Jalan Kematian

Setiap orang memiliki jiwa, raga dan hidup. Proses kelahiran dimulai dari jiwa yang belum berupa apa-apa, lalu berwadah sperma yang terpilih. Sang sperma kemudian membuahi pasangannya, yaitu sel telur menjadi janin. Janin tumbuh menjadi bayi. Bayi kemudian diberi hidup yang ditandai dengan nafas. Tanpa nafas kehidupan, seseorang tidak bisa apa-apa. Dengan hidup dia bergerak.

Dia kemudian keluar menghirup dunia. Mulai dari mendengar, lalu melihat. Raganya tumbuh dan berkembang dan menjadi semakin kuat. Otak reptilia yang mengontrol kemampuan sensorik dan motorik semakin cerdas. Demikian pula otak mamalia yang mengontrol perasaan dan kemauan.

Pikirannya pun berkembang, dimulai dari kemampuan mengingat, lalu mengerti dan dilanjutkan mencari cara dengan akalnya. Ingatan yang merupakan kumpulan data yang diawali dari data yang dia tangkap dengan sensoriknya, lalu menyimpan data hasil pengertian yang telah dia kumpulkan, hingga menyimpan berbagai cara yang telah dia hasilkan. Dia pun siap menjalani hidup.

Itulah proses kehidupan.

Bagaimana dengan jalan kematian?

Kematian adalah hilangnya kehidupan[1]. Berarti keluarnya hidup dari raganya. Atau dengan kalimat yang lain raga ditinggalkan oleh hidup dan jiwa. Raga lalu diletakkan di dalam tanah, ada yang dibiarkan, ada yang dibakar hingga tersisa abunya. Raga kembali kepada anasir alam.

Alam yang berasal dari api dan dengannya dunia menjadi terang. Dengan kembalinya raga kepada alam, maka tanpa api, jiwa pun hidup dalam dunia gelap dan dingin. Proses terpisahnya raga dengan jiwa dan hidup adalah kepastian, oleh karena itu setiap orang harus menyiapkan diri untuk menjalani proses keterpisahan ini. Kalau tidak, maka bersiaplah untuk menjalani kesakitan akibat kehilangan. Barangkali inilah yang disebut dengan sakaratul maut.

Maka mulailah sang diri bersama hidup menjalani kehidupan di alam dingin nan gelap. Kalaulah sang diri terlalu cinta kepada raganya, maka rasailah saat raga dipreteli satu demi satu hingga hancur menjadi alam. Dan saat itu sang diri akan sibuk menikmati sakitnya kehilangan. Tak akan sempat dia memperhatikan yang lainnya akibat terlalu sakitnya dirinya. Barangkali inilah siksa kubur. Maka beruntunglah mereka yang mengerti dan sadar saat hidup di dunia, apalagi kalau mau mengikuti arahan akalnya. Niscaya mereka mempersiapkan dirinya. 

Berhubung sebenarnya sang diri masih hidup, maka sang diri yang sudah berpindah ke alam kematian masih bisa berkomunikasi dengan yang hidup di alam dunia. Tentunya harus dengan izin dari Allah (Yang Maha Kuasa).

Masih mungkinkah di alam kematian, sang diri menjadi sadar?

Mungkin saja, karena sang diri masih ditemani oleh sang hidup. Dimana dalam hidup dia masih mungkin untuk mengerti. Kecuali mereka yang disibukkan dengan penderitaan. Apa yang mendorong mereka menjadi sadar? Tentunya melalui doa untuk mendapatkan ampunan dan rahmat Ilahi dari orang-orang yang masih hidup yang masih mengingat almarhum. Selain doa, maka ingatan, pengertian dan akal yang dibawa sang hidup akan membantunya. Ingatan akan amal kebaikannya berpotensi membawa dia kepada pengertian dan kesadaran yang semakin tinggi. Maka akalnya akan semakin fokus kepada tujuannya, yaitu selalu hadir menghadap Allah.

Oleh karena itu persiapkan sang diri dari sekarang untuk menempuh jalan kematian. Ibarat sang diri berada di bawah sebilah pedang tajam yang tergantung pada seutas benang yang tipis. Hingga setiap saat bisa terjadi.

 

Jakarta, 08 Agustus 2020; 18 Dzulhijjah 1441



[1] Ada beberapa istilah yang berhubungan dengan kematian, yaitu wafat, ajal dan raji’un. Wafat adalah terhentinya catatan amal. Ajal adalah waktu untuk sesuatu. Raji’un artinya kembali. Dengan demikian bisa dimengerti kenapa orang yang berperang di jalan Allah, ketika terbunuh tidak disebut mati. Karena dirinya tidak terikat kepada raganya dengan fakta mereka tidak takut mati dalam perang.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Orang Jawa Menjelaskan Hakekat Manusia

Menyaksikan Keberadaan Rabbul 'alamin

Sugeng Kondur Bapak (Bapak Mas Supranoto)