Kekuasaan Yang Disebut Dengan Allah Yang Maha Kuasa

Kalau ada yang bertanya, siapa yang memelihara kamu? Umumnya orang akan menjawab Tuhan atau Allah. Padahal kenyataannya orang dipelihara oleh alam yang dipersonifikasikan sebagai Sang Hyang Jagad atau Rabbul álamin atau Tuhan semesta alam. Pernahkah kita mengungkapkan rasa syukur kepada-Nya?
Bagaimana pula jawaban kita kalau ditanya siapakah yang melindungi kamu? Hampir pasti jawabannya sama. Padahal kenyataannya kita dilindungi oleh negara dan pemerintahannya. Kita tidur dijaga negara. Kita tidak perlu membuat listrik sendiri, disediakan oleh negara.
Lalu dalam kehidupan, siapa yang memerintah kita sehingga kita sibuk beraktifitas? Jawabannya pun juga sama. Padahal kenyataannya kita beraktifitas karena perintah dari alam. Sebagai contoh kita makan, bukankah karena didorong oleh rasa lapar?
Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut ditariklah suatu garis merah kesamaan bahwa keberadaan segala sesuatu di alam ini merupakan bentuk-bentuk kekuasaan. Dengan demikian  kekuasaan adalah hasil karya dari Kuasa. Padahal kuasa bersifat mutlak. Tanpa kemutlakan, bukan kuasa. Tapi kenapa kuasa selama ini dianggap milik Yang Kuasa? Kalau benar begitu, maka kuasa menjadi tidak kuasa. Kuasa wajib menguasai, berarti harus ada yang dikuasai. Kuasa tanpa ada yang dikuasai adalah kebohongan.
Merenungkan hal ini Bapak menarik kesimpulan bahwa apa yang tergelar ini adalah bentuk-bentuk kekuasaan. Kuasa dan yang dikuasai adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan atau dengan bahasa lain disebut Yang Kuasa. Karena Kuasa mutlak, pasti tidak ada duanya, tunggal, maka Yang Kuasa adalah mutlak. Dari dahulu, sekarang maupun nanti ya tetap dalam kesempurnaan.
Mana Yang Kuasa itu? Kebanyakan manusia merasa sudah bertemu dengan Yang Kuasa tersebut. Padahal sebenarnya mereka ditipu, akibat dari sok tahu. Kalau Yang Kuasa diketahui, maka Dia menjadi tidak kuasa. Bukankah segala sesuatu yang dikuasai manusia selalu berawal dari diketahui terlebih dulu? Yaitu bisa diinderai.
Barangkali karena kerumitannya ini, maka orang pun berupaya menyatakan keberadaan Yang Kuasa. Bentuk-bentuk pernyataan akan keberadaan Yang Kuasa bermacam-macam, dari bangunan berupa  rumah, tonggak batu hingga patung. Masing-masing memiliki penjelasannya, misalnya bangunan berupa rumah seperti contoh Ka’bah adalah simbol tempat pertemuan antara Yang Kuasa dengan hamba-Nya. Tonggak batu seperti Lingga-Yoni melambangkan asal-usul kehidupan seseorang berasal dari bapak dan ibu. Patung awalnya sebagai pemujaan kepada seseorang yang pada saat kehidupannya adalah pahlawan masyarakat. Dalam istilah Islam disebut tawasul.
Demikian pula karena kebiasaan orang berfikir harus ada subyeknya, maka pada zaman sekarang dipilihlah kata Tuhan sebagai subyek yang bersifat Ilahiyah. Padahal kata Tuhan menurut ahli bahasa Remy Silado berasal dari orang Belanda untuk menterjemahkan kata God dalam Injil. Namun menurut Agus Sunyoto kata Tuhan berasal dari bahasa Jawa Kuno yang artinya Penguasa Positif bukan Yang Kuasa mutlak atau Tu. Sedangkan penguasa negatif disebut hantu. Bagi mereka yang mengerti tidak masalah, namun kasihan bagi mereka yang tidak mengerti.
Dengan demikian Kuasa tersebut ditandai dengan sebutan Allah Yang Maha Kuasa. Dalam Pembukaan UUD’45 yang dituhankan oleh bangsa Indonesia, disebut dengan Allah Yang Maha Kuasa. Dalam pelaksanaan pemerintahan, mengingat banyaknya agama yang dianut di Indonesia dengan berbagai sebutan, maka digunakan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Barangkali maksud awal dari frasa tersebut adalah izin dari negara untuk menyebut Tuhan masing-masing agama dan kepercayaan dengan sebutan masing-masing asalkan berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari frasa ini kemudian ditafsirkan oleh pejabat negara sebutan Tuhan bagi bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Tuhan Yang Maha Esa.
Kata Esa dimaknai sebagai tunggal dan tidak ada duanya. Walaupun ada juga yang menyatakan bahwa Esa berarti yang ini, yaitu Yang meliputi ini semua.
Anehnya, ketika Gubernur Bank Indonesia mencetak mata uang kertas, mereka menggunakan kalimat “dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa …” dan pada kenyataannya mereka semua masuk penjara. Bahkan nilai rupiah pun merosot terhadap Dollar Amerika. Apakah pernyataan “Dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa” kalah oleh “In God we trust” bagi bangsa Amerika? Apakah ini masalah keyakinan (Trust) ataukah masalah kesalahan dalam penyebutan Tuhan?
Dari catatan sejarah tentang pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia memang terjadi perbedaan pendapat tentang sebutan Tuhan. Bagi umat Islam, Kristen dan Katolik tidak mempermasalahkan sebutan Allah, karena ada dalam Kitab Sucinya. Bagi pengikut agama Budha dan Hindu tentunya menjadi masalah, sehingga mereka menyetujui dalam Pembukaan UUD 1945 digunakan kalimat “Atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa …”. Namun kenyataan yang terjadi dan sampai sekarang diterima, Pembukaan UUD 1945 tetap menggunakan kalimat “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa …”.
Jadi memang benar bahwa yang memberi kekuasaan kepada bangsa Indonesia adalah Allah Yang Maha Kuasa. Dengan anugerah-Nya berupa kekuasaan dan didorongkan dengan cita-cita luhur bangsa Indonesia, maka kekuasaan tersebut diwujudkan dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dan demi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia bahkan untuk umat manusia, sebutan Tuhan Yang Maha Esa bisa diterima dengan pengertian bahwa yang dimaksud adalah Yang Kuasa yang dituhankan.
QS Al Isra’ 17 ayat 110: “Katakanlah: Serulah Allah atau serulah Ar Rahman! Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaul husna ….”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Orang Jawa Menjelaskan Hakekat Manusia

Menyaksikan Keberadaan Rabbul 'alamin

Sugeng Kondur Bapak (Bapak Mas Supranoto)