Minggu, 25 November 2012

Tahapan Kesempurnaan Manusia

Dalam upaya manusia memperjuangkan cita-citanya, sepintas semuanya nampak sederhana dan mudah. Namun pada kenyataannya tidak seperti itu. Ada hambatan dan tantangan yang harus dihadapi. Berbagai jenis hambatan dan tantangan digambarkan di alam ini, yaitu dalam bentuk lembah kenikmatan, jurang ketakutan, gurun kebosanan, gunung riya’, rimba sum’ah, lautan ujub dan kota keakuan. Dalam lembah kenikmatan orang tidak mau melakukan perubahan meski itu berupa kemajuan. Dia merasa semuanya sudah cukup, tak perlu diubah-ubah lagi. Ketika melihat jurang ketakutan, dia ketakutan untuk maju. Saat mengalami gurun kebosanan, orang akan malas melakukan kemajuan, ndak ada manfaatnya. Di atas gunung riya’, orang disibukkan dengan memamerkan dirinya? Dalam rimba sum’ah orang memamerkan kelebihannya. Lautan ujub menggambarkan keterlenaan akan kesombongannya. Dan dengan kota keakuannya, orang terjebak bahwa semua ini karena dirinya.
Tahapan Proses Perubahan Tekad Manusia
Demikian pula lembaga selain negara, semisal perusahaan. Perusahaan bukan wujud nyata, tetapi wujud imajiner. Keberadaananya hanya dinyatakan dalam selembar kertas yang diakui pemerintah. Meski lembaga imajiner, perusahaan mampu memberikan kenikmatan bagi pemilik, pengelola, rekanan bahkan masyarakat di sekitarnya.
Juga peristiwa terjadi tentu sudah ada citanya. Peristiwa semestinya dipandang secara positif sebagai wujud dari kuasa Ilahi untuk menyempurnakan kehidupan. Ambil contoh peristiwa kemacetan. Kalau orang-orang hanya mengeluh, maka kemacetan menjadi hukuman. Namun kalau orang-orang berfikir dan mau menggunakan pengertiannya, maka kemacetan merupakan tantangan. Tantangan bagaimana peradaban di tempat itu berkembang semakin sempurna, entah dengan solusi penguraian kemacetan ataukah alternatif moda transportasi. Kedua pilihan tersebut pasti akan menimbulkan proyek yang akan bermanfaat bagi orang banyak. Yang pasti ada suatu cita perihal transportasi, yaitu kecepatan dan ketepatan.
Sebelum terwujud, cita keberadaan tersebut sudah menjadi ketentuan (qadha) Ilahi. Ketentuan merupakan sabda Ilahi tersebut ditangkap melalui akal (a7’’) orang. Akal (a7’’) yang yang disimbolkan dengan malaikat Jibril memberikan cahaya kepada orang tersebut, termasuk cara mewujudkannya. Kemudian dengan cahaya tersebut orang menjadi mengerti (a6’’) lalu menyimpan informasi tersebut di memorinya (a5’’). Ini yang dimaksud dengan kitab kehidupan. Pelaksana atas cara yang dimaksud adalah utusan (rasul) atau wakil (khalifah). Oleh karena itu upaya sungguh-sungguh lah yang akan membuat ketentuan tersebut terwujud. Terwujudnya hanyalah menunggu waktu (akhirat) atas ketentuan Yang Kuasa.
Bagi umat Islam proses yang universal tadi dituangkan dalam dalil yang disebut dengan nama rukun Iman.
Ketentuan pelaksanaannya tentunya harus didasarkan atas perintah dari Yang Kuasa yang disampaikan melalui Rasul-Nya (Syahadat). Sebagai pelaksana, tentunya harus menjalankan cara yang telah dijelaskan (Sholat) dan memerlukan modal berupa kesucian dalam perjuangan (zakat). Untuk terwujudnya ketentuan yang dimaksud, diperlukan tekad yang teguh (Shaum). Dan ketika berhasil mewujudkannya sesuai dengan kualitas yang semestinya, maka pelaksananya akan dimuliakan (Haji).
Bagi umat Islam inilah yang dimaksud dengan rukun Islam.
Ukuran kualitas terwujudnya ketentuan bagi umat Islam disebut dengan Ihsan, yaitu sampai bisa menyaksikan keberadaan Kuasa.
Semuanya harus ada waktunya dan ada ujung akhirnya. Itulah yang bagi umat Islam disebut dengan Qiyamat.
Setiap manusia akan menjalani proses ini sesuai dengan tantangan zamannya masing-masing. Dan bagi mereka yang tidak bersungguh-sungguh, tentunya akan mengalami kegagalan. Bagi yang kurang sungguh-sungguh, pastinya akan memperoleh hasil yang ala kadarnya.
Qadha terjadi =1; Qadha tidak terjadi 0
Qadar (tingkat upaya) -100% hingga +100%
Gambar diagram Qadha - Qadar
Orang memang bermacam-macam. Ada yang sungguh-sungguh, ada yang semaunya. Bahkan ada yang tidak mau meninggalkan zona nyamannya. Otomatis setiap orang akan menempati maqamnya masing-masing di hadapan Yang Kuasa. 

Minggu, 11 November 2012

Arti Kekuasaan Dalam Kehidupan Manusia

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dari pernyataan dalam Pembukaan UUD 1945 di atas, jelas disebutkan bahwa kemerdekaan adalah atas berkat rahmat dari Allah Yang Maha Kuasa akibat dari keinginan luhur rakyat Indonesia. Jadi dengan adanya anugerah berupa kekuasaan, maka rakyat Indonesia dapat menyatakan kemerdekaannya dan terbebas dari penjajahan serta mulai mewujudkan cita-citanya melalui negara kesatuan Republik Indonesia. Ini berarti dengan anugerah kekuasaan, maka rakyat Indonesia bisa mendapatkan kenikmatan melalui negara.
Menurut penuturan Bapak, kekuasaan adalah wujud dari Kuasa. Sedangkan Kuasa sendiri berarti kemampuan mewujudkan apa saja dan dapat dibaca melalui keberadaan alam semesta. Karena Kuasa adalah kemampuan mewujudkan, maka Kuasa harus memiliki sifat mutlak, sempurna, tunggal tidak ada duanya, tak terbatas. Kuasa inilah yang dituhankan bangsa Indonesia dalam rangka mewujudkan cita-citanya. Dengan demikian Kuasa tidak lain adalah sarana manusia untuk mencari kebahagiaan melalui pemujaan, sehingga disebut dengan Allah Yang Maha Kuasa, itulah yang dituhankan.
Allah Yang Maha Kuasa tidak bisa diketahui, karena tidak ada dalam memori (a5’’) manusia. Bukankah pengetahuan adalah data yang diafirmasi oleh memori (a5’’)? Orang bisa saja mengetahui sesuatu dengan menggunakan panca indranya, yaitu semua wujud materi. Namun tanpa afirmasi dari memorinya, dia tidak akan mengetahui. Paling-paling dia akan menanyakan, apa itu? Pengertian (a6’’) bisa membuat seseorang mengerti walau tidak bisa menunjukkan wujud materinya, contohnya adalah gaya gravitasi. Orang bisa mengetahui kelakuannya, namun tidak bisa menunjukkan wujudnya. Pengertian adalah penyimpulan. Dengan pengertian, manusia bisa menarik manfaat, misalnya pengertian tentang tenaga listrik dimanfaatkan untuk membangun pembangkit listrik tenaga air.
Allah Yang Maha Kuasa, betul-betul tidak bisa diketahui. Namun dengan pengertian (a6’’) bisa dimengerti ada-Nya. Yaitu dengan adanya alam semesta ini yang merupakan jejak-jejak akan keberadaan-Nya. Sedangkan akal (a7’’) memberi solusi untuk percaya saja.
Namun sebagai pendekatan atas Kuasa yang tak terbatas, semestinya kekuasaannya meliputi alam semesta ini (A1 s/d A7), termasuk di dalamnya adalah awal (A). KekuasaanNya meliputi yang lahir maupun yang bathin. Sedangkan selama ini umat manusia menganggap keberadaan Tuhan hanya dari sisi bathin saja.
Dengan pengertian (a6’’), semestinya yang dimaksud dengan Allah Yang Maha Kuasa sudah semakin mudah dimengerti ada-Nya, yaitu yang diketahui melalui terbentuknya negara dan pemerintahan negara Republik Indonesia.
Dengan kekuasaan yang dimiliki oleh negara, maka negara harus mampu mewujudkan perannya, yaitu memberikan perlindungan, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial bagi warganya. Semuanya ini berujung kepada kenikmatan terutama untuk setiap warga negara, dimana kenikmatan itu bisa diperoleh karena adanya rahmat/anugerah berupa kekuasaan.
Bentuk-bentuk kekuasaan bukan hanya diwujudkan dalam bentuk negara, namun juga dengan keberadaan benda-benda baik riil, maupun imajiner dan peristiwa. Keberadaan wujud riil contohnya adalah rumah dan sebagainya. Sedangkan keberadaan imajiner diantaranya adalah selain negara adalah perusahaan dan sebagainya. Peristiwa juga merupakan wujud kekuasaan, misalnya peristiwa kemerdekaan NKRI pada 17 Agustus 1945.
Keberadaan pada awalnya hanyalah sebuah ide atau cita-cita (awal). Cita-cita tadi jangan hanya menjadi angan-angan. Harus ada yang mengambil keputusan atau Kuasa lebih, meski dihalangi oleh Kuasa negatif dan didorong oleh Kuasa positif. Cita-cita tersebut kemudian direka-reka untuk diwujudkan. Hingga terwujudlah gambaran akan cita-cita tersebut di akal (a7’’). Akal (a7’’) kemudian memberikan solusi berupa cara untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Cara ini oleh akal disampaikan kepada pengertian (a6’’) dan disimpan dalam memori (a5’’). Keakuan sebagai pelaksana kemudian menumbuhkan kemauan (a6’) dan perasaan (a5’) agar memerintahkan kemampuan (a5) untuk menggerakkan jasmaninya (a1 s/d a4) untuk mewujudkan ide tersebut. Kalau digambarkan sebagai berikut:
Gambar Siklus Perwujudan

Selasa, 06 November 2012

Fitnah adalah ujian keteguhan

Fitnah perpecahan ini sudah menjadi ketentuan Allah, sebagai bagian dari pendidikan manusia. Bila memperhatikan sejarah Islam, pada awalnya imam dan kepemimpinan (amir/khalifah) berada dalam tangan yang satu, yaitu Nabi (saw), hamba Allah dengan akhlak terbaik. Hal ini berlanjut hingga Khulafaur Rasyidin dan Hasan (ra). Selanjutnya Hasan (ra) meletakkan jabatan amir dan hanya menjadi imam umat, maka Muawiyah menjadi amir. Lalu keluarga Abbasiyyah yang mulanya mendukung imam keturunan Nabi (saw) menghancurkan dinasti Umayyah tampil menguasai.
Bukannya mereda, malahan konflik antara imam dengan amir semakin keras, hingga imam keturunan Nabi (saw) dijadikan tahanan rumah dan pada zaman khalifah Al Mutamid dari dinasti Abbasiyyah imam Abu Al Qasim Muhammad disembunyikan Allah bersamaan dengan wafatnya ayahnya Hasan Al Askari pada tahun 874 M di penjara Samarra. Selanjutnya tidak ada imam di antara umat, yang ada hanya amir/pemimpin negara.
Dengan ketiadaan imam di masyarakat, muncullah para pemikir yurisprudensi Islam dengan menelusuri Qurán dan hadits-hadits Nabi (saw). Dari situlah muncullah berbagai madzab dan kelompok. Diantaranya ada yang menamakan dirinya sebagai kelompok Sunni sebagai bentuk perlawanan dengan munculnya gerakan Syiah seabad setelah hilangnya Abu Al Qasim Muhammad. Keberadaan kelompok Sunni ini ditandai dengan adanya program penulisan hadits yang dipelopori oleh Bukhari (as) yang wafat pada tahun 870 M. Konflik pun menjadi semakin keras dan berdarah-darah. Zaman berubah, muncul para diktator lalu demokrasi. Dimana siapa saja bisa menjadi pemimpin asalkan bisa didukung mayoritas masyarakat. Dengan demikian amanat sudah menjadi barang perdagangan atau rampasan.
Karena sibuk dalam perbedaan dan perpolitikan akhirnya masyarakat pun semakin jauh dari Allah dan semakin kuat pula kecintaan kepada dunia. Dan sebagaimana fitrah Allah yang selalu mendorong manusia untuk selalu ingat dan mengabdi kepada-Nya, maka bencana pun turun sebagai pengingat agar manusia bertaubat dan kembali ke Allah. Nampaknya tingkah laku kecintaan kepada dunia sudah semakin mendarah daging dan mulai melingkupi seluruh sendi-sendi masyarakat, maka bencana pun semakin banyak mengalir.
Pengajaran agama pun menjadi terbalik-balik bilamana dibandingkan dengan kenyataan. Orang hidup dalam ilusinya sendiri, hingga lupa menggali kebenaran sejati. Mereka yang beragama bisa jadi tak bertuhan, sedangkan yang bertuhan bisa jadi tak beragama. Dalam kisah Dajjal, air disangka api, api disangka air.
Ibnu Abi Dunya berkata, “Telah menceritakan kepada kami Ar Rabi’ bin Tsaqlab, katanya, “Farj bin Fadhalah menceritakan kepada kami riwayat dari yahya bin Sa’id, dari Muhammad bin Ali, dari Ali (kw), katanya Rasulullah (saw) telah bersabda, “Jika umatku telah melakukan lima belas perilaku, maka ia layak mendapatkan bala’ (bencana).”
Ditanyakan, “Apa saja kelima belas perilaku itu ya Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Jika kekayaan hanya berputar pada kalangan tertentu, amanat menjadi barang rampasan, zakat menjadi utang; seorang lelaki menurut pada istrinya dan mendurhakai ibunya; berbuat baik kepada teman namun kasar terhadap ayahnya sendiri; ditinggikannya suara-suara di masjid; yang menjadi pemimpin suatu kaum adalah orang yang paling hina di antara mereka; seseorang dimuliakan karena ditakuti kejahatannya; diminumnya khamr; dipakainya kain sutera; mengambil para biduanita; dan orang-orang akhir dari umat ini telah melaknat orang-orang terdahulu. Maka kalau sudah demikian, tunggulah datangnya angin merah, pengamblesan bumi dan pengubahan bentuk.”
Dalam riwayat lain: “… telah muncul perzinaan …, pada umat ini kelak ada orang-orang yang menghabiskan malamnya dengan makanan, minuman dan musik dan … jika kaum laki-laki sama kaum laki-laki dan kaum perempuan sama kaum perempuan.”
Ini adalah gambaran umat mendekati akhir zaman, dimana akan banyak terjadi bencana alam. Angin merah bisa dimaknai banyaknya kejadian peledakan dan kebakaran. Pengamblesan bumi diantaranya adalah gempa, tsunami, banjir dan longsor. Sedangkan pengubahan bentuk, akan semakin banyak orang yang berubah bentuknya, entah karena operasi plastik, operasi transgender dan lain-lain.
Semua kejadian pada masa kini menandakan bahwa risalah para Nabi nampaknya sudah diabaikan atau barangkali malahan sudah mengalami distorsi dari aslinya. Apakah manusia telah berubah dari fitrahnya? Barangkali saat inilah awalnya.
Ini semua bisa terjadi akibat kegelapan pikiran manusia, karena intervensi keakuannya. Apalagi ketika manusia sudah didogma dan diancam dengan ketakutan akan adanya siksa yang mengerikan selamanya. Cahaya akal dan pengertian manusia akan padam. Manusia hidup dalam kegelapan. Dalam kegelapan, manusia saling berebut, saling menyikut bahkan bisa jadi saling membunuh.
QS Al-Anaam 6 ayat 94: Dan sesungguhnya kamu datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya, dan kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia) apa yang telah Kami karuniakan kepadamu; dan Kami tiada melihat besertamu pemberi syafa'at yang kamu anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu Tuhan di antara kamu. Sungguh telah terputuslah (pertalian) antara kamu dan telah lenyap daripada kamu apa yang dahulu kamu anggap (sebagai sekutu Allah).
Penggunaan pikiran (a7) dapat mengakibatkan kesesatan. Maksudnya dengan keakuannya (hawa nafsunya) menunggangi pikirannya (a7) untuk mempersepsikan kebenaran. Misalnya mereka membaca buku, kemudian menilai pernyataan dalam buku, ini benar dan selain itu salah. Bukankah pemahaman berasal dari Yang Kuasa memberi pemahaman, yaitu melalui pengertian (a6’’) yang ada dalam pikiran (a7) manusia? QS Thaha 20 ayat 114: “Maka Maha Tinggi Allah Raja yang sebenarnya dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al Quran sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu dan katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu.”” Kisah berikut menjelaskan perihal itu:
Ibnu Syibrimah berkata, “Aku dan Abu Hanifah[1] bertamu ke rumah Ja’far ash-Shadiq[2]. Aku berkata kepadanya, “Ini adalah seorang laki-laki alim dari Irak.””
“Barangkali, ia yang mengukur agama dengan pikirannya? Apakah ia Nu’man bin Tsabit? Aku tidak mengetahui namanya,” timpal Ja’far ash-Shadiq.
Mendengar ucapan itu, aku hanya diam.
Lalu Abu Hanifah berkata, “Ya, aku orang yang anda maksud. Semoga Allah SWT memberikan kebaikan kepadamu.”
“Bertakwalah kepada Allah SWT dan jangan mengukur agama dengan pikiranmu! Sebab makhluk yang pertama kali mengukur agama dengan pikiran adalah Iblis, sekiranya ia berkata, “Aku lebih baik daripada dia.” Maka ia melakukan kesalahan melalui ukurannya itu. Ia telah tersesat.”
Ja’far ash-Shadiq menambahkan, “Apakah engkau bisa mengukur dengan baik antara pikiranmu dengan jasadmu?”
“Tidak.” Jawab Abu Hanifah.
“Wahai engkau, beritahu aku, mengapa Allah SWT menciptakan asin pada dua mata dan pahit pada dua telinga? Mengapa hidung berair dan rasa tawar pada dua bibir?”
“Aku tidak tahu.” Jawab Abu Hanifah.
“Sesungguhnya, Allah SWT menjadikan itu sebagai pemberian kepada hamba-Nya. Dua mata adalah dua lemak, seandainya tidak asin niscaya akan rusak. Dua telinga sering dimasuki oleh hewan kecil, seandainya tidak pahit rasanya, niscaya akan menyakitinya. Dua lubang hidung menghirup udara yang bersih dan kotor, seandainya tidak berair, niscaya tidak bisa mencium bau. Dua bibir untuk makan, seandainya tidak peka rasa, niscaya tidak akan ada kenikmatan padanya,” jelas Ja’far ash-Shadiq.
“Wahai engkau, beritahu aku sebuah kalimat yang awalnya adalah syirik dan akhirnya adalah iman?” Lanjut Ja’far ash-Shadiq.
“Aku tidak tahu.”
“Kalimat itu adalah laa ilaha illa Allah.”
“Beritahu aku dua hal yang lebih besar dosanya, pembunuhan atau zina?” Lanjut Ja’far.
“Pembunuhan lebih besar dosanya!” Jawab Abu Hanifah.
“Dalam pembunuhan, Allah SWT menerima dua orang saksi, sedang dalam zina, Allah SWT tidak menerimanya kurang dari empat!” Tegas Ja’far.
Abu Hanifah pun terdiam.
“Mana dua hal yang lebih utama, puasa atau sholat?” Tanya Ja’far.
“Sholat lebih utama.”
“Kalau begitu, mengapa Allah SWT mewajibkan orang haid mengqadha puasa, akan tetapi tidak pada sholat?” Ungkap Ja’far.
Abu Hanifah terdiam lagi.
“Wahai engkau, bertakwalah kepada Allah SWT dan jangan berkata dengan pikiranmu dalam agama. Sebab kita akan berdiri di hadirat Allah SWT dan kita akan berkata, “Allah SWT berkata, “Rasulullah (saw) berkata, “Engkau dan teman-temanmu berkata, “Menurut kami.”””” Sesungguhnya Allah SWT melakukan sesuatu kepada kita dan kalian sekehendak-Nya.” Jelas Ja’far.


[1] Abu Hanifah wafat pada 767 M adalah pendiri madzab Yurisprudensi Islam Hanafi.
[2] Keturunan Nabi (saw) yang dijadikan rujukan dalam penerapan Islam. Beliau wafat pada 13 Desember 765 M.

Persiapkan Dirimu Menghadapi Fitnah Akhir Zaman

Aku berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. Dengan Asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Dzat yang...