Senin, 25 Februari 2013

Sholat - I'tidal

Di atas kemampuan (a5) terdapat perasaan hati (a5’). Tanpa perasaan hati, jasmani dan kemampuan akan diam tak beraktifitas. Melalui perasaan hati (a5’) manusia inilah, maka terjadilah aktifitas untuk mencari kenikmatan. Perkembangan peradaban diakibatkan oleh perasaan hati (a5’) manusia untuk mendapatkan kenikmatan lebih dari Allah. Kemauan ini muncul setelah mendapatkan ide (ilham), baik berupa kejahatan maupun kebaikan. Manusia-manusia yang tidak terjebak dalam kebenaran subyektif telah mampu mengelola ilham kejahatan dan kebaikan, untuk mendapatkan manfaat terbesar baginya. Sebagai contoh, seringkali malas melakukan perjalanan jauh dengan berjalan kaki, hal ini akan mengilhami untuk menciptakan sarana transportasi, yang akan memudahkan bepergian, hingga berkembanglah teknologi transportasi.
Mereka yang keakuannya sangat mencintai perasaan hatinya (a5’) akan menjadi loba dan tamak. Namun dengan kemampuannya mereka mampu mengekspresikan perasaan hati (a5’) untuk mendapatkan kenikmatan atau dalam rangka menjalankan tugas melalui berbagai media. Media yang bisa digunakan beragam, bisa media tulis, instalasi, suara dan lain-lain.
Karena memiliki perasaan hati (a5’) setelah mendapat ilham, maka manusia disebut dengan sebutan an nafs al mulhamah atau an nafs as sufiyyah. QS Asy Syams 91 ayat 7-10, “Dan diri (jiwa) serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada diri (jiwa) itu kefasikan dan ketakwaan. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” Suluk Linglung menggambarkannya dengan warna merah, “Iya tudhuh nepsu tan becik, sakabehe pepinginan, metu saking iku, panas baran papinginan, ambuntoni maring ati ingkang ening, maring ing kawekasan.”
Gambarannya adalah seperti pedagang, pengusaha dan lain-lainnya yang berupaya untuk mendapatkan untung atau faedah sebesar-besarnya. Akibatnya adalah eksploitasi sumber daya alam dan manusia hanya demi yang namanya keuntungan tanpa mampu melihat dampak global. Dengan keuntungan tersebut manusia menjadi loba dan tamak, lupa kepada Allah, hingga dihadapkan dengan kebangkrutan, kehancuran dan lain-lain. Pada saat itulah, mereka akan ingat kepada Allah dan mengharapkan pertolongan-Nya. Mereka mulai memahami makna bersyukur dan mulai memahami bahwa Allah lah tujuannya. QS Ath Thuur 52 ayat 48, “Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhan, maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhan ketika kamu bangun berdiri.”
Dengan demikian bisa difahami bahwa al fuad merupakan tempat terbitnya ma’rifatullah. QS An Najm 53 ayat 11, “Hatinya (al fuad) tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.” Mereka sudah memahami dan menetapkan bahwa kenikmatan tertinggi adalah Allah itu sendiri. Mereka inilah yang dianggap beruntung, karena telah mensucikan dirinya hingga mampu menetapkan tujuannya.
Orang yang sudah mengerti bahwa perasaan hati (a5’) beserta jiwanya akan menyembah Rabb semesta alam dengan bangkit berdiri i’tidal, dengan sikap bersyukur melalui pujian kepada Allah Al Hamid, Sami’ Allahu liman Hamidahu, Rabbana wa laka Al-Hamdu. Ajaklah sang jiwa yang terikat oleh perasaan hati (a5’) untuk tunduk kepada Allah, tetapi mengakui bahwa perasaan hati (a5’) tersebut berasal dari Rabbul ‘alamin. Dan semoga mendapat kemuliaan diterima di ruang istana Al FuadNya.

Rabu, 20 Februari 2013

Sholat - Ruku'

Pada setiap wujud selalu terdapat kekuatan atau kemampuan (qudrat) yang membuat wujud tersebut ada, bahkan ada yang memiliki kemampuan beraktifitas. Tanpa adanya qudrat tersebut, maka wujud tersebut akan hancur musnah. Kekuatan tersebut berada pada inti atau sang diri dari masing-masing perwujudan, yaitu diwakili oleh sayanya. Keberadaan qudrat ini bisa dikenali dengan daya (a5) berupa indra dan motorik seseorang.
Daya tersebut juga memunculkan adanya penilaian seperti positif-negatif, sehingga seseorang cenderung suka meremehkan, mencela, tidak menghormati kepada yang berbeda posisinya. Sampai kemampuan mereka dicabut atau mengalami musibah atau mendapatkan pencerahan, sehingga mereka menyesali dirinya, seperti digambarkan QS Al Qiyamah 75 ayat 2, “Dan Aku bersumpah dengan jiwa (diri) yang amat menyesali (an nafs al lauwwammah).” Suluk Linglung menggambarkannya dengan warna kuning, “kuwasane neng gulang sebarang, cipta kang becik dadine, panggawe amrih hayu, ati kuning ingkang ngadhangi, mung panggawe pan rusak, linantur jinurung.”
Akibat penilaian positif – negatif, orang tidak sadar bahwa dia berada di jurang kesesatan, sebagaimana firman Allah dalam QS Al Mu’minuun 23 ayat 52-54, “Sesungguhnya ini adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku. Kemudian mereka menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka. Maka biarkanlah mereka dalam kesesatannya sampai suatu waktu.”
Bahkan berada di jurang kemusyrikan, sebagaimana firman Allah dalam QS Ar Ruum 30 ayat 30-32, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah sholat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.”
Permasalahan hidup yang dialami manusia akan memaksa manusia untuk kembali ingat kepada Allah, melalui munculnya pengetahuan akan ketidak-mampuan dirinya. Sang diri yang mengetahui ketidak-mampuannya akan hadir meminta pertolongan kepada yang dianggapnya mampu menolongnya. Bilamana yang dituju adalah Allah dan muncul sikap bersedia menyembah kepada Allah dengan ketundukan diri melalui sikap menghormati-Nya, maka iman mulai terbit dalam dirinya. Tempat di dalam diri yang memiliki kemampuan penilaian ini disebut dengan qalbu. Ali (kw) menyebutkan bahwa qalbu merupakan tempat terbitnya keimanan kepada Allah, sebagaimana firman Allah dalam QS Al Mujaadilah 58 ayat 22, “.... Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati (qalbu) mereka dan menguatkan mereka dengan ruh yang datang daripada-Nya. ....”
Bilamana menyadari bahwa orang tidak mampu dan mengetahui bahwa ada Allah yang memiliki kemampuan tak terbatas, maka tubuhnya secara fitrah akan menghormat dengan tunduk, dengan ruku’ hingga akunya pun ikut tunduk menghormat kembali kepada Yang Kuasa. Berbeda dengan mereka yang mendustakan karena yakin dengan kemampuan pribadinya. Digambarkan dalam QS Al Mursalatin 77 ayat 47-48, “Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan. Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ruku’lah”, niscaya mereka tidak mau ruku'.”
Melalui sikap menghormat dan menyadari bahwa orang sebenarnya tidak berkemampuan, maka akan mendorongnya berhenti dari sikap mencela, baik mencela orang lain maupun diri sendiri. Maka pantaslah Allah memerintahkan untuk ruku’ sebagaimana disebutkan dalam QS Al Mursalatin ayat 47-48 di atas. Orang berkehendak menyerahkan daya (a5) kepada Allah, hingga akunya ikut. Karena sesungguhnya, kemampuan tersebut adalah milik Allah sendiri yang tak terkalahkan, Subhana Rabbiy Al ‘Azhim.
Oleh karena itu marilah ruku’ untuk menghormat kepada Allah, berikan penghormatan diri tersebut kepada Allah sampai disambut-Nya. Dan tanamkan keimanan kepada Allah hingga ke dalam diri kita, sampai tercelup qudratnya ke dalam qudrat Allah yang tak ada batasnya dan kembalikan kepada Sang Pemilik qudrat. Yaa Allah semua wujud, semua kejadian adalah bentuk kekuasaan Engkau yang tak terkalahkan, tak terbatas. 

Minggu, 17 Februari 2013

Sholat - Berdiri

Ini adalah posisi pengamatan dan penelitian terhadap alam materi. Dengan demikian posisi awal saya adalah yang cinta kepada jasmaninya (a1 s/d a4), yaitu berada di alam al mulk wa asy syahadah atau alam “katon” karena dikenali dengan indra.
Di posisi ini, aku yang cinta pada jasmani (a1 s/d a4) memiliki kecenderungan (hawa) yang senantiasa bersemangat karena didorong oleh naluri atau perintah (amr) untuk dipuaskan. Orang selalu didorong oleh semangat untuk mendapatkan kepuasan jasmaniah, seperti makan, minum, syahwat dan lain-lain. Intinya adalah adanya dorongan diri untuk mempertahankan hidup dan kenikmatan jasmaniah, melalui dorongan emosi dan dorongan ambisi.
Mengingat dalam mencapai kepuasan tanpa mengenal aturan dan moralitas, maka Al Qur’an menyebut dengan diri yang memerintahkan kepada kejahatan (An nafs al amarrah bi al-suu’). QS Yusuf 12 ayat 53, “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabb. Sesungguhnya Rabb Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Orang Jawa menggambarkannya dalam suluk Ling Lung di atas sebagai hati yang berwarna hitam (hijau kehitaman); yaitu yang “luwih prakosa, panggawene serengen sebarang runtik, dursila angambra-ambra. Iya iku ati kang ngedhangi, ambuntoni marang kabecikan, kang ireng iku karyane.”
Dalam proses memuaskan dirinya, saya selalu diingatkan Rabb melalui musibah berupa kegagalan. Karena hanya dengan kegagalan lah saya akan sadar bahwa mereka memerlukan pertolongan. Sehingga kesadaran kepada Tuhan muncul ketika mereka ini diambil kesenangannya. Mereka mengalami frustasi dan ingat kepada Tuhan-nya karena membutuhkan pertolongan-Nya. Sang diri yang terikat pada jasmani ini, kemudian ingat kepada Tuhan-nya.
Sedemikian patuhnya raga kepada saya, maka akan muncul kebiasaan-kebiasaan yang tidak suci. Ini harus dikembalikan kepada Yang Maha Suci sebagai Pemiliknya.
QS Az Zumar 39 ayat 22: “Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah dadanya (ash shadr) untuk (menerima) agama Islam, lalu ia mendapat cahaya dari Tuhan-nya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.”
Bagi yang sudah bersikap dan bersedia melaksanakan penyembahan kepada Allah, secara fitrah mereka melakukannya secara fitrah dengan berdiri, hingga saya ikut berdiri bersama raganya (a1 s/d a4) untuk menyerahkan diri kepada Yang Kuasa dengan sarana kepercayaannya. Seperti diperintahkan Allah dalam QS Al Baqarah 2 ayat 238: “... Berdirilah untuk Allah dengan tekun (qanitiyna).” Oleh karena itu sambil berdiri, ingatlah dengan menyebut Allah dalam dirimu. QS Al A’raaf 7 ayat 205: “Dan ingatlah Rabb dalam dirimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.”
Hal ini dilakukan hingga raga dan jiwa tenang, yang artinya proses pengembalian berlangsung dengan baik.

Sabtu, 09 Februari 2013

Sholat

Seorang anak bertanya kepada ayahnya, untuk apa melakukan sholat?
Untuk mengingat Allah.
Lalu si anak berkata, “Kalau tujuan sholat adalah mengingat Allah, untuk apa harus melakukan berdiri ruku’, sujud, duduk dalam sholat dan diulang-ulang? Bukankah kita bisa mengingat Allah sambil duduk, sambil tiduran dan lain-lain.”
“Kamu betul nak, namun renungkanlah, untuk apa kita berjuang mendapatkan gelar? Untuk apa kita bersusah payah meniti karir? Untuk apa kita berpeluh keringat berlatih?”
Si anak menjawab, “Ya untuk mendapatkan keberhasilan.”
“Nah, kalau begitu manusia akan berhasil menjadi mulia, terhormat, terpuji adalah akibat dari perjuangannya, betulkah?
Dan si anak mengangguk.
Bagaimana sikap dan tindakan kita kalau Yang kita muliakan tiba?
Berdiri.
Bagaimana sikap dan tindakan kita kalau memberi hormat kepada Yang kita muliakan?
Menunduk.
Bagaimana sikap dan tindakan kita kalau menyerahkan diri?
Pasrah, bersujud kalau perlu.
Kalau begitu, sholat adalah bentuk sikap seseorang dalam menyembah kepada Tuhan-nya melalui oleh gerak tubuhnya.
Setiap aktifitas selain reflek atau kebiasaan selalu didasari atas tujuan (Qiblat). Wujud dari pelaksanaan tujuan adalah Bait. Lalu apa sebenarnya yang menjadi tujuan sholat, seandainya sholat adalah bentuk Baitullah?
Dari dialog di atas, sholat merupakan upaya untuk mengingat Allah, yaitu dengan mengingat Allah, seseorang mewujudkan kehadiran Allah dalam kehidupannya. Bukankah dengan sholat kita menandai keberadaan-Nya?
Namun timbul pertanyaan dalam diri, kalau hanya itu bukankah bisa dilakukan tanpa harus melakukan gerakan sholat?
Upaya lebih lanjut dalam penyempurnaan sholat adalah melalui menjawab pertanyaan di atas. Secara kenyataan bahwa seseorang akan merasakan nikmat kalau memiliki kuasa. Berarti setiap orang menginginkan memiliki kuasa karena dengan kuasa tersebut dia mewujudkan kemauannya. Kalau pernyataan ini didalami dari sudut pandang ketuhanan, maka setiap orang akan memperoleh kenikmatan kalau bisa kembali bersama Yang Kuasa.
Untuk bisa kembali kepada Yang Kuasa demi memperoleh nikmat, maka perlu syarat-syarat yang wajib dipenuhi. Untuk bisa menyatu kembali bersama Yang Kuasa, tentunya tidak boleh ada muatan lain. Mutlak hanya ada satu muatan, yaitu kembali kepada-Nya karena Dia. Artinya muatan apa pun harus ditanggalkan.
Muatan-muatan apa sebenarnya yang harus ditanggalkan?
Sebagai individu manusia atau orang yang terdiri atas raga, ruh dan jiwa, dimana raga dikeluarkan dari kesatuan alam dan jiwa diturunkan dari Aku Yang Kuasa, maka jiwa beserta kelengkapannya inilah yang harus disucikan. Muatan pertama adalah raga (a1 s/d a4), kemudian dari sisi bathin adalah indra dan daya gerak (a5), perasaan hati (a5’), kemauan (a6’), memori (a5’’), pengertian (a6’’) dan akal (a7’’). Inilah yang harus disucikan, setelah sebelumnya dirusak oleh keakuan.
Timbul pertanyaan lagi, bagaimana mensucikan jiwa beserta kelengkapannya?
Kata mensucikan berarti dikembalikan kepada Yang Kuasa. Barangkali itu adalah tujuan sholat beserta gerakan dan bacaannya.

Persiapkan Dirimu Menghadapi Fitnah Akhir Zaman

Aku berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. Dengan Asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Dzat yang...