Kamis, 20 Agustus 2020

Mencari hakekat alam-alam dengan kepastian

Adanya bumi, matahari, bulan, bintang, tumbuhan, hewan dan manusia menandai adanya kenyataan yang diketahui oleh manusia. Manusia mengetahui sesuatu melalui indrawi dan diafirmasi oleh memori. Bilamana memori tidak mengingatkan, maka manusia tidak bisa menyebut kenyataan tersebut atau tidak mengetahui. Demikian pula sebaliknya, kalau di memori ada, namun kenyataannya tidak ada. Dia pun bisa menyebut tetapi tidak mampu membuktikan. Oleh sebab itu kenyataan yang dapat kita indrai itu disebut dengan ilmu atau pengetahuan. Sedangkan kenyataan itu sendiri disebut dengan alam ciptaan (A1-A2-A3-A4-A5-A6-A7).

Dengan adanya kemampuan pikiran seperti mengingat (a5’’), mengerti (a6’’) dan akal (a7’’) untuk mencari cara, maka manusia mampu memasuki wilayah baru, yaitu alam imajinasi (A8-A9-A10). Melalui penyaksian adanya kejadian dan/atau peristiwa, maka manusia memperoleh pengetahuan. Kalau makhluk hidup lainnya bereaksi secara instingtif, manusia juga bisa namun manusia memiliki kelebihan menarik manfaat lebih dan mewujudkannya di alam ciptaan yang disebut dengan teknologi. Kemampuan menarik manfaat dari pengetahuan inilah yang disebut dengan pengertian. Pengertian masih menggantung di alam pikiran, lalu akal memberikan cara untuk mewujudkannya. Melalui pengertian dan akal ini, manusia menciptakan kenyataan atau peristiwa baru atau biasa disebut dengan istilah penemuan. Sehingga berkembanglah peradaban. Contoh sederhana adalah masalah penerangan. Zaman dahulu penerangan dihasilkan dengan memanfaatkan hasil alam seperti dengan membakar kayu kering, lalu berkembang menjadi obor lemak/minyak. Dengan teknologi muncul lampu listrik. Tanpa adanya pengertian akan listrik beserta rumus-rumusnya, maka tidak ada lampu listrik. Setelah pikiran mengerti, maka akal menunjukkan cara bagaimana mewujudkannya.

Dengan memahami kenyataan di atas, berarti ada alam di balik alam ciptaan Ilahi, yaitu alam pikiran atau alam imajinasi atau alam kesaksian. Dimana di alam tersebut kita temui adanya pengetahuan yang pasti (A8), pengetahuan yang belum pasti, masih diduga (A9) dan pengetahuan yang tidak bisa dipastikan (A10). Ketiganya adalah kepastian, sehingga tidak perlu dipertentangkan. Ketiganya bisa digunakan dan dimanfaatkan.

Kenyataannya, kebanyakan manusia terhenti di kedua alam tersebut. Semata-mata untuk mencari kesenangan diri. Sebagian ada yang menyadari bahwa kesenangan tersebut berasal dari Yang Kuasa, sehingga muncullah budaya kepercayaan kepada Yang Kuasa, Yang Gaib. Keberadaan Yang Gaib ini tidak bisa diketahui, karena memori tidak bisa menggambarkan. Pengertian pun tidak bisa menjelaskan, karena pengertian adalah pelaksana kuasa. Akal pun buntu, hanya bisa memberikan cara untuk mempercayai saja. Inilah yang disebut dengan alam Uluhiyyah atau alam ketuhanan.

Dari adanya kenyataan alam bahwa alam pun berproses, maka dari kacamata manusia diawali dari ide. Ide lalu disabdakan kepada diri untuk diwujudkan. Diri lalu terdorong untuk mewujudkan melalui daya cipta. Daya cipta ini akan menarik daya negatif menuju kepada kesimbangan atau netral dan kejadian atau peristiwa akan terwujud. Ini seperti atom, ada cita atom, ada netron yang merupakan sabda, ada proton yang merupakan daya cipta dan elektron daya negatif. Ini disebut alam perintah.

Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa alam adalah tempat pengetahuan. Dari penjelasan di atas kita mengenal empat alam, yaitu alam yang tidak kita ketahui, yaitu alam Ketuhanan. Di bawah-Nya terdapat alam perintah atau alam perintah yang didekati dengan teori. Lalu alam nyata atau alam semesta atau alam dunia. Atau bisa disebut juga dengan alam ciptaan. Selanjutnya terdapat alam kesaksian atau alam imajinasi atau alam pembuktian.

Dimanakah anda harus menempatkan diri?

 

Jakarta, 20 Agustus 2020; 1 Muharram 1442


Senin, 17 Agustus 2020

Allah Mengajarkan Nama-Nama

Dalam perjalanan untuk menengok cucu di Sidoarjo, tanpa sengaja sang sopir taksi membelokkan rute ke arah Trans-Mart. Dan entah bagaimana sang sopir terlihat ragu dan berhenti di suatu taman. Pada saat itu saya mengamati ada suatu kekuatan di daerah itu. Saya pun penasaran, kekuatan apakah itu?

Penasaran saya cari di Google Maps tentang lokasi tersebut. Dari Google Maps saya menangkap adanya museum Mpu Tantular. Menurut informasi yang diperoleh dari Wikipedia, Mpu Tantular adalah seorang Pujangga yang hidup pada zaman Majapahit dipimpin oleh Hayam Wuruk. Mpu Tantular mengarang kakawin Sutasoma. Dalam Kakawin tersebut terdapat motto yang menjadi semboyan NKRI, yaitu “Bhinneka Tunggal Ika”, yang artinya berbeda-beda namun satu jua.

Tantular berasal dari kata tan yang artinya tidak dan tular yang artinya pengaruh. Jadi Tantular artinya tidak terpengaruh atau teguh.

Saya pun merenungkan bahwa manusia zaman sekarang sudah kehilangan keteguhannya. Padahal salah satu sikap yang akan membawa kepada keberhasilan adalah sikap teguh. Kebetulan saya sedang berpuasa yang juga bermaksud melatih keteguhan.

Kenapa keteguhan sedemikian penting dalam hidup ini? Karena manusia-manusia yang tidak teguh akan mudah terombang-ambing dalam mewujudkan cita-citanya. Cita-cita yang sebenarnya harus disikapi sebagai nasehat Ilahi berupa sabda. Cita-cita yang ditangkap melalui pengertian (a6”) dan kemudian diturunkan ke dalam hati (a6) menjadi kemauan (a6’). Dalam kondisi terombang-ambing, tentunya sulit untuk fokus kepada tujuan. Otomatis cita-cita tersebut tidak terwujud.

Sebagai pengingat, selain keteguhan, manusia bisa sukses bilamana cerdas (sholat) dan kuat (zakat). Namun sebagai manusia yang mengakui Yang Kuasa, wajib percaya (iman) kepada-Nya bahwa cita-cita itu adalah nasehat-Nya demi kesempurnaan manusia itu sendiri.

Hampir seminggu kemudian, saya datang lagi ke Sidoarjo dan bersama anak naik motor ke Waru. Saat lewat tempat tersebut, ternyata ada monument yang diberi sebutan Jayandaru. Jaya berarti sukses dan ndaru berarti keberuntungan.

Tahukah anda bahwa nama-nama yang digunakan untuk menyebut sesuatu adalah berasal dari Yang Kuasa memberi nama? Tak ada kejadian ataupun peristiwa yang luput dari izin Yang Kuasa. Demikian pula adanya monumen Jayandaru, yang memberi nama adalah pejabat yang diberi kuasa. Berarti dia adalah utusan dari Yang Kuasa untuk mengingatkan dan memberitahu siapa saja bahwa semua orang sukses melalui keberuntungan. QS Al ‘Ashr 103 ayat 1-3: Demi waktu, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan saling menasehati supaya mentaati kebenaran dan saling menasehati supaya menetapi kesabaran.

Demikian pula dalam perjuangan hidup, suatu ketika kita akan berada di medan peperangan, yaitu peperangan untuk mewujudkan perintah Ilahi yang diturunkan melalui ide untuk mengajak orang-orang kembali kepada jalan Allah. Marilah berjuang untuk memegang teguh cita-cita tersebut dengan semangat Tantular agar tidak mudah berubah pikiran dan mengharapkan kesuksesan melalui keberuntungan Jayandaru. Janganlah mundur atau bergeser! Karena apapun hasilnya, kita pasti menang.

Sidoarjo, 11 Agustus 2019; 10 Dzulhijjah 1440

Sabtu, 08 Agustus 2020

Jalan Kematian

Setiap orang memiliki jiwa, raga dan hidup. Proses kelahiran dimulai dari jiwa yang belum berupa apa-apa, lalu berwadah sperma yang terpilih. Sang sperma kemudian membuahi pasangannya, yaitu sel telur menjadi janin. Janin tumbuh menjadi bayi. Bayi kemudian diberi hidup yang ditandai dengan nafas. Tanpa nafas kehidupan, seseorang tidak bisa apa-apa. Dengan hidup dia bergerak.

Dia kemudian keluar menghirup dunia. Mulai dari mendengar, lalu melihat. Raganya tumbuh dan berkembang dan menjadi semakin kuat. Otak reptilia yang mengontrol kemampuan sensorik dan motorik semakin cerdas. Demikian pula otak mamalia yang mengontrol perasaan dan kemauan.

Pikirannya pun berkembang, dimulai dari kemampuan mengingat, lalu mengerti dan dilanjutkan mencari cara dengan akalnya. Ingatan yang merupakan kumpulan data yang diawali dari data yang dia tangkap dengan sensoriknya, lalu menyimpan data hasil pengertian yang telah dia kumpulkan, hingga menyimpan berbagai cara yang telah dia hasilkan. Dia pun siap menjalani hidup.

Itulah proses kehidupan.

Bagaimana dengan jalan kematian?

Kematian adalah hilangnya kehidupan[1]. Berarti keluarnya hidup dari raganya. Atau dengan kalimat yang lain raga ditinggalkan oleh hidup dan jiwa. Raga lalu diletakkan di dalam tanah, ada yang dibiarkan, ada yang dibakar hingga tersisa abunya. Raga kembali kepada anasir alam.

Alam yang berasal dari api dan dengannya dunia menjadi terang. Dengan kembalinya raga kepada alam, maka tanpa api, jiwa pun hidup dalam dunia gelap dan dingin. Proses terpisahnya raga dengan jiwa dan hidup adalah kepastian, oleh karena itu setiap orang harus menyiapkan diri untuk menjalani proses keterpisahan ini. Kalau tidak, maka bersiaplah untuk menjalani kesakitan akibat kehilangan. Barangkali inilah yang disebut dengan sakaratul maut.

Maka mulailah sang diri bersama hidup menjalani kehidupan di alam dingin nan gelap. Kalaulah sang diri terlalu cinta kepada raganya, maka rasailah saat raga dipreteli satu demi satu hingga hancur menjadi alam. Dan saat itu sang diri akan sibuk menikmati sakitnya kehilangan. Tak akan sempat dia memperhatikan yang lainnya akibat terlalu sakitnya dirinya. Barangkali inilah siksa kubur. Maka beruntunglah mereka yang mengerti dan sadar saat hidup di dunia, apalagi kalau mau mengikuti arahan akalnya. Niscaya mereka mempersiapkan dirinya. 

Berhubung sebenarnya sang diri masih hidup, maka sang diri yang sudah berpindah ke alam kematian masih bisa berkomunikasi dengan yang hidup di alam dunia. Tentunya harus dengan izin dari Allah (Yang Maha Kuasa).

Masih mungkinkah di alam kematian, sang diri menjadi sadar?

Mungkin saja, karena sang diri masih ditemani oleh sang hidup. Dimana dalam hidup dia masih mungkin untuk mengerti. Kecuali mereka yang disibukkan dengan penderitaan. Apa yang mendorong mereka menjadi sadar? Tentunya melalui doa untuk mendapatkan ampunan dan rahmat Ilahi dari orang-orang yang masih hidup yang masih mengingat almarhum. Selain doa, maka ingatan, pengertian dan akal yang dibawa sang hidup akan membantunya. Ingatan akan amal kebaikannya berpotensi membawa dia kepada pengertian dan kesadaran yang semakin tinggi. Maka akalnya akan semakin fokus kepada tujuannya, yaitu selalu hadir menghadap Allah.

Oleh karena itu persiapkan sang diri dari sekarang untuk menempuh jalan kematian. Ibarat sang diri berada di bawah sebilah pedang tajam yang tergantung pada seutas benang yang tipis. Hingga setiap saat bisa terjadi.

 

Jakarta, 08 Agustus 2020; 18 Dzulhijjah 1441



[1] Ada beberapa istilah yang berhubungan dengan kematian, yaitu wafat, ajal dan raji’un. Wafat adalah terhentinya catatan amal. Ajal adalah waktu untuk sesuatu. Raji’un artinya kembali. Dengan demikian bisa dimengerti kenapa orang yang berperang di jalan Allah, ketika terbunuh tidak disebut mati. Karena dirinya tidak terikat kepada raganya dengan fakta mereka tidak takut mati dalam perang.


Jumat, 07 Agustus 2020

Hati Nurani Melawan Dajjal Filosofis

Siang itu bapak mertua memanggil karena ada keperluan yang sangat penting. Kepentingan ini ada hubungannya dengan tingkah laku umat yang sudah tidak layak. Dengan dalih agama dan mengatasnamakan Allah ada kelompok umat yang merasa benar sendiri dan berpotensi mengadu domba warga negera.

Pada saat tiba di tempat mertua, sudah ada pak Joni yang datang duluan. Kemudian tiba pula mas Dimas dan pak Basori. Setelah lengkap berempat, pak Basori dan mas Dimas diminta duduk di depan bapak. Kemudian bapak bertanya kepada mereka berdua perihal Kitab Suci dan Hati Nurani.

Saya yang saat itu duduk di sebelah kanan bapak, merasakan suasana yang tidak biasa. Sepertinya akan datang utusan Ilahi.

Setelah mendengar jawaban pak Basori dan mas Dimas, saya diminta duduk di depan bapak, diantara pak Basori dan mas Dimas. Pak Joni tetap di sebelah kiri bapak untuk menjadi saksi.

Bapak kemudian menyampaikan bahwa sedang menuju ke tempat kami bantuan yang datang dari Arab. Sosoknya memakai jubah putih dan bersorban. Namun saat bapak menyampaikan berita tersebut, utusan berjubah putih tersebut menuju ke laut selatan terlebih dahulu untuk menancapkan tongkatnya.

Suasana tidak biasa tersebut semakin kuat karena sang utusan telah tiba. Bapak kemudian menjelaskan maksud sang utusan, yang ternyata adalah malaikat, yaitu perihal Kitab Suci. Kitab Suci adalah bacaan yang bergantung tanpa gantungan, tidak bisa dikotori apalagi dirusak. Kitab Suci tersebut adalah hati nurani manusia. Hati nurani adalah Kitab Suci yang diturunkan oleh Allah Yang Maha Kuasa untuk menjadi pedoman hidup manusia.

Sepulang dari Banyuwangi dan saat duduk menunggu sholat Jumát, saya kepikiran bagaimana menyadarkan kembali rakyat Indonesia yang telah terpengaruh oleh pencatut agama bahkan berani mengatas-namakan Allah. Yang bersangkutan bahkan didukung oleh para ulama dan tokoh nasional. Pada saat itulah saya mendapat jawaban bahwa hanya dengan menyalakan hati nurani lah, maka rakyat Indonesia akan tersadar dan kembali kepada jalan kebenaran. Dengan upaya sebisa mungkin, saya menyalakan hati nurani saya dengan harapan bahwa Allah juga menyalakan hati nurani rakyat Indonesia.

Alhamdulillah, semenjak itu terjadilah perubahan suasana. Berangsur-angsur kesadaran rakyat Indonesia meningkat.

Beberapa minggu kemudian ketika pulang ke Banyuwangi, saat kami dan para sahabat berkumpul bersama bapak di tengah malam, tiba-tiba bapak memerintahkan Koko untuk mencari 3 buah durian yang bagus dan tidak boleh lewat dari jam 3 pagi. Alhamdulillah, dia berhasil membawa 3 buah durian walau ada satu yang kurang sempurna. Setelah bapak berdoa dan ditegaskan bapak agar Dajjal Filosofis yang menggelapkan hati nurani bangsa ini harus berhenti. Alhamdulillah yang bersangkutan pergi dan tidak kembali.

Apakah sebenarnya hati nurani? Hati nurani adalah hati yang bercahaya. Hati menggambarkan keadaan kejiwaan seseorang. Sedangkan nurani adalah cahaya yang menerangi. Dari manakah cahaya yang menerangi tersebut berasal? Cahaya tersebut berasal dari pikiran kita yang juga disebut sebagai Baitul Makmur atau tempat kesibukan Ilahi. Pada Baitul Makmur tersebut terdapat memori yang berisikan segala informasi tentang alam semesta ini, pengertian yaitu yang membuat manusia bisa menarik manfaat dari pengertian tersebut dan akal yang memberikan cara untuk mewujudkan cita-cita.

Bilamana digambarkan dengan rumus A – Jagad Pitu, hati (a6) yang padanya terdapat perasaan (a5’) atau emosi atau ghadhab adalah menurut Al Ghazalli dan kemauan (a6’) atau ambisi atau syahwat menurut Al Ghazali. Bilamana diri atau aku atau saya atau nafsu menguasai hati dan mengikuti perasaan (a5’), maka hidupnya akan seperti orang kerasukan jin. Sedangkan bilamana mengikuti kemauan (a6’), maka hidupnya akan kesetanan. Kalau ini dibiarkan seperti itu, maka hati (a6) akan semakin gelap dan semakin terkuasai oleh jin ataupun setan. Apalagi kalau sampai merambah ke pikiran (a7), maka yang muncul menguasai adalah watak Iblis.

Untuk mencegah hal tersebut, maka diri harus dibuat sadar. Kesadaran yang muncul dari pengamatan diri terhadap peristiwa berupa informasi dan bilamana diafirmasi oleh memori (a5’’) menjadi pengetahuan. Bilamana pengetahuan ini berhasil membawa manusia ingat bahwa ini semua adalah izin dari Yang Kuasa, maka disebut dengan dzikir. Dari keadaan teringat tersebut, kalau dihadapkan kepada Allah Yang Kuasa hingga memperoleh pengertian (a6’’) dan diturunkan ke dalam diri. Ini akan membuat kita tersadar. Tentunya pengertian (a6’’) akan terus bertanya, bagaimana merealisasikan pengertian tersebut menjadi wujud nyata yang bisa dinikmati? Di sinilah peran akal (a7’’) yang memberi solusi. Bilamana pengertian belum sampai, maka akal akan memberi solusi berupa kepercayaan (A10). Selanjutnya akal (a7’’) akan menyarankan untuk membuat teori, hingga teknik bahkan gambaran. Ini semua adalah ilmu (A9). Dari gambaran tersebut, maka bila diwujudkan akan menjadi realitas (A8) yang bisa dinikmati manusia.

Nikmatilah itu jangan malu-malu, jangan berpura-pura. Itu semua adalah nikmat Ilahi. Syukurilah, hingga terbukti bahwa cita-cita, ilmu dan realitas adalah satu kesatuan kebenaran yang disebut dengan Haqqul Yaqin.

Jadi hati (a6) yang diterangi oleh pikiran (a7) itulah yang disebut dengan hati nurani atau kitab suci umat manusia. Kitab suci yang telah diturunkan melalui para Nabi dan dituliskan merupakan referensi yang harusnya tetap kita jadikan sebagai sarana pembuktian juga bahwa bukan hanya kita, namun para Nabi pun membuktikan hal yang sama. Dengan demikian kita akan semakin yakin bahwa kita berada di jalan yang lurus, sebagaimana jalan para Nabi yang telah diakreditasi oleh Allah Yang Maha Kuasa.

QS Al A’raaf 7 ayat 3: Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran.

QS Al Maidah 5 ayat 68: Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran Taurat, Injil dan Al Qur’an yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu.” Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu akan menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka, maka janganlah kamu bersedih hati terhadap orang-orang kafir itu.

 

 

Sidoarjo, 10 Agustus 2019; 9 Dzulhijjah 1440

Persiapkan Dirimu Menghadapi Fitnah Akhir Zaman

Aku berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. Dengan Asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Dzat yang...