Ini adalah posisi pengamatan dan
penelitian terhadap alam materi. Dengan
demikian posisi awal saya
adalah yang cinta kepada jasmaninya (a1 s/d a4), yaitu berada di alam al mulk wa asy syahadah atau alam
“katon” karena dikenali dengan indra.
Di posisi ini, aku yang cinta pada jasmani (a1 s/d
a4) memiliki kecenderungan (hawa) yang senantiasa bersemangat
karena didorong oleh naluri atau perintah (‘amr) untuk dipuaskan. Orang selalu didorong oleh semangat untuk
mendapatkan kepuasan jasmaniah, seperti makan, minum, syahwat dan lain-lain.
Intinya adalah adanya dorongan diri untuk mempertahankan hidup dan kenikmatan
jasmaniah, melalui dorongan emosi dan dorongan ambisi.
Mengingat dalam mencapai kepuasan tanpa mengenal
aturan dan moralitas, maka Al Qur’an menyebut dengan diri yang memerintahkan
kepada kejahatan (An nafs al amarrah bi al-suu’). QS Yusuf 12 ayat 53, “Dan aku
tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu
menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabb. Sesungguhnya Rabb Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Orang Jawa menggambarkannya dalam suluk Ling Lung di atas sebagai
hati yang berwarna hitam (hijau kehitaman); yaitu yang “luwih prakosa, panggawene serengen sebarang runtik, dursila
angambra-ambra. Iya iku ati kang ngedhangi, ambuntoni marang kabecikan, kang
ireng iku karyane.”
Dalam proses memuaskan dirinya, saya selalu diingatkan Rabb melalui musibah berupa kegagalan. Karena hanya dengan
kegagalan lah saya akan sadar bahwa mereka memerlukan
pertolongan. Sehingga kesadaran kepada Tuhan muncul ketika mereka ini diambil kesenangannya. Mereka mengalami frustasi dan ingat
kepada Tuhan-nya karena membutuhkan pertolongan-Nya. Sang diri yang terikat pada jasmani ini,
kemudian ingat kepada Tuhan-nya.
Sedemikian patuhnya raga kepada saya,
maka akan muncul kebiasaan-kebiasaan yang tidak suci. Ini harus dikembalikan
kepada Yang Maha Suci sebagai Pemiliknya.
QS Az Zumar 39 ayat 22: “Maka apakah orang-orang yang dibukakan
Allah dadanya (ash shadr) untuk
(menerima) agama Islam, lalu ia mendapat cahaya dari Tuhan-nya (sama dengan orang yang membatu
hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya
untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.”
Bagi yang sudah bersikap dan bersedia
melaksanakan penyembahan kepada Allah, secara
fitrah mereka melakukannya secara
fitrah dengan
berdiri, hingga saya ikut berdiri
bersama raganya (a1 s/d a4) untuk menyerahkan diri kepada Yang Kuasa dengan
sarana kepercayaannya. Seperti diperintahkan Allah dalam QS Al
Baqarah 2 ayat 238: “... Berdirilah untuk Allah dengan tekun (qanitiyna).” Oleh karena itu sambil berdiri, ingatlah
dengan menyebut Allah dalam dirimu. QS Al A’raaf 7 ayat 205: “Dan ingatlah Rabb
dalam dirimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak
mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk
orang-orang yang lalai.”
Hal ini dilakukan hingga raga dan jiwa tenang, yang artinya
proses pengembalian berlangsung dengan baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar