Di sisi lain ada yang dengan penuh
semangat meneriakkan:
“SIAPA DARI KALIAN YANG INGIN KE SURGA?”
Yang
dijawab dengan suara serempak, “KAMI SEMUA AKAN MENUJU SURGA!”[1]
Di tengah-tengah barisan pasukan
Khawarij, ada seorang laki-laki berjalan berkeliling, membangkitkan semangat
mereka untuk berperang. Suaranya seperti desis ular dan badannya mengeluarkan
bau busuk. Tak lama setelah itu, pada tengah hari itu juga, dari kubu Khawarij
tersebut terdengar teriakan keras dengan suara masih seperti desis ular yang
ditujukan kepada anggota pasukannya, “SIAPA DARI KALIAN YANG INGIN KE SURGA?”
Yang dijawab dengan suara serempak,
“KAMI SEMUA AKAN MENUJU SURGA!” Sambil berteriak itu, mereka serentak terjun
dan melancarkan serangan dahsyat dan gencar ke pihak pasukan Ali (kw[2])
dengan menghujani anak panah dan tombak. Namun dalam waktu tidak lama pasukan
Ali (kw) dapat menguasai keadaan dan menaklukkan pasukan kaum Khawarij.
Pemimpin mereka yang bernama Abdullah bin Wahab Ar-Rasibi tewas.
Dalam pada itu, Imam Ali (kw) merenung
lama sekali, diam, sedih dan gelisah. Sahabat-sahabat dan pengikutnya merasa
heran. Kemudian dengan tenang, beliau meminta orang-orang di sekitarnya mencari
Zus Sudayyah (Dzu Tsadiyyah – Al Mukhaddaj) di antara para korban perang.
Mereka pun segera bergerak dan bekerja
keras untuk itu, mereka melakukan pencarian di antara mayat-mayat dan yang
sekarat. Kemudian mereka melaporkan kepada Ali (kw) bahwa mereka tidak menemukannya.
Ali (kw) semakin nampak berduka dan
berkata, “Sungguh saya tidak berbohong dan tidak dibohongi.” Beliau yakin pasti
orang itu ada di antara para korban itu.
Setelah dicari kembali, ditemukanlah
mayat Zus Sudayyah. Ali (kw) pun bersujud syukur kepada Allah SWT[3].
Hal ini membuat heran para sahabatnya, dan bertanya kenapa Ali (kw) bersyukur
atas kematian Zus Sudayyah? Ali (kw) menjawab bahwa Zus Sudayyah adalah orang
paling sesat dan paling berbahaya.
Apa yang membuat seorang yang mengaku
beriman kepada Allah, menjalankan rukun Islam dengan intensif, bahkan
dikisahkan Zus Sudayyah rajin membaca Qur’an dan kalau sujud menempel di lantai
masjid [barangkali karena lamanya bersujud] bisa disebut sebagai orang paling
sesat dan paling berbahaya?
Surga menjadi tujuan, bukan Allah.
Jadi ada sekelompok orang telah berpaling dari tujuan hakiki, yaitu Allah dan
memilih menuju Surga. Sekilas tak ada yang salah, karena Surga adalah janji
Allah yang penuh kenikmatan. Namun apakah tidak ada yang dengan teliti
memperhatikan bahwa tujuan sudah bergeser? Ingatlah, Allah lah tujuan kita,
bukan yang lain. Surga hanyalah bonus saja. Para pencari Surga, bisa jadi tidak
menghamba kepada Allah, tetapi menghamba kepada dirinya sendiri, karena dia
sangat menginginkan kenikmatan hidup bagi dirinya. Bisa jadi dirinya adalah
Ilahnya.
QS
Al Jaatsiyah 45 ayat 23: Maka
pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya
(ilahahu
hawahu) dan Allah membiarkannya berdasarkan
ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan
tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk
sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil
pelajaran?
QS
Al Furqan 25 ayat 43:
Terangkanlah kepadaku tentang orang
yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya (ilahahu
hawahu). Maka apakah kamu dapat menjadi
pemelihara atasnya?
Ilahy
Anta maqsudy, wa ridhaka matlubi, a’tini wamahabbataka wa ma’rifataka (Ilah-ku Engkaulah yang aku maksud,
keridhoan Engkau yang kupinta, karuniakan cinta kepada Engkau dan mengenal
Engkau dengan sebenarnya).
Siapakah
mereka yang dengan persepsinya hingga berani berbeda sikap dengan Nabi (saw)
dan para sahabat?
Dikisahkan
pula dalam hadits Muslim no 514[4]:
Diriwayatkan dari Abu Said Al
Khudri (ra[5]),
“Ali bin Abi Thalib (kw) pernah mengirimkan sepotong emas kepada Rasulullah (saw[6])
dalam satu lembar kulit yang telah disamak, sedang emas itu belum dibersihkan
tanahnya. Kemudian beliau membagi-bagikan emas tersebut kepada empat orang,
yaitu ‘Uyainah bin Hishn, Aqra’ bin Habis, Zaid Al Khail dan orang yang keempat
ini adalah Alqamah bin “Ulatsah atau Amir bin Thufail.
Lalu ada seorang laki-laki dari
sahabat beliau yang berkata, “Kami inilah yang lebih berhak akan emas ini
daripada mereka!”
Kata-kata itu lalu sampai
kepada Nabi (saw), maka beliau bersabda, “Apakah kalian tidak mempercayai aku,
padahal aku ini orang yang terpercaya di kalangan penduduk langit dan berita
langit datang kepadaku setiap pagi dan sore?”
Lalu berdirilah seseorang yang
bermata cekung, benjol tulang pipi dan dahinya, lebat jenggotnya, gundul
kepalanya dan menyingsingkan lengan pakaiannya, kemudian dia berkata, “Wahai
Rasulullah, takutlah kepada Allah!”
Beliau menjawab, “Celakalah
kamu, bukankah aku orang yang paling patut dari penduduk bumi ini untuk
bertakwa kepada Allah?”
Setelah itu, orang itu
berpaling, lalu Khalid berkata, “Wahai Rasulullah, izinkanlah saya memenggal
leher orang itu!”
Beliau menjawab, “Jangan,
barangkali dia mengerjakan sholat.”
Khalid berkata, “Banyak sekali
orang mengerjakan sholat hanya di mulutnya saja, tetapi di hatinya berlainan!”
Rasulullah (saw) bersabda,
“Sesungguhnya, aku tidak diperintahkan untuk meneliti hati manusia dan tidak
pula untuk membedah dada mereka.”
Kemudian saat orang itu
berpaling, beliau menatapnya dengan tajam seraya bersabda, “Sesungguhnya akan
lahir dari keturunan orang ini suatu kaum yang hanya pandai membaca Kitab
Allah, tetapi tidak meresap ke dalam hatinya (jiwanya); mereka
lepas dari agama Islam, seperti lepasnya anak panah dari busurnya.”
Saya mengira beliau bersabda,
“Andaikata aku mendapati mereka, pasti aku akan perangi sebagaimana memerangi
Tsamud.”
Dalam hadits riwayat lain:
Setelah perang Hawazin, Dzul
Khuwaishirah (Hirqush bin Zuhair as Sa’di) mendekati Nabi (saw) yang sedang
membagi harta rampasan perang lalu berkata, “Bagilah dengan adil, wahai
Muhammad! Sebab engkau belum berlaku adil.”
Mendengar itu, Nabi (saw)
menjawab, “Celakalah kau! Lalu siapa yang bisa berlaku adil, jika aku saja tak
mampu?”
Melihat kejadian itu, Umar bin
Khathab (ra) bangkit membela Rasulullah (saw) dan berkata, “Wahai Rasulullah,
sungguh dia orang munafik. Karena itu, izinkan aku memenggal lehernya!”
Rasulullah (saw) menjawab,
“Biarkan saja dia, karena dia memiliki sejumlah pengikut dimana salah seorang
dari kalian akan menganggap remeh sholatnya dibanding sholat mereka dan
menganggap remeh bacaan Al Qur’annya dibanding bacaan mereka. Tetapi mereka
keluar dari agama seperti anak panah keluar dari busurnya. Mereka juga
memberontak suatu golongan umat ini. Mereka akan dibunuh oleh kelompok pertama
dari dua kelompok besar, dengan alasan yang benar. Pemimpin mereka adalah Al
Mukhaddaj (Dzu Tsadiyyah)?”
Tuduhan bahwa Rasulullah (saw)
berlaku tidak adil berasal dari banyaknya harta rampasan yang diberikan kepada
orang-orang Mekah dibanding kepada para sahabat beliau yang selama ini
mendampingi dalam berjihad. Ternyata harta rampasan yang diberikan kepada
orang-orang Mekah adalah dalam rangka membujuk keimanan mereka yang masih lemah
agar tetap dalam Islam. Sedangkan bagi para sahabat, bukankah cukup Allah dan
Rasul-Nya, karena hanya dengan keutamaan dan pemberian Allah lah mereka
bergembira.
QS Yunus 10 ayat
57-58: Hai manusia,
sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran (maw’idhatun) dari Rabb-mu dan
penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi
orang-orang yang beriman.
Katakanlah, “Dengan keutamaan Allah (fadhlillah) dan dengan pemberian (rahmat)-Nya, hendaklah
dengan itu mereka bergembira. Keutamaan
(Fadhl) dan pemberian (rahmat)-Nya itu adalah
lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”
Anas (ra) bertutur, “Seorang
lelaki pernah disebut-sebut di hadapan Rasulullah (saw). Orang tersebut
memiliki kesungguhan dan semangat dalam perang.
Rasulullah (saw) mengatakan “Aku tidak mengetahui orang
tersebut.”
Anas (ra) mengatakan,
“Ciri-ciri lelaki tersebut adalah begini dan begitu.”
Beliau (saw) tetap menjawab,
”Aku tidak mengetahuinya.”
Ketika kami tengah membincangkan hal tersebut,
seorang lelaki muncul. Lalu Anas (ra) mengatakan, “Inilah dia orangnya, wahai
Rasulullah (saw).”
Beliau (saw) tetap menjawab,
”Aku tidak mengetahuinya. Namun sesungguhnya pada abad ini akan ada setan
dengan ciri hitam kemerahan.” Ketika orang tersebut mendekat, dia mengucapkan
salam kepada Nabi (saw) dan Nabi (saw) membalasnya. Rasulullah (saw) berkata
kepadanya, “Bersumpahlah kepada Allah, apakah ketika kamu muncul kepada kami,
dalam hatimu terbersit bahwa tiada seorang pun dari kaumku ini yang lebih utama
daripada kamu?”
Ia menjawab, “Ya benar – dalam
hatiku terbersit demikian – wahai Rasulullah (saw).” Ia pun masuk masjid dan sholat.”
Jabir (ra) menceritakan,
seorang lelaki melewati Rasulullah (saw). Orang-orang pun membicarakan dan
menyanjung kebaikan dia. Abu Bakar (ra) menuturkan, “Sesungguhnya Rasulullah
(saw) pernah melewati orang tersebut ketika dia sedang sujud. Ketika itu Rasulullah
(saw) bergegas pergi untuk menunaikan sholat. Usai menyelesaikan sholat, beliau
kembali kepada orang tersebut. Ternyata orang itu masih dalam keadaan bersujud.
Rasulullah (saw) besabda, “Siapakah yang dapat membunuh orang ini?”
Dalam redaksi yang lain disebutkan:
Rasulullah (saw) berkata kepada
Abu Bakar (ra), “Wahai Abu Bakar, berdiri dan bunuhlah orang tersebut!”
Maka Abu Bakar masuk ke dalam
masjid dan mendapati orang tersebut sedang berdiri sholat. Abu Bakar bergumam dalam
hatinya, “Sesungguhnya dalam sholat ada hak-hak Allah yang mesti dijaga dan
ditunaikan. Lebih baik aku berkonsultasi terlebih dahulu terhadap Nabi (saw).”
Beliau (Nabi (saw)) bertanya,
“Sudahkah engkau membunuhnya?”
Abu Bakar (ra) menjawab,
“Belum, karena aku melihatnya sedang sholat. Menurutku, sesungguhnya dalam sholat
ada hak-hak Allah yang mesti dijaga dan ditunaikan. Jika aku berkeinginan untuk
membunuhnya, aku pasti telah membunuhnya.”
Nabi (saw) berujar, “Engkau
bukan orang yang mampu melakukannya. Pergilah engkau wahai Umar (ra), dan
bunuhlah orang orang itu!”
Umar pun masuk masjid. Ternyata
orang itu sedang bersujud sehingga Umar menunggunya cukup lama. Kemudian Umar
bergumam, “Sesungguhnya dalam sujud terdapat hak Allah yang mesti dijaga.” Maka
Umar (ra) kembali. “Seandainya aku berkonsultasi kepada Rasulullah (saw),
sesungguhnya orang yang lebih baik dariku pun telah melakukannya.” Maka Umar
(ra) mendatangi Rasulullah (saw).
Beliau (saw) bertanya,
“Sudahkah engkau membunuhnya?”
Umar (ra) menjawab, “Belum,
wahai Rasulullah (saw). Karena aku melihat dia sedang bersujud. Dan menurutku,
sujud memiliki hak yang mesti dijaga. Jika aku berkehendak untuk membunuhnya,
aku pasti telah melakukannya.”
Rasulullah (saw) bersabda,
“Engkau bukan orang yang mampu melakukannya. Berdirilah wahai Ali (kw) dan
bunuhlah olehmu jika kamu mendapati orang tersebut!”
Maka Ali (kw) pergi menuju
orang tersebut. Ternyata orang tersebut telah keluar dari masjid. Akan tetapi
Ali kembali menuju Rasulullah (saw).
Lalu beliau (saw) bertanya
kepada Ali (kw), “Sudahkah engkau membunuhnya?”
Ali (kw) menjawab, “Belum.”
Orang inilah yang terbunuh dalam perang Nahrawan melawan Ali
(kw), yaitu Dzu Tsadiyyah (Al
Mukhaddaj).
Rasulullah (saw) bersabda,
“Seandainya orang tersebut dibunuh hari ini, maka dua orang dari kalangan
umatku tidak akan berselisih, sampai Dajjal keluar.”
Dalam redaksi lain disebutkan:
“Maka (fitnah Dajjal) akan
menjadi fitnah pertama sekaligus terakhir.”
[ya Allah, kami berlindung kepada Engkau dari segala fitnah]
[1] Perang Nahrawan – Juli 658 M sebagaimana
dikisahkan oleh Ali Audah, Ali bin Abi Talib, Litera AntarNusa, hal 292 - 297
[4] Zaki Al-Din ‘Abd Al=Azhim Al-Mundziri, Ringkasan
Shahih Muslim. Mizan, 2009, hal 292-293
[7] Syaikh Musthafa Muhammad Abu al Mu’athi,
Dahsyatnya ramalan Rasulullah – Kumpulan Hadis Lengkap Rasulullah (saw) tentang
Masa Depan Umat dan Dunia (terjemahan dari kitab Nubuat Al-Rasul), Salamadani,
2012