Nabi Khidir = Dewa Ruci 2/4

Syekh Melaya segeralah kemari! Masuklah ke dalam tubuhku[1]!” Syekh Malaya terhenyak hatinya. Keluarlah tawanya bahkan sampai mengeluarkan air mata, seraya berkata dengan halus, “Melalui jalan manakah usaha saya untuk masuk? Padahal nampak oleh saya buntu semua.”
Nabi Khidhir berkata dengan lemah lembut, “Besar mana kamu dengan bumi semua ini beserta isinya, hutan rimba dan samudera serta gunung? Tidak bakal penuh bila dimasukkan ke dalam tubuhku.” Syekh Malaya setelah mendengarnya, semakin takut sekali namun bersedia melaksanakan masuk ke dalam Nabi Jagad.
“Ini melalui telingaku[2].” Sunan Kalijaga masuk dengan segera. Ajaib dengan cepat ia sudah sampai ke dalam tubuh Nabi Khidhir, melihat samudera luas tiada bertepi. Sejauh mata memandang semakin diamati semakin jauh tampaknya. Pada saat itulah Nabi Khidhir bertanya, “Hai apa yang kamu lihat?” Syekh Malaya menjawab, “Ya jauh tak ada yang kelihatan.
Angkasa raya yang kujelajahi, kosong melompong jauh tak kelihatan. Kemana saja tidak tahu arah utara selatan, barat timur pun tidak kami kenal lagi, bawah dan atas serta muka juga belakang, saya tak mampu membedakan, bahkan semakin membingungkan.” Nabi Khidhir berkata lemah-lembut, “Usahakan jangan sampai bingung hatimu[3].”
Tiba-tiba suasana kelihatan terang, kelihatan di hadapannya Nabi Khidhir. Nabi Khidhir melayang di udara, kelihatan memancarkan cahaya gemerlapan. Saat itulah Syeh Malaya melihat lagi arah utara selatan, barat dan timur sudah kelihatan jelas, atas serta bawah juga sudah terlihat dan mampu melihat matahari, tenang rasa hatinya. Sedangkan kelihatan Nabi Khidhir berada di alam yang berlawanan (berseberangan).
Nabi Khidhir berkata lembut, ”Jangan berjalan hanya sekedar berjalan. Lihatlah sungguh-sungguh apa yang terlihat olehmu!” Syekh Melaya menjawab, “Ada warna empat macam terlihat oleh saya. Semua itu sudah tidak kelihatan, hanya empat macam yang saya ingat yaitu hitam, merah, kuning dan putih.”
Berkata Nabi Khidhir, “Yang pertama kamu melihat cahaya gemerlapan tidak tahu namanya, Pancamaya[4] namanya, sejatinya adalah hatimu yang sebenarnya, wajahmu (dirimu). Pancasonya[5] itu disebut terbukanya hijab (mukasyafah) yang menuntun kepada sifat unggul, yaitu sifat asli.
Maka dari itu, ikutilah. Jangan terburu-buru. Perhatikanlah wajah (sifat) jangan tertipu. Gunakan rasa hatimu (dirimu), mengingat rasa hati (dirimu) itu menandakan kesejatian.” Tenteram hati Syekh Malaya setelah mendengar ucapan itu, mantap rasa hatinya (dirinya) dan gembira. “Adapun yang kuning, merah, hitam dan putih itu adalah penjara hati. 
Sebab isi dunia ini sudah lengkap, yaitu berupa tiga hal tadi, semuanya penghalang laku. Yang mampu melepaskannya itu pasti mampu menyatu dengan Yang Gaib. Menaklukkannya adalah dengan puasa. Ketiga hal ini, hitam, merah dan kuning menghalangi Kuasa (qudrat) dan Karsa (iradat) untuk selalu abadi bersatu dengan Sukma Mulya.
Jika tidak tertutup oleh ketiganya, tentu sudah hilang nama dirimu, abadi kembali kepada ketunggalan (Gusti). Jadi selalulah waspada dan ingat terhadap penghalang (goda-rencana) yang ada di hati. Caranya adalah dengan memperhatikan sifatnya satu demi satu. Yang hitam lebih perkasa, tugasnya marah, mudah sakit hati, angkara murka semakin menjadi-jadi[6].
Hati (seperti) itulah yang menghalang-halangi laku yang menuju kepada kebaikan. Itulah tugasnya yang hitam. Sedangkan yang merah menunjukkan nafsu yang tidak baik, segala keinginan keluar dari itu, emosi dalam mencapai keinginan hingga menutupi hati yang hening, yang menuju kepada tujuan akhir[7].
Adapun yang berwarna kuning, berperan dalam semua perbuatan. Terjadinya cipta yang baik, perbuatan untuk keselamatan hidup, hati yang kuning yang menghalang-halangi. Hanya perbuatan yang merusak yang terus didorongnya[8]. Hanya yang putih itu yang sejati. Hati menjadi ringan, suci, tidak aneh-aneh, perwira dalam kedamaian (keselamatan).
Hanya yang putih itu yang bisa menerima kesaksian wajah yang sejati, (sehingga ia dapat) menerima anugerah yang abadi, (yaitu) bersatunya kehendak. Musuhnya ada tiga dan menakutkan, yang mengandalkan ketiga temannya. Yang putih tanpa teman, hanya sendiri, maka mudah selalu dikalahkan[9].
Bilamana bisa istiqamah, ya akan (mampu) mengatasi penghalang yang tiga hal tadi. Jika bisa, ya di saat itulah bertemu, (meskipun) tanpa petunjuk tentang pertemuan hamba dengan Gustinya.” Syekh Malaya mendengar hal itu, semakin kuat keinginannya, semakin bernafsu tekadnya, melaksanakan kesejatian hidup, yaitu mencapai kesempurnaan bertemu (beribadah).
“Hilang empat perkara, ada lagi nyala yang satu, berwarna delapan”, Syekh Malaya pelan bicaranya, “Apa maknanya, nyala satu dengan delapan warna. Mana yang nyata, hidup yang sejati. Ada seperti permata yang memancar, ada seperti maya-maya berubah-ubah, berpendar-pendar, ada nyala api yang berkobar-kobar.”
Sang luhur budi Nabi Khidhir berpesan, “Itu semua sesungguhnya satu. Sarira marta[10] artinya, ya di dalam dirimu, isi bumi tergambar pada dirimu. Jagad besar, jagad kecil tak ada bedanya. Awal mulanya, utara, barat, selatan, timur, di atas, di bawah.
Dan lagi hitam, merah, kuning dan putih itu adalah sumber penghidupan dunia. Jagad kecil, jagad besar semuanya sama isinya, bila dibanding dengan dirimu. Kalau warna yang tadi hilang, jagad akan menjadi kosong melompong, kesukaran hilang, terkumpul pada wajah yang satu, yang tidak laki-laki, tidak perempuan.”
Seperti bentuk yang berotasi yang berwarna kuning, kamu perhatikan.” Syekh Malaya mengamati bentuk yang berotasi, kuning cahayanya, memancar gemerlapan, berpendar melengkung, “Apakah ini wajah dzat yang yang harus dicari, yaitu warna (wajah) sejati?”
Nabi Khidhir menjawab lembut, “Itu bukan yang kamu dambakan, yang mampu menguasai semua, tidak dapat kamu lihat. Tiada berbentuk apalagi berwarna, bukan perwujudan, tidak bisa ditangkap mata, juga tidak membutuhkan tempat. Hanya bisa difahami oleh orang yang awas (waskita), yang memahami tanda-tanda yang memenuhi jagad raya, dipegang pun tidak dapat.
Sedangkan yang kamu lihat itu, yang nampak berputar-putar berwarna kuning, yang terang benderang sinarnya, angkara yang menyala-nyala, sang Permana[11] itulah sebutannya, hidupnya ada pada dirimu. Permana itu menyatu pada dirimu, tetapi tidak ikut merasakan suka dan duka, tempat tinggalnya adalah pada ragamu.
Tidak ikut suka dan duka, juga tidak ikut sakit dan menderita. Jika sang Permana meninggalkan tempatnya, raga menjadi tidak berdaya, pasti lemahlah badanmu, sebab dialah yang berkuasa, menanggung rasa hidup, hidup bersama nyawa, yaitu yang disisihkan dari menyandang kehidupan, yang mengakui mengetahui rahasia dunia.
Yaitu yang menanggung dirimu, namun seperti simbar pada pepohonan, tempatnya berada pada raga. Hidupnya Permana itu dihidupi oleh sukma linuwih[12], yang menguasai seluruh badan. Bila mati, Permana itu ikut mati, namun bila hilang, maka sukmamu yang hidup. Jadi (yang) hidup sukma lah yang ada.
Kosong itu adalah yang bertemu, hidup sukma adalah nyata. Bisa diibaratkan rasa hidup hanyalah sekedar lewat. Permana mengetahui dengan sadar, sesungguhnya satu asal.” Menjawablah Syekh Malaya, “Kalau begitu manakah wajah yang sejati?” Nabi Khidhir menyampaikan,
“Hal itu tidak dapat kamu fahami  dengan menggunakan mata. Susah-susah gampang untuk memahaminya.” Syekh Malaya menyela, “Saya mohon pelajaran lagi, sampai saya faham betul, sampai tuntas, saya menyerahkan hidup dan mati demi mengharapkan tujuan yang pasti, jangan sampai tanpa hasil.”
Suluk Ling Lung; Pupuh V; Kinanthi
Nabi Khidhir berkata manis disertai senyuman, “Seumpama orang membicarakan sesuatu, sepantasnya topik pembicaraan adalah yang penting (utama), karena intisari pembicaraan itu akan menjadi penyedap yang terasa oleh rahsa (‘yang merasakan’) yang suci.
Cahaya kenabian adalah ‘yang merasakan’. Sebenarnya ‘yang merasakan’ itu berada di sifat jamal (alam arwah)[13]. Substansi awal, bila sudah terwujud (lahir), substansi akhir[14], bila sudah dewasa. Yang awal sejatinya adalah ‘yang merasakan’ (Rahsa Jati)[15].
Yang substansi akhir itu, satu wujud sehidup semati. Ketika substansi berwujud tunggal, yang substansi akhir ini ‘yang merasakan’ rahsa tunggal, hidup satu, bertunggal dengan substansi awal ini.
Wujud bersatu sehidup-semati. Segala tingkah polah substansi akhir, selamanya menerima, Yang substansi batin ini, Yang dipuji, Yang disembah, yaitu Allah sejati.
Tidak ada (sebutan) mendua (sebutan adalah untuk suatu wujud). Kamu itu sebutan gaib. Sebutan gaib ketika dahulu, tidak hidup tidak mati. Sejatinya sebutan itu gaib, itu namamu, itu gaib.
Sudah ada sebutan itu ketika hidup yang dahulu, kejadiannya ditarik alif. Alif itu jisim halus, sejatinya adalah keberadaanmu, disebut sebutan atau nama (neqdu)[16].
Substansi jati, yaitu ya nama kamu. Namamu itu hidup. Syahadat sejati adalah hidup kamu. Yang disebut darah (adalah) hidup, darah itu hidup dalam sebutan (tidak lain adalah) Rasulullah rasa sejati.
Syahadat jati adalah darah, rasa jati dzat adalah sama, Jibril Muhammad Allah, itu yang tiga. Keempatnya ini, darah hidup sebutannya. Amati dengan memperhatikan yang mati.
Apa memiliki darah? Darah[17] itu menjadi hilang, hilangnya bersatu dengan sukma, sukma hilang ya sama ada di alif itu, yang disebut ruh idhafi[18].
Jisim halus sejatinya. Yang disebut jisim halus sejatinya adalah jisim angling. Dahulu alif disebut angling, alif itu tanpa mata, tidak berbicara, tidak mendengar[19].
Tanpa kehendak dan tidak melihat, yaitu alif. Alif sampai kepada sebutannya, setidaknya adanya adalah jadi, alif itu terjabarkan, oleh ruh idhofi Dzat Allah.
Sudah terungkap semua itu, ruh idhofi penjelmaan Dzat sejati, yaitu alif. Penjabaran seterusnya, ada pada substansi alif itu, sebutannya adalah kalam birahi (cita alam atau Awal).
Adanya birahi itu, sebutan bagi Allah sejati, tidak ada yang kedua yang ketiga, siapa yang tahu kalau sudah menjadi (bertajalli), (yang mengatakan aku tahu) pasti tidak tahu, paling hanya mampu menyebut namanya saja.
Sedangkan sifat jamal itu yang diperintahkan untuk menyebutnya[20]. Lengkapnya, keberadaan itu, ya yang menyuruh untuk menyebut itu adalah Allah, yang berfirman kepada Muhammad sang kekasih.
Kalau tidak ada kamu itu, Aku tak ada yang menyebut. Hanya kamu menyebut sebagai manusia. Adapun yang bertemu dengan Aku itu, ya kamu, ya Aku, sebutannya disebut Aku, sebutanmu ya sebutan-Ku[21].
Menurunkan kamu itu, apa kamu terbuka (mengerti) pada sebutanku, ya namamu, yang sewujud dengan Aku, sedangkan Aku bersatu dengan kamu. Sejatinya tidak ada yang menyebutnya.
Sebutanmu sebutan-Ku, ketika kamu itu sudah mewujud di dunia dan di akhirat. Kamu itu pengganti Muhammad Rasulullah, Nabiyullah ya Ilahi.
Sebagai tanda Allah pada kamu, hendaklah kamu ingat. Penjabaran selanjutnya dari alif itu, alif itu persis dengan kamu ini, budi jati sebutannya, hilang dalam budi.
Yang berbicara itu melemahkan birahi (cita alam), jadi tinggal pilih tidak atau ya, yaitu substansi budi. Itu disebut budi iman. Pasti jatuh pada sebutan Alif.
Sejatinya alif itu, serba tidak pernah menipu, yang bernama alif itu tidak pernah kesal, sebutannya alif adi, yang mengasihi kamu ini.
Adanya substansi awal, yang substansi adalah keadaan sejati. Junub dan jinabat adalah bau (turunan/derivatif) dari substansi awal. Itu jatuh pada sebutannya, setidaknya selagi dalam hidup ini.
Hidup dalam substansi itu, hidup dalam mati, ya ada pada substansi awal. Kenapa kamu sholat? Ya karena ada di dalam dunia, asal mula sholat itu.



[1] Tubuh Nabi Khidhir diibaratkan pikiran. Karena hanya pikiran yang mampu menggambarkan tentang alam semesta.
[2] Telinga adalah sarana untuk mendengarkan. Memasuki alam pikiran adalah dengan sikap bersedia untuk mendengar.
[3] Hati adalah perlambang diri manusia. Diri manusia yang belum memperoleh pengetahuan dari memori (a5”) akan bingung ketika menerima informasi dari alam. Namun setelah memori (a5”) mengafirmasi akan data yang diterima, maka baru diri manusia mengetahui dan tidak bingung lagi.
[4] Diri orang terdiri atas jiwa dan raga, dimana raga terdiri atas jantung dan otak yang dicipta dari komponen panas/api (a1), udara (a2), tanah (a3) dan air (a4). Karena raga adalah nampak oleh indra, maka disebut wajah. Sejatinya adalah bentuk kekuasaan.
[5] Tersingkapnya rahasia, yaitu diterimanya pengertian (a6”) yang mendorong manusia menarik manfaat. Pengertian (a6”) adalah sabda/titah Ilahi yang berupa ide atau cita-cita. Bisa juga disebut dengan cita alam semesta.
[6] Penjelasan akan watak yang hitam menggambarkan keadaan daya/kemampuan orang (a5), yaitu menganggap dirinya hebat, mampu.
[7] Yang merah menggambarkan keinginan orang (a6’). Keinginan yang terhalangi akan cenderung membawa kepada watak kesetanan.
[8] Kuning menggambarkan perasaan (a5’), yaitu dorongan akan kesenangan. Keterikatan kepada kesenangan hati membuat orang memiliki watak seperti orang kerasukan.
[9] Putih menggambarkan pikiran (a7), yang padanya terdapat ingatan (a5”), pengertian (a6”) dan akal (a7”).
[10] Sarira marta difahami sebagai isi alam.
[11] Permana menggambarkan indra dan daya gerak (a5). Bukankah tanpa indra dan daya gerak orang tidak bisa berbuat apa-apa?
[12] Suksma linuwih menurut Qur’an adalah ruh. Ruh adalah perintah (‘amr) Ilahi, yaitu turunnya kekuasaan kepada seseorang. Dengan anugerah berupa kekuasaan dari Yang Maha Kuasa inilah, maka manusia memiliki kemampuan. Bukankah indra & daya gerak (a5), perasaan (a5’), kemauan (a6’), memori (a5”), pengertian (a6”) dan akal (a7”) adalah bentuk-bentuk atau perbuatan (af’al) dari Yang Maha Kuasa?
[13] Maksudnya alam Malakut atau Klenik atau A10.
[14] Maksudnya alam Dunia atau Katon atau A8.
[15] Rahsa jati adalah ide yang ditangkap oleh pikiran (a7), dalam hal ini adalah pengertian (a6”). Pengertian ini adalah utusan untuk membuat orang mengerti. Ide berada di alam Baitul Makmur atau alam arwah. Sejatinya adalah sabda Ilahi.
[16] Sebutan berada di alam awal, masih berupa cita alam (A atau a atau a’ atau a”).
[17] Sarana untuk merasakan adalah perasaan hati (a5’) yang berada di alam Jabarut atau Karang atau A9.
[18] Yang dimaksud dengan ruh idhafi adalah ruh yang lemah, karena memang diwenangkan kepada manusia, yaitu mengikuti kemauan manusia.
[19] Yang dimaksud adalah saya atau jiwa atau diri yang bukan raga. Sejatinya adalah wujud yang dikuasai, berarti tidak bisa apa-apa.
[20] Maksudnya utusan atau kalau dipersonifikasikan adalah Malaikat.
[21] Barangkali dengan Bahasa yang lebih mudah adalah kesatuan antara Kuasa (mutlak) dengan yang dikuasai.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Orang Jawa Menjelaskan Hakekat Manusia

Menyaksikan Keberadaan Rabbul 'alamin

Sugeng Kondur Bapak (Bapak Mas Supranoto)