Seorang
anak bertanya kepada ayahnya, untuk apa melakukan sholat?
Untuk
mengingat Allah.
Lalu si
anak berkata, “Kalau tujuan sholat adalah mengingat Allah, untuk apa harus
melakukan berdiri ruku’, sujud, duduk dalam sholat dan diulang-ulang? Bukankah
kita bisa mengingat Allah sambil duduk, sambil tiduran dan lain-lain.”
“Kamu
betul nak, namun renungkanlah, untuk apa kita berjuang mendapatkan gelar? Untuk
apa kita bersusah payah meniti karir? Untuk apa kita berpeluh keringat
berlatih?”
Si anak
menjawab, “Ya untuk mendapatkan keberhasilan.”
“Nah,
kalau begitu manusia akan berhasil menjadi mulia, terhormat, terpuji adalah
akibat dari perjuangannya, betulkah?
Dan si
anak mengangguk.
Bagaimana
sikap dan tindakan kita kalau Yang kita muliakan tiba?
Berdiri.
Bagaimana
sikap dan tindakan kita kalau memberi hormat kepada Yang kita muliakan?
Menunduk.
Bagaimana
sikap dan tindakan kita kalau menyerahkan diri?
Pasrah,
bersujud kalau perlu.
Kalau
begitu, sholat adalah bentuk sikap seseorang dalam
menyembah kepada Tuhan-nya melalui
oleh gerak tubuhnya.
Setiap aktifitas selain reflek atau
kebiasaan selalu didasari atas tujuan (Qiblat). Wujud dari pelaksanaan tujuan adalah
Bait. Lalu apa sebenarnya yang menjadi tujuan sholat, seandainya sholat adalah
bentuk Baitullah?
Dari dialog di atas, sholat merupakan upaya untuk mengingat Allah, yaitu
dengan mengingat Allah, seseorang mewujudkan kehadiran Allah dalam kehidupannya.
Bukankah dengan sholat kita menandai keberadaan-Nya?
Namun timbul pertanyaan dalam diri,
kalau hanya itu bukankah bisa dilakukan tanpa harus melakukan gerakan sholat?
Upaya lebih lanjut dalam
penyempurnaan sholat adalah melalui menjawab pertanyaan di atas. Secara
kenyataan bahwa seseorang akan merasakan nikmat kalau memiliki kuasa. Berarti
setiap orang menginginkan memiliki kuasa karena dengan kuasa tersebut dia
mewujudkan kemauannya. Kalau pernyataan ini didalami dari sudut pandang
ketuhanan, maka setiap orang akan memperoleh kenikmatan kalau bisa kembali
bersama Yang Kuasa.
Untuk bisa kembali kepada Yang Kuasa
demi memperoleh nikmat, maka perlu syarat-syarat yang wajib dipenuhi. Untuk
bisa menyatu kembali bersama Yang Kuasa, tentunya tidak boleh ada muatan lain.
Mutlak hanya ada satu muatan, yaitu kembali kepada-Nya karena Dia. Artinya
muatan apa pun harus ditanggalkan.
Muatan-muatan apa sebenarnya yang
harus ditanggalkan?
Sebagai individu manusia atau orang
yang terdiri atas raga, ruh dan jiwa, dimana raga dikeluarkan dari kesatuan alam
dan jiwa diturunkan dari Aku Yang Kuasa, maka jiwa beserta kelengkapannya
inilah yang harus disucikan. Muatan pertama adalah raga (a1 s/d a4), kemudian
dari sisi bathin adalah indra dan daya gerak (a5), perasaan hati (a5’), kemauan
(a6’), memori (a5’’), pengertian (a6’’) dan akal (a7’’). Inilah yang harus
disucikan, setelah sebelumnya dirusak oleh keakuan.
Timbul pertanyaan lagi, bagaimana
mensucikan jiwa beserta kelengkapannya?
Kata mensucikan berarti dikembalikan kepada Yang Kuasa.
Barangkali itu adalah tujuan sholat beserta gerakan dan bacaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar