Kuasa yang disimbolkan dengan (🟊) adalah kemampuan berbuat apa saja.
Kuasa pasti mutlak, sempurna, tunggal tiada duanya. Kuasa harus ada yang
dikuasai, yaitu Aku-Nya. Kuasa dengan yang dikuasai atau Aku-Nya merupakan
suatu kesatuan utuh yang tak terpisahkan. Aku sebagai yang dikuasai tidak
memiliki kemampuan apapun, namun memiliki dorongan untuk memiliki (keakuan).
Kuasa kemudian menciptakan alam, hingga tercipta makhluk yang paling sempurna,
yaitu manusia (A7).
Dengan adanya penciptaan, Aku yang
dikuasai menguat dorongan ingin memilikinya, sehingga dia melakukan makar tidak
mau mengakui keberadaan Kuasa. Bahkan ingin dikuasainya. Oleh karena itu Aku
yang dikuasai disabda turun ke alam, diantaranya adalah ke manusia (A7). Aku
yang dikuasai ini dididik di alam manusia agar bisa sadar diri, yaitu sebagai
yang dikuasai atau hamba atau utusan atau khalifah.
Manusia (A7) merupakan puncak dari cipta
Kuasa melalui evolusi alam. Kemudian individu manusia atau orang (a7) dikeluarkan
dari alam manusia dan dijadikan wadah bagi sabda dari Kuasa untuk menggembleng Aku
yang dikuasai yang makar. Dengan disabda turun ke seseorang, maka orang
Indonesia menyebut dirinya dengan sebutan “saya”. Menurut orang Jawa “saya” ini
adalah Suksma Kesiku, yaitu suksma yang sedang menjalani hukuman.
Aku yang dikuasai ini disabda untuk
turun menjadi saya dan terikat dalam jasmani orang (a7). Jasmani orang yang
tercipta dari elemen api (A1) dijadikan sebagai wadah untuk mendidik saya agar
tahu diri. Dalam proses pendidikannya, saya seharusnya bisa bermanifestasi
menjadi Suksma Sejati atau Aku Yang Kuasa melalui arahan akal (a7’’). Saya
disabda turun hingga ke dalam hati (a6), dimana dilengkapi dengan perasaan (a5’)
dan kemauan (a6’).
Proses penggodogan di kehidupan dunia
agar saya menjadi ingat kembali (saya <<< a5’’) akan fitrah dirinya,
hingga mengerti atau sadar (saya <<< a6’’) akan perannya dan cerdas (saya
<<< a7’’) dalam mensikapi hidupnya. Proses penggodogan ini harus melalui
kesediaan saya untuk menerima kenyataan hingga memperoleh pemahaman dari
pengertian (a6’’) dan dengan percaya (l),
maka saya bisa kembali kepada Kuasa. Di tahap inilah saya pantas disebut
sebagai hamba atau utusan atau khalifah Allah atau Insan Kamil.
Inilah pemahaman saya atas penjelasan
bapak Mas Supranoto dengan kalimat “Ingsun sejatine utusan”. “Winengku dening
Sang Hyang Jagad”, bermakna sebagai utusan yang hidup di alam dunia dihidupi
oleh alam. “Kinasih Gusti Kang Moho Kuwoso”, maksudnya jelas bahwa saya
dicintai oleh Gusti Yang Maha Kuasa. Sebagai Utusan dari Yang Maha Kuasa di
dunia tentunya saya termasuk kategori yang dipercayai. Untuk apa saya diutus?
Sedangkan saya adalah yang dikuasai, jadi saya sejatinya tidak bisa apa-apa.
Ternyata saya diutus untuk membangun peradaban yang mengantar manusia kepada
kenikmatan. Inilah makna dari “urip amangun gesang”. Tujuannya agar
mengupayakan hidup seimbang, tentram-damai dan jauh dari masalah, yaitu “ngudi
urip laras, tentrem-ayem, adoh ing sambikolo”. Ibarat Semar membangun
kahyangan.
Sedangkan jasmani (a1 s/d a4) akan menjadi
wadah dari saya dalam menjalankan peran hidup di dunia. Saya yang diberi nama berhadapan
dengan alam untuk belajar mengenali fitrah jati dirinya dan menjadi pelaksana
atas perintah-perintah dari Yang Kuasa. Sebagai pelaksana seseorang dilengkapi sarana
bathin berupa daya (a5), hati (a6), pikiran (a7).
Melalui proses perkembangan
kesempurnaan dirinya, pada tahap awal orang akan terseret oleh akunya dan
menggunakan jasmaninya untuk memuaskan diri (saya >>> a1 s/d a4).
Dimana kegiatan hidupnya hanyalah menjalankan memerintahkan jasmani untuk makan,
bereproduksi dan mempertahankan hidupnya dengan menggunakan sarana panca
indra/sense. Seperti manusia purba.
Selanjutnya saya akan menyeret daya
raga (saya >>> a5). Dia akan
cenderung suka menilai, mencela, mengumpat, menyalahkan.
Lalu saya akan menyeret perasaan hati
(saya >>> a5’). Dia akan terbawa perasaan hati, hingga seperti orang
kerasukan. Wataknya gampang tersinggung.
Kemudian saya akan menyeret kemauan (saya
>>> a6’), dimana dia akan didorong untuk menggali nikmat lebih. Kemauan
yang berada di dalam dada. Dia akan cenderung mengambil manfaat pada setiap
kesempatan bagi dirinya. Kemauan (a6’) ini akan membawanya kepada watak
kesetanan.
Lalu dia akan menyeret pikiran (saya
>>> a7). Keakuannya akan menguat, watak Iblis akan muncul. Dia menjadi
enggan dan takabur.
Saya juga dilengkapi dengan memori (a5’’)
yang berada di otak. Ketika saya bisa menempatkan dirinya pada memori (saya
<<< a5’). Saya akan diingatkan akan dirinya, ingat akan asal usulnya. Saya
diingatkan akan sangkan parannya. Saya diingatkan akan adanya Kuasa. Namun
sebaliknya kalau saya menguasai memori (saya >>> a5’’), maka saya akan
memiliki kebiasaan menilai dengan nilai saya. Akibatnya saya tetap dalam
kesesatan bahkan bisa terhukum.
Bagaimana cara saya untuk bisa
memasuki wilayah memorinya (a5’’)?
Salah satu cara adalah dengan melihat
kenyataan dan diterima faktanya hingga ke dalam diri saya yang ada dalam hati.
Kenyataan ini harus diterima apa adanya. Setelah itu baru dimunculkan
pertanyaan kenapa Yang Kuasa membuat ini terjadi? Pada awalnya saya akan
terjebak kepada keadaan positif dan negatif. Saya akan cenderung mengupayakan
yang positif dan menolak yang negatif. Dengan penerimaan atas fakta kejadian,
saya diingatkan bahwa kejadian adalah bentuk kekuasaan. Berarti dibalik
kenyataan atas peristiwa terdapat kehendak Yang Kuasa berupa cita atas
peristiwa tersebut. Kejadian atas peristiwa tersebut adalah karena adanya kuasa
lebih yang berasal dari izin Yang Kuasa. Di saat inilah saya akan teringat akan
keberadaan Yang Kuasa.
Dari ingat tadi, dia kemudian ditarik
kepada pengertiannya, sehingga dia mengerti atau sadar (aku <<< a6’’).
Dia sadar akan peran dan tugasnya. Sadar bahwa dia hidup di dunia ini adalah
sedang digembleng dalam narloka agar kembali kepada asalnya.
Setelah mengerti atau sadar, lalu aku
mau apa? Ditariklah aku kepada akalnya (aku <<< a7’’), dimana dia
menjadi cerdas karena sudah mendapatkan kepastian akan jalannya. Pun kalau dia
tidak mengerti, dia akan mengambil keputusan untuk percaya kepada Kuasa.
Saya dengan akal (a7’’), pengertiannya
(a6’’) dan memori (a5’’) berinteraksi dengan alam lahir (A1 s/d A7) dan juga
dengan Yang Bathin («|l|A). Secara total, maka dia berinteraksi
dengan Allah Rabbul álamin. Dari hasil interaksi ini, dia menarik kesimpulan
bahwa ada hal-hal yang dia tidak tahu, disebut sebagai ilmu mistik/klenik (A10),
pendekatannya dengan kepercayaan. Ada pula hal-hal yang sifatnya berupa dugaan
atau ilmu teori/karang atau ada makna dibalik itu yang disebut filsafat (A9). Dan
ada wujud-wujud di alam sehingga disebut dengan ilmu pasti (A8) karena sudah
bisa diinderai keberadaannya. Ketiga ilmu ini merupakan satu kesatuan proses,
proses perwujudan apa saja. Contoh, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
dulunya tidak ada. Lalu ada dalam bentuk cita-cita. Ini berarti masih di A10.
Lalu pada saat rapat persiapan kemerdekaan, semua pendiri bangsa ilmul yaqin
bahwa NKRI akan segera terwujud. Dan betul bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945,
NKRI berdiri. Secara keilmuan, NKRI tidak ada, lalu menjadi ide/cita-cita, lalu
menjadi teori NKRI pada benak para pendiri bangsa dan akhirnya dinikmati oleh
setiap warga NKRI. Dengan demikian, bukankah alam pikiran adalah alam surgawi?
Akhirnya saya menyadari bahwa semua ini
adalah kegiatan dari Yang Kuasa atau Allah Rabbul ‘alamin diwujudkan melalui
upaya manusia. Ini bisa disebut dengan proses menurun (tanazul), yaitu mewujudkan keberadaan Yang Kuasa dari alam ruhani
hingga ke alam jasmani. Demikian pula sebaliknya, saya ketika menjalani
kehidupan harus berhadapan dengan kesengsaraan. Ini berarti saya hidup dalam
api neraka (narloka). Untuk bisa bebas dari kesengsaraan, saya perlu kembali
kepada Yang Kuasa. Sehingga disini ada proses menaik (taraqi/ mi’raj), saya kembali kepada Kuasa. Proses menaik ini bisa juga
disebut dengan sholat.
Proses menurun dan menaik ini
seharusnya teraplikasi dalam kehidupan orang setiap saat. Dengan demikian alam
semesta ini akan berkeseimbangan. Karena peran orang yang sudah mengerti akan
fitrah jati dirinya. Sebaliknya yang tidak mengerti akan fitrah jati dirinya
adalah sumber kerusakan alam semesta.
Jadi terbukti bahwa rumus A atau
wahyu Jagad Pitu bisa dipergunakan untuk menjelaskan potret kehidupan, terutama
manusia dan bisa menjelaskan siapa yang dimaksud dengan Yang Kuasa. Walau hanya
sekedar pengertian, mengingat Dia adalah ghaib. Yaitu tidak bisa diketahui. Dan
terbukti bahwa semuanya ini adalah bahasan pikiran (a7), dimana semuanya
tercakup di dalamnya.
Konon ketika Yang Kuasa menciptakan
manusia dan meminta kesaksian sayanya, maka seluruh manusia bersaksi kepada-Nya. Ketika Dia menciptakan
dunia, maka 90% saya manusia lari kepada dunia dan tersisa
10% yang masih menerima-Nya sebagai Tuhannya.
Kemudian ketika Surga diciptakan, maka
dari sisa yang 10%, 90% saya lari menuju Surga dan meninggalkan Yang Kuasa. Maka yang tersisa adalah 10% dari 10%
umat manusia atau 1% dari keseluruhan
umat manusia yang
masih bersedia berserah diri kepada Allah. Itulah kelompok orang-orang yang bisa kembali kepada
sumbernya tanpa muatan.
Bagi mereka yang belum sadar selama
hidup di dunia, masih harus menghadapi gemblengan selanjutnya, yaitu alam kubur
yang dingin. Alam yang bisa diketahui kepastian adanya, namun terbatas
informasi tentang bagaimana proses yang berlangsung di dalamnya. Diduga,
bilamana beruntung bisa memperoleh ampunan, yaitu melalui amalan selama hidup
di dunia yang masih bisa dimanfaatkan oleh orang lain untuk ingat akan Yang
Kuasa. Dalam Islam disebutkan dalam hadits Muslim: “Jika seseorang meninggal dunia,
maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariyah, ilmu
yang dimanfaatkan atau doa anak sholeh.” Ini adalah bentuk kasih sayang dari
Yang Kuasa. Sedangkan mereka yang sudah sadar selama di dunia akan menikmati
masa tunggu bersama Yang Kuasa.
Bagaimana dengan mereka yang belum
juga mendapatkan ampunan? Konon dalam kehidupan di padang Mahsyar tanpa makanan
saya baru bisa mengerti dan ada yang diberi ampunan, yaitu melalui pertolongan
(syafaat). QS Maryam 19 ayat 85-86:
“Pada hari Kami mengumpulkan orang-orang yang bertakwa kepada Allah Yang Maha
Pemurah sebagai putusan yang terhormat. Dan Kami akan menghalau orang-orang
yang durhaka ke neraka Jahanam dalam keadaan dahaga.” Tidak dipungkiri tetap
saja ada yang tidak mau mengerti (kafir), tidak mau menerima (munafik) bahkan
dengan keras berpaling (musyrik), hanya Yang Kuasa yang tahu apa yang terjadi
dengan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar