Ulul Azmi


Dalam upaya memahami Tuhan Sang Pencipta alam semesta, kita umumnya cenderung berupaya memahaminya melalui buku, bertanya kepada yang kita anggap pakar dalam bidang tersebut. Akibatnya ada sebagian dari kita yang terjebak dalam pemahaman yang kita anggap benar bahkan sampai kita yakini dengan teguh. Sebagai contoh adalah pemahaman menurut versi agama kita masing-masing, yang akan mendorong kita untuk berupaya sekuat mungkin mempertahankan apa yang kita yakini, bahkan dengan membunuh (membunuh secara karakter bahkan fisik) mereka-mereka yang berseberangan.

Padahal yang memahami Tuhan adalah Tuhan sendiri.

Coba renungkan dalam diri kita, apakah betul bahwa kita sudah mengenal Tuhan? Pasti akan muncul keraguan dalam hati kita. Karena fitrah kita sebagai manusia adalah memiliki keyakinan setelah kita mendapatkan kesaksian, yang dalam ilmu kehidupan disebut dengan verifikasi atau konfirmasi melalui pengamatan (inspection) dan pengujian (testing). Selama kita tidak mendapatkan kesaksian, maka hati kita akan selalu dalam keraguan.

Lalu kita ini harus bagaimana?

Bilamana kita renungkan perjalanan hidup, kita diingatkan ketika mulai belajar di sekolah. Kita waktu itu masih tidak memiliki pengetahuan apa pun, masih kosong, hanya sekedar bisa hadir di sekolah. Di sana kita diam, menyimak pengajaran dari guru kita. Kita bersikap meyakini bahwa akan menerima sesuatu dari sang guru, yakni pengetahuan baru.

Lalu siapakah guru kita? Dimanakah sekolah kita?

Guru dan sekolah yang kita maksud haruslah berlaku untuk semua manusia, berlaku universal. Tentunya jawabannya ya hanya satu dan pasti benar serta kita yakini, yaitu Tuhan adalah satu-satunya Sang Guru yang sejati (istilah Rabb dalam Al Qur’an bermakna Sang Guru, makanya di STAIN terdapat fakultas Tarbiyah atau fakultas Pendidikan) dan sekolah kita adalah alam semesta tempat kita hidup ini.

Karena kita saat ini telah mendeklarasikan diri kita sebagai makhluk berpengetahuan, makhluk cerdas, maka kita akan memiliki dorongan untuk mengukur kebenaran pengajaran Tuhan bahkan akan mengkoreksi pengajaran-Nya.

Bilamana kita mau merenung, maka akan tampak bahwa kita masih dalam keraguan, dalam kebingungan dan dalam ketidak-yakinan. Sampai-sampai Tuhan mengingatkan melalui peristiwa sejarah yang kemudian dicatat dalam kitab suci Al Qur’an dan Hadits:

“Malaikat berkata kepadanya, “Bacalah!”

Jawab Nabi saw, “Aku tidak bisa membaca.”

Malaikat itu serta merta merangkul Nabi saw, sehingga Nabi saw kepayahan. Kemudian Nabi saw dilepaskannya, lalu katanya, “Bacalah!”

Jawab Nabi saw, “Aku tidak bisa membaca.”

Karena itu Nabi saw dirangkulnya untuk kedua dan ketiga kali, sehingga Nabi saw kepayahan. Kemudian Nabi saw dilepaskannya, lalu katanya, “Bacalah atas nama Tuhanmu yang mencipta. Yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmu itu Maha Pemurah. Yang mengajar manusia. Yang mengajar manusia apa-apa yang tidak diketahuinya.”

Yaa Tuhanku, betapa bodoh diriku, hingga berani menempatkan diriku di atas-Mu hanya dengan bermodalkan kemampuan yang kumiliki. Seolah-olah Engkau adalah buku bacaan yang dengan mudah akan bisa kupelajari.

Yaa Tuhanku, betapa takaburnya diriku, sedangkan Engkau adalah Tuhan Semesta Alam, Sang Pencipta, Sang Pendidik, Al ‘Alim.

Yaa Tuhan-ku, aku mohon ampun aku bertaubat, AKU TIDAK BISA MEMBACA tapi aku BERSEDIA beribadah kepada-Mu dengan sukarela, dengan suka cita.

Yaa Tuhan-ku, Yaa Karim, tetapkanlah kami dengan ilmu dan pemahaman dari-Mu, dan dengan akhlaq yang Engkau muliakan serta jadikanlah kami hamba-hamba-Mu yang menyembah dengan mengenal-Mu (ma’rifatullah) dengan selalu hadir ke hadirat-Mu.

Salam dan shalawat kepada Nabi saw atas teladan dan doa yang beliau upayakan kepada seluruh umat manusia.

Segala puji untuk-Mu, yaa Rabbul’alamin.


Tuban, 28 Agustus 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Orang Jawa Menjelaskan Hakekat Manusia

Menyaksikan Keberadaan Rabbul 'alamin

Sugeng Kondur Bapak (Bapak Mas Supranoto)