maksudnya dengan keakuannya (hawa
nafsunya) menunggangi pikirannya (a7) untuk mempersepsikan kebenaran. Misalnya
mereka membaca buku, kemudian menilai pernyataan dalam buku, ini benar dan
selain itu salah. Bukankah pemahaman berasal dari Yang Kuasa memberi pemahaman,
yaitu melalui pengertian (a6’’) yang ada dalam pikiran (a7) manusia? QS Thaha
20 ayat 114: “Maka Maha Tinggi Allah Raja yang sebenarnya dan janganlah kamu
tergesa-gesa membaca Al Quran sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu dan
katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu.”” Kisah berikut
menjelaskan perihal itu:
Ibnu
Syibrimah berkata, “Aku dan Abu Hanifah
bertamu ke rumah Ja’far ash-Shadiq.
Aku berkata kepadanya, “Ini adalah seorang laki-laki alim dari Irak.””
“Barangkali,
ia yang mengukur agama dengan pikirannya? Apakah ia Nu’man bin Tsabit? Aku
tidak mengetahui namanya,” timpal Ja’far ash-Shadiq.
Mendengar
ucapan itu, aku hanya diam.
Lalu Abu
Hanifah berkata, “Ya, aku orang yang anda maksud. Semoga Allah SWT memberikan
kebaikan kepadamu.”
“Bertakwalah
kepada Allah SWT dan jangan mengukur agama dengan pikiranmu! Sebab makhluk yang pertama kali
mengukur agama dengan pikiran
adalah Iblis, sekiranya ia
berkata, “Aku lebih baik daripada dia.” Maka ia melakukan kesalahan melalui
ukurannya itu. Ia telah tersesat.”
Ja’far
ash-Shadiq menambahkan, “Apakah engkau bisa mengukur dengan baik antara pikiranmu dengan jasadmu?”
“Tidak.”
Jawab Abu Hanifah.
“Wahai
engkau, beritahu aku, mengapa Allah SWT menciptakan asin pada dua mata dan
pahit pada dua telinga? Mengapa hidung berair dan rasa tawar pada dua bibir?”
“Aku
tidak tahu.” Jawab Abu Hanifah.
“Sesungguhnya,
Allah SWT menjadikan itu sebagai pemberian kepada hamba-Nya. Dua mata adalah
dua lemak, seandainya tidak asin niscaya akan rusak. Dua telinga sering
dimasuki oleh hewan kecil, seandainya tidak pahit rasanya, niscaya akan
menyakitinya. Dua lubang hidung menghirup udara yang bersih dan kotor,
seandainya tidak berair, niscaya tidak bisa mencium bau. Dua bibir untuk makan,
seandainya tidak peka rasa, niscaya tidak akan ada kenikmatan padanya,” jelas
Ja’far ash-Shadiq.
“Wahai
engkau, beritahu aku sebuah kalimat yang awalnya adalah syirik dan akhirnya
adalah iman?” Lanjut Ja’far ash-Shadiq.
“Aku
tidak tahu.”
“Kalimat
itu adalah laa ilaha illa Allah.”
“Beritahu
aku dua hal yang lebih besar dosanya, pembunuhan atau zina?” Lanjut Ja’far.
“Pembunuhan
lebih besar dosanya!” Jawab Abu Hanifah.
“Dalam
pembunuhan, Allah SWT menerima dua orang saksi, sedang dalam zina, Allah SWT
tidak menerimanya kurang dari empat!” Tegas Ja’far.
Abu
Hanifah pun terdiam.
“Mana
dua hal yang lebih utama, puasa atau sholat?” Tanya Ja’far.
“Sholat
lebih utama.”
“Kalau
begitu, mengapa Allah SWT mewajibkan orang haid mengqadha puasa, akan tetapi
tidak pada sholat?” Ungkap Ja’far.
Abu
Hanifah terdiam lagi.
“Wahai engkau, bertakwalah kepada Allah
SWT dan jangan berkata dengan pikiranmu dalam agama. Sebab kita akan berdiri
di hadirat Allah SWT dan kita akan berkata, “Allah SWT berkata, “Rasulullah (saw)
berkata, “Engkau dan teman-temanmu berkata, “Menurut kami.”””” Sesungguhnya
Allah SWT melakukan sesuatu kepada kita dan kalian sekehendak-Nya.” Jelas
Ja’far.