Syekh Melaya segeralah kemari!
Masuklah ke dalam tubuhku[1]!”
Syekh Malaya terhenyak hatinya. Keluarlah tawanya bahkan sampai mengeluarkan
air mata, seraya berkata dengan halus, “Melalui jalan manakah usaha saya untuk
masuk? Padahal nampak oleh saya buntu semua.”
Nabi
Khidhir berkata dengan lemah lembut, “Besar mana kamu dengan bumi semua ini
beserta isinya, hutan rimba dan samudera serta gunung? Tidak bakal penuh bila
dimasukkan ke dalam tubuhku.” Syekh Malaya setelah mendengarnya, semakin takut
sekali namun bersedia melaksanakan masuk ke dalam Nabi Jagad.
“Ini
melalui telingaku[2].”
Sunan Kalijaga masuk dengan segera. Ajaib dengan cepat ia sudah sampai ke dalam
tubuh Nabi Khidhir, melihat samudera luas tiada bertepi. Sejauh mata memandang
semakin diamati semakin jauh tampaknya. Pada saat itulah Nabi Khidhir bertanya,
“Hai apa yang kamu lihat?” Syekh Malaya menjawab, “Ya jauh tak ada yang
kelihatan.
Angkasa
raya yang kujelajahi, kosong melompong jauh tak kelihatan. Kemana saja tidak
tahu arah utara selatan, barat timur pun tidak kami kenal lagi, bawah dan atas
serta muka juga belakang, saya tak mampu membedakan, bahkan semakin
membingungkan.” Nabi Khidhir berkata lemah-lembut, “Usahakan jangan sampai
bingung hatimu[3].”
Tiba-tiba
suasana kelihatan terang, kelihatan di hadapannya Nabi Khidhir. Nabi Khidhir
melayang di udara, kelihatan memancarkan cahaya gemerlapan. Saat itulah Syeh
Malaya melihat lagi arah utara selatan, barat dan timur sudah kelihatan jelas,
atas serta bawah juga sudah terlihat dan mampu melihat matahari, tenang rasa
hatinya. Sedangkan kelihatan Nabi Khidhir berada di alam yang berlawanan
(berseberangan).
Nabi
Khidhir berkata lembut, ”Jangan berjalan hanya sekedar berjalan. Lihatlah
sungguh-sungguh apa yang terlihat olehmu!” Syekh Melaya menjawab, “Ada warna
empat macam terlihat oleh saya. Semua itu sudah tidak kelihatan, hanya empat
macam yang saya ingat yaitu hitam, merah, kuning dan putih.”
Berkata Nabi Khidhir, “Yang pertama
kamu melihat cahaya gemerlapan tidak tahu namanya, Pancamaya[4]
namanya, sejatinya adalah hatimu yang sebenarnya, wajahmu (dirimu). Pancasonya[5]
itu disebut terbukanya hijab (mukasyafah) yang menuntun kepada sifat unggul,
yaitu sifat asli.
Maka dari itu, ikutilah. Jangan
terburu-buru. Perhatikanlah wajah (sifat) jangan tertipu. Gunakan rasa hatimu
(dirimu), mengingat rasa hati (dirimu) itu menandakan kesejatian.” Tenteram
hati Syekh Malaya setelah mendengar ucapan itu, mantap rasa hatinya (dirinya)
dan gembira. “Adapun yang kuning, merah, hitam dan putih itu adalah penjara
hati.
Sebab isi dunia ini sudah lengkap,
yaitu berupa tiga hal tadi, semuanya penghalang laku. Yang mampu melepaskannya
itu pasti mampu menyatu dengan Yang Gaib. Menaklukkannya adalah dengan puasa.
Ketiga hal ini, hitam, merah dan kuning menghalangi Kuasa (qudrat) dan Karsa
(iradat) untuk selalu abadi bersatu dengan Sukma Mulya.
Jika tidak tertutup oleh ketiganya,
tentu sudah hilang nama dirimu, abadi kembali kepada ketunggalan (Gusti). Jadi
selalulah waspada dan ingat terhadap penghalang (goda-rencana) yang ada di
hati. Caranya adalah dengan memperhatikan sifatnya satu demi satu. Yang hitam
lebih perkasa, tugasnya marah, mudah sakit hati, angkara murka semakin
menjadi-jadi[6].
Hati (seperti) itulah yang
menghalang-halangi laku yang menuju kepada kebaikan. Itulah tugasnya yang
hitam. Sedangkan yang merah menunjukkan nafsu yang tidak baik, segala keinginan
keluar dari itu, emosi dalam mencapai keinginan hingga menutupi hati yang
hening, yang menuju kepada tujuan akhir[7].
Adapun yang berwarna kuning,
berperan dalam semua perbuatan. Terjadinya cipta yang baik, perbuatan untuk
keselamatan hidup, hati yang kuning yang menghalang-halangi. Hanya perbuatan
yang merusak yang terus didorongnya[8].
Hanya yang putih itu yang sejati. Hati menjadi ringan, suci, tidak aneh-aneh,
perwira dalam kedamaian (keselamatan).
Hanya yang putih itu yang bisa
menerima kesaksian wajah yang sejati, (sehingga ia dapat) menerima anugerah
yang abadi, (yaitu) bersatunya kehendak. Musuhnya ada tiga dan menakutkan, yang
mengandalkan ketiga temannya. Yang putih tanpa teman, hanya sendiri, maka mudah
selalu dikalahkan[9].
Bilamana bisa istiqamah, ya akan
(mampu) mengatasi penghalang yang tiga hal tadi. Jika bisa, ya di saat itulah
bertemu, (meskipun) tanpa petunjuk tentang pertemuan hamba dengan Gustinya.”
Syekh Malaya mendengar hal itu, semakin kuat keinginannya, semakin bernafsu
tekadnya, melaksanakan kesejatian hidup, yaitu mencapai kesempurnaan bertemu
(beribadah).
“Hilang empat perkara, ada lagi
nyala yang satu, berwarna delapan”, Syekh Malaya pelan bicaranya, “Apa maknanya,
nyala satu dengan delapan warna. Mana yang nyata, hidup yang sejati. Ada
seperti permata yang memancar, ada seperti maya-maya berubah-ubah,
berpendar-pendar, ada nyala api yang berkobar-kobar.”
Sang luhur budi Nabi Khidhir
berpesan, “Itu semua sesungguhnya satu. Sarira marta[10]
artinya, ya di dalam dirimu, isi bumi tergambar pada dirimu. Jagad besar, jagad
kecil tak ada bedanya. Awal mulanya, utara, barat, selatan, timur, di atas, di
bawah.
Dan lagi hitam, merah, kuning dan
putih itu adalah sumber penghidupan dunia. Jagad kecil, jagad besar semuanya
sama isinya, bila dibanding dengan dirimu. Kalau warna yang tadi hilang, jagad
akan menjadi kosong melompong, kesukaran hilang, terkumpul pada wajah yang
satu, yang tidak laki-laki, tidak perempuan.”
Seperti bentuk yang berotasi yang
berwarna kuning, kamu perhatikan.” Syekh Malaya mengamati bentuk yang berotasi,
kuning cahayanya, memancar gemerlapan, berpendar melengkung, “Apakah ini wajah
dzat yang yang harus dicari, yaitu warna (wajah) sejati?”
Nabi Khidhir menjawab lembut, “Itu
bukan yang kamu dambakan, yang mampu menguasai semua, tidak dapat kamu lihat.
Tiada berbentuk apalagi berwarna, bukan perwujudan, tidak bisa ditangkap mata,
juga tidak membutuhkan tempat. Hanya bisa difahami oleh orang yang awas
(waskita), yang memahami tanda-tanda yang memenuhi jagad raya, dipegang pun
tidak dapat.
Sedangkan yang kamu lihat itu, yang
nampak berputar-putar berwarna kuning, yang terang benderang sinarnya, angkara
yang menyala-nyala, sang Permana[11]
itulah sebutannya, hidupnya ada pada dirimu. Permana itu menyatu pada dirimu,
tetapi tidak ikut merasakan suka dan duka, tempat tinggalnya adalah pada
ragamu.
Tidak ikut suka dan duka, juga tidak
ikut sakit dan menderita. Jika sang Permana meninggalkan tempatnya, raga
menjadi tidak berdaya, pasti lemahlah badanmu, sebab dialah yang berkuasa,
menanggung rasa hidup, hidup bersama nyawa, yaitu yang disisihkan dari
menyandang kehidupan, yang mengakui mengetahui rahasia dunia.
Yaitu yang menanggung dirimu, namun
seperti simbar pada pepohonan, tempatnya berada pada raga. Hidupnya Permana itu
dihidupi oleh sukma linuwih[12],
yang menguasai seluruh badan. Bila mati, Permana itu ikut mati, namun bila
hilang, maka sukmamu yang hidup. Jadi (yang) hidup sukma lah yang ada.
Kosong itu adalah yang bertemu,
hidup sukma adalah nyata. Bisa diibaratkan rasa hidup hanyalah sekedar lewat.
Permana mengetahui dengan sadar, sesungguhnya satu asal.” Menjawablah Syekh
Malaya, “Kalau begitu manakah wajah yang sejati?” Nabi Khidhir menyampaikan,
“Hal itu tidak dapat kamu
fahami dengan menggunakan mata.
Susah-susah gampang untuk memahaminya.” Syekh Malaya menyela, “Saya mohon
pelajaran lagi, sampai saya faham betul, sampai tuntas, saya menyerahkan hidup
dan mati demi mengharapkan tujuan yang pasti, jangan sampai tanpa hasil.”
Suluk Ling Lung; Pupuh V; Kinanthi
Nabi Khidhir berkata manis disertai
senyuman, “Seumpama orang membicarakan sesuatu, sepantasnya topik pembicaraan
adalah yang penting (utama), karena intisari pembicaraan itu akan menjadi penyedap
yang terasa oleh rahsa (‘yang merasakan’) yang suci.
Cahaya kenabian adalah ‘yang
merasakan’. Sebenarnya ‘yang merasakan’ itu berada di sifat jamal (alam arwah)[13].
Substansi awal, bila sudah terwujud (lahir), substansi akhir[14],
bila sudah dewasa. Yang awal sejatinya adalah ‘yang merasakan’ (Rahsa Jati)[15].
Yang substansi akhir itu, satu wujud
sehidup semati. Ketika substansi berwujud tunggal, yang substansi akhir ini
‘yang merasakan’ rahsa tunggal, hidup satu, bertunggal dengan substansi awal
ini.
Wujud bersatu sehidup-semati. Segala
tingkah polah substansi akhir, selamanya menerima, Yang substansi batin ini,
Yang dipuji, Yang disembah, yaitu Allah sejati.
Tidak ada (sebutan) mendua (sebutan
adalah untuk suatu wujud). Kamu itu sebutan gaib. Sebutan gaib ketika dahulu,
tidak hidup tidak mati. Sejatinya sebutan itu gaib, itu namamu, itu gaib.
Sudah ada sebutan itu ketika hidup
yang dahulu, kejadiannya ditarik alif. Alif itu jisim halus, sejatinya adalah
keberadaanmu, disebut sebutan atau nama (neqdu)[16].
Substansi jati, yaitu ya nama kamu.
Namamu itu hidup. Syahadat sejati adalah hidup kamu. Yang disebut darah
(adalah) hidup, darah itu hidup dalam sebutan (tidak lain adalah) Rasulullah
rasa sejati.
Syahadat jati adalah darah, rasa
jati dzat adalah sama, Jibril Muhammad Allah, itu yang tiga. Keempatnya ini,
darah hidup sebutannya. Amati dengan memperhatikan yang mati.
Apa memiliki darah? Darah[17]
itu menjadi hilang, hilangnya bersatu dengan sukma, sukma hilang ya sama ada di
alif itu, yang disebut ruh idhafi[18].
Jisim halus sejatinya. Yang disebut
jisim halus sejatinya adalah jisim angling. Dahulu alif disebut angling, alif
itu tanpa mata, tidak berbicara, tidak mendengar[19].
Tanpa kehendak dan tidak melihat,
yaitu alif. Alif sampai kepada sebutannya, setidaknya adanya adalah jadi, alif
itu terjabarkan, oleh ruh idhofi Dzat Allah.
Sudah terungkap semua itu, ruh
idhofi penjelmaan Dzat sejati, yaitu alif. Penjabaran seterusnya, ada pada
substansi alif itu, sebutannya adalah kalam birahi (cita alam atau Awal).
Adanya birahi itu, sebutan bagi
Allah sejati, tidak ada yang kedua yang ketiga, siapa yang tahu kalau sudah
menjadi (bertajalli), (yang mengatakan aku tahu) pasti tidak tahu, paling hanya
mampu menyebut namanya saja.
Sedangkan sifat jamal itu yang
diperintahkan untuk menyebutnya[20].
Lengkapnya, keberadaan itu, ya yang menyuruh untuk menyebut itu adalah Allah,
yang berfirman kepada Muhammad sang kekasih.
Kalau tidak ada kamu itu, Aku tak
ada yang menyebut. Hanya kamu menyebut sebagai manusia. Adapun yang bertemu
dengan Aku itu, ya kamu, ya Aku, sebutannya disebut Aku, sebutanmu ya
sebutan-Ku[21].
Menurunkan kamu itu, apa kamu
terbuka (mengerti) pada sebutanku, ya namamu, yang sewujud dengan Aku,
sedangkan Aku bersatu dengan kamu. Sejatinya tidak ada yang menyebutnya.
Sebutanmu sebutan-Ku, ketika kamu
itu sudah mewujud di dunia dan di akhirat. Kamu itu pengganti Muhammad
Rasulullah, Nabiyullah ya Ilahi.
Sebagai tanda Allah pada kamu,
hendaklah kamu ingat. Penjabaran selanjutnya dari alif itu, alif itu persis
dengan kamu ini, budi jati sebutannya, hilang dalam budi.
Yang berbicara itu melemahkan birahi
(cita alam), jadi tinggal pilih tidak atau ya, yaitu substansi budi. Itu
disebut budi iman. Pasti jatuh pada sebutan Alif.
Sejatinya alif itu, serba tidak
pernah menipu, yang bernama alif itu tidak pernah kesal, sebutannya alif adi,
yang mengasihi kamu ini.
Adanya substansi awal, yang
substansi adalah keadaan sejati. Junub dan jinabat adalah bau (turunan/derivatif)
dari substansi awal. Itu jatuh pada sebutannya, setidaknya selagi dalam hidup
ini.
Hidup
dalam substansi itu, hidup dalam mati, ya ada pada substansi awal. Kenapa kamu
sholat? Ya karena ada di dalam dunia, asal mula sholat itu.
[1] Tubuh Nabi Khidhir
diibaratkan pikiran. Karena hanya pikiran yang mampu menggambarkan tentang alam
semesta.
[2] Telinga adalah sarana
untuk mendengarkan. Memasuki alam pikiran adalah dengan sikap bersedia untuk
mendengar.
[3] Hati adalah perlambang
diri manusia. Diri manusia yang belum memperoleh pengetahuan dari memori (a5”)
akan bingung ketika menerima informasi dari alam. Namun setelah memori (a5”)
mengafirmasi akan data yang diterima, maka baru diri manusia mengetahui dan
tidak bingung lagi.
[4] Diri orang terdiri atas jiwa dan raga, dimana raga terdiri atas jantung dan otak yang dicipta dari
komponen panas/api (a1), udara (a2), tanah (a3) dan air (a4). Karena raga
adalah nampak oleh indra, maka disebut wajah. Sejatinya adalah bentuk
kekuasaan.
[5] Tersingkapnya rahasia,
yaitu diterimanya pengertian (a6”) yang mendorong manusia menarik manfaat.
Pengertian (a6”) adalah sabda/titah Ilahi yang berupa ide atau cita-cita. Bisa
juga disebut dengan cita alam semesta.
[6] Penjelasan akan watak yang hitam menggambarkan keadaan daya/kemampuan orang (a5), yaitu menganggap
dirinya hebat, mampu.
[7] Yang merah
menggambarkan keinginan orang (a6’). Keinginan yang terhalangi akan cenderung
membawa kepada watak kesetanan.
[8] Kuning menggambarkan
perasaan (a5’), yaitu dorongan akan kesenangan. Keterikatan kepada kesenangan
hati membuat orang memiliki watak seperti orang kerasukan.
[9] Putih menggambarkan
pikiran (a7), yang padanya terdapat ingatan (a5”), pengertian (a6”) dan akal
(a7”).
[11] Permana menggambarkan
indra dan daya gerak (a5). Bukankah tanpa indra dan daya gerak orang tidak bisa
berbuat apa-apa?
[12] Suksma linuwih menurut
Qur’an adalah ruh. Ruh adalah perintah (‘amr) Ilahi, yaitu turunnya kekuasaan
kepada seseorang. Dengan anugerah berupa kekuasaan dari Yang Maha Kuasa inilah,
maka manusia memiliki kemampuan. Bukankah indra & daya gerak (a5), perasaan
(a5’), kemauan (a6’), memori (a5”), pengertian (a6”) dan akal (a7”) adalah
bentuk-bentuk atau perbuatan (af’al) dari Yang Maha Kuasa?
[15] Rahsa jati adalah ide
yang ditangkap oleh pikiran (a7), dalam hal ini adalah pengertian (a6”).
Pengertian ini adalah utusan untuk membuat orang mengerti. Ide berada di alam
Baitul Makmur atau alam arwah. Sejatinya adalah sabda Ilahi.
[17] Sarana untuk merasakan
adalah perasaan hati (a5’) yang berada di alam Jabarut atau Karang atau A9.
[18] Yang dimaksud dengan
ruh idhafi adalah ruh yang lemah, karena memang diwenangkan kepada manusia,
yaitu mengikuti kemauan manusia.
[19] Yang dimaksud adalah
saya atau jiwa atau diri yang bukan raga. Sejatinya adalah wujud yang dikuasai,
berarti tidak bisa apa-apa.
[21] Barangkali dengan Bahasa
yang lebih mudah adalah kesatuan antara Kuasa (mutlak) dengan yang dikuasai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar