Pengadaan - Pendekatan - Penghadiran Ke Hadirat Ilahi

Seharusnya setiap orang bisa memastikan bahwa Ilahi itu ada, melalui kenyataan yang terbeber di alam semesta ini. Kemudian kita berusaha mereka-reka akan wujud-Nya, namun kita tidak bisa menemukan-Nya, sehingga Dia disebut sebagai Yang Ghaib. Keberadaan setiap wujud yang ada di alam yang bisa kita indrai, juga ada dalam memori kita. Keberadaan wujud ini disebut pengetahuan pasti atau A8 atau ‘ainul yaqin, kita tidak bisa menyaksikan wujud-Nya. Yang bisa dilakukan hanyalah menandai dengan sebutan Ilahi. Karena Dia yang menggelar alam semesta ini, pasti Kuasa [Kemampuan melakukan apa saja]. Karena Dia Ghaib, maka hanya melalui pintu kepercayaan/keyakinan lah kita mengakui keberadaan-Nya. Sikap menyadari dan mengakui keberadaan Ilahi, kita sebut sebagai pengadaan.

Selanjutnya kita pun mempertanyakan tentang siapa diri kita dan apa hubungannya dengan Allah Yang Maha Kuasa?

Bukankah Kuasa tidak mungkin dikuasai? Sehingga pasti Dia menguasai DiriNya. Kesatuan Kuasa dengan DiriNya yang tak terpisahkan kita sebut sebagai Yang Maha Kuasa. QS Thaha 20 ayat 14: “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Ilah kecuali Aku, maka mengabdilah kepada-Ku dan dirikanlah Sholat untuk mengingat Aku.” Tegas Dia menyebut DiriNya dengan Allah. Bagi yang tidak mengenal Qur’an, hanya bisa memberikan sebutan Yang Maha Kuasa. Tentunya diri kita merupakan “percikan” dari DiriNya, yaitu sama-sama terkuasai. Setelah mengerti bahwa diri sejatinya adalah yang terkuasai, diharapkan tumbuh kesadaran diri bahwa kita hanyalah hamba Allah. itulah kenapa kita harus berani menerima kenyataan ini dan bersedia mengabdi kepada Allah. Ini harus dilatih untuk disikapi!

Sebagai hamba yang dikuasai Allah, sudah sewajarnya kita berupaya untuk mendekat kepada-Nya. Untuk bisa mendekat, tentunya dari sudut pandang kita sebagai hamba yang dikuasai adalah dengan berupaya mengenal-Nya. Sayangnya manusia memiliki “cacat”, yaitu apapun yang dikenalnya, akan dikuasainya. Contohnya adalah apa yang terbeber di alam ini berupaya untuk dikenal manusia dan ujungnya adalah penguasaan alam oleh manusia. Tentunya hal ini bertentangan dengan dorongan untuk mengenal agar bisa mendekat sebagai seorang hamba, bukan pelaku makar (ingin menguasai).

Pengenalan yang salah perihal Tuhan, dalam sejarah telah membuat manusia semakin jauh dari Tuhan. Sejarah telah mencatat adanya pembuatan patung-patung atau benda-benda yang dianggap sebagai sarana mendekatkan diri kepada Tuhan. Keadaan ini kemudian diikuti oleh orang-orang kemudian yang tidak mau mengerti yang akhirnya menjadikan patung dan wujud-wujud lain sebagai Tuhannya. Ketika patung-patung mulai disingkirkan dari penyembahan manusia, hasilnya adalah keberanian orang-orang untuk mengatas-namakan Tuhan dalam tindakannya. Bahkan sekarang muncul teori hingga menjadi kepercayaan bahwa suatu ketika, individu manusia akan bisa menjadi Tuhan. Ini menjauhi fitrah bahwa diri adalah yang dikuasai, bukan yang menguasai. Ingat Kuasa tidak mungkin dikuasai. Inilah puncak fitnah.

Strategi dan cara yang tepat akan membawa kepada keberhasilan, demikian sebaliknya. Supaya kita tidak salah sehingga tersesat atau bahkan bisa dimurkai, maka harus selalu berbasis kepada kenyataan dan kepastian keilmuan serta dibuktikan dalam kenyataan lagi. Pandangan yang berdasarkan atas fakta dan keilmuan ini yang dimaksud dengan Bashirah dalam QS Yusuf [12]: 108: Katakanlah, “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah dengan Bashirah (pandangan). Maha Suci Allah dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.”.

Kalau pengetahuan ini bisa diolah menjadi pengertian dan bisa diturunkan ke dalam diri, sehingga menjadi sikap, insya Allah dada kita akan terbuka. QS Az Zumar [39]: 22: Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah dadanya untuk menerima Islam, lalu mendapat cahaya dari Tuhan-nya? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang membatu dadanya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.

Kita sudah memastikan bahwa Allah itu Kuasa, tunggal tiada dua-Nya, mutlak, sempurna. Tentunya Dia tidak bisa dimengerti apalagi dikuasai. Berarti Dia berada di wilayah yang tidak diketahui atau mistik atau klenik atau A10. Karena tidak diketahui, tentunya di alam dunia tidak bisa diraba-raba menggunakan sensorik dan motorik a5’, tidak bisa dirasa-rasa dengan perasaan a5’’ dan tidak bisa diimajinasikan dengan memori a5’’’. Namun kita bisa membangkitkan ambisi dengan kemauan a6’’ untuk bertemu dengan Dia, namun pengertian a6’’’ mengingatkan bahwa pertemuan bisa terjadi hanya bilamana Dia bersedia. Akal a7’’’ pun buntu untuk memberikan strategi dan cara, kecuali hanya bisa menyarankan untuk berserah diri kepada Allah Yang Maha Kuasa, yang tidak bisa kita identifikasikan sambil berharap keberuntungan. QS al-Maidah [5]: 35: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah (menjaga diri dari yang membahayakan) kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah (bersungguh-sungguh) pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.''  Salah satu perintah Allah pada ayat di atas adalah untuk mencari jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, yang diistilahkan dengan Taqarrub-Ilallah. Perintah Taqarrub-Ilallah juga terdapat pada QS al-Alaq [96] : 19: "…. dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Allah)."

Posisi sujud adalah melatih diri untuk berserah hingga emosi diri menyatu dengan perasaan dan ambisi diri menyatu dengan kehendak Ilahi dengan menumbuhkan cinta yang dalam (syaghafaha hubban), hingga dikuatkan. QS Al Mujadilah [58]: 22: …. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan hingga ke dalam qalbu mereka dan menguatkan mereka dengan ruh dari-Nya. …. Cara pendekatan dengan bersujud sembari menumbuhkan cinta yang dalam kepada Allah hingga diperkuat dengan RuhNya tidak perlu dipermasalahkan atau dipersulit. Kerjakan saja! Bukankah Allah berfirman pada hadis Qudsi, ''Apabila seorang hamba-Ku mendekati-Ku dengan berjalan, maka Aku akan mendekatinya dengan berlari. Apabila ia mendekati-Ku satu jengkal, Aku akan mendekatinya satu hasta.'' (HR Bukhari dan Muslim).

Meski tidak perlu dipermasalahkan atau dipersulit, namun berhubung Allah adalah Ghaib, tentunya menimbulkan pertanyaan bagaimana cara bersujud kepada-Nya?

Bukankah Kuasa itu sempurna? Dari dulu, sekarang bahkan nanti tetap tidak berubah. Tidak laki-laki, tidak perempuan. Bisakah kita mengerti dan menyadari adanya keberadaan yang seperti itu? Itulah Allah. Inilah Allah.

Jangan sampai lupa menyebut AsmaNya dalam bersujud dan dalam setiap keadaan. Ingat akan bahaya ketersesatan bahkan dimurkai! QS Az Zukhruf [43]: 36: Barangsiapa berpaling dari ingat (dzikri) Yang Maha Pemurah (Ar Rahman), Kami adakan baginya syaitan, maka syaitan itulah teman yang selalu menyertainya.

Dalam kehidupan sehari-hari, cara mendekatkan diri adalah dengan menafkahkan apa yang kita miliki. Infaq maknanya adalah mengeluarkan sesuatu untuk suatu kepentingan. Sehingga bisa dimaknai apa saja, bisa harta, ilmu, tenaga, dan lain-lain. QS At Taubah [9]: 99: Di antara orang-orang Arab itu ada orang yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian dan memandang apa yang dinafkahkannya itu sebagai jalan untuk mendekatkannya kepada Allah dan sebagai jalan untuk memperoleh doa Rasul. Ketahuilah, sesungguhnya nafkah itu adalah suatu jalan bagi mereka untuk mendekatkan diri. Kelak Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Bagaimana penjelasannya?

Setiap individu pasti pernah menangkap ide/cita-cita. Bukankah ide berasal dari Yang Gaib, yang tidak kita ketahui? Ketika kita terima, bukankah kita disuruh melaksanakan? Berarti kita adalah utusan dan ide itu adalah Kitab. Sedangkan yang menyampaikan ide dari Yang Gaib tersebut kepada kita bisa disebut sebagai malaikat. Untuk mewujudkannya, kita sebagai utusan wajib percaya bahwa itu adalah ketentuan Yang Gaib dan upaya kita sebagai pelaksana akan menentukan berhasil atau tidak, termasuk kualitas keberhasilannya. Bukankah ini Rukun Iman?

Sebagai yang diutus mewujudkan ide, tentunya kita harus bersaksi atas ada-Nya Yang Kuasa memberi ide dan kita mengakui sebagai pelaksananya. Dalam hal agama Islam, Nabi Muhammad saw adalah yang menangkap ide dan sebagai pelaksananya. Dalam proses mewujudkan ide, harus menggunakan strategi dan cara. Itu adalah orang yang cerdas, sehingga potensi kegagalan boleh dibilang ‘nol’. Orang cerdas adalah orang yang mengetahui dirinya dan sarana hidupnya dan bisa memanfaatkannya. Untuk mewujudkan ide, kita perlu modal, yaitu pengorbanan diri, harta, waktu dan lain-lain. Dalam proses perwujudan, akan kita hadapi halangan, tantangan, rintangan, cobaan dan lain-lain. Tanpa kekhusyuan dan ketahanan dalam perjuangan sulit ide tersebut kita wujudkan. Bisa-bisa di tengah jalan berubah pikiran, sehingga tidak terwujud. Namun saat ide tersebut terwujud, bisakah kita menyadari bahwa itulah tempat pertemuan kita dengan Yang Maha Kuasa, Yang Gaib? Haji adalah arafah. Arafah itu bermakna mengetahui, mengenal, menyadari. Latihlah untuk menyadari bahwa dimana pun kita berada, kita sedang bersama-Nya. Mirip dengan Rukun Islam kah?

Tentunya amal ibadah kita targetnya adalah menyaksikan Allah (Ihsan). Pun kalau belum bisa menyaksikan, percayalah bahwa Dia melihat kita.

QS al-Kahfi [18]: 110: "Katakanlah, “Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku, “Bahwa sesungguhnya Ilah kamu itu adalah Ilah Yang Esa.” Maka, barang siapa mengharap pertemuan dengan Ilah-nya maka hendaklah dia mengerjakan amal shalih (terhindar dari keburukan/kerusakan) dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Ilah-nya."

Rasulullah SAW mengajarkan doa, "Wahai Allah, jadikanlah sebaik-baik umurku adalah pada akhirnya, sebaik-baik amalku adalah amal penutupnya, dan sebaik-baik hariku adalah hari saat aku bertemu dengan-Mu." (HR Thabrani).

 

Papahan, 10 Februari 2022; 9 Rajab 1443 H

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Orang Jawa Menjelaskan Hakekat Manusia

Menyaksikan Keberadaan Rabbul 'alamin

Sugeng Kondur Bapak (Bapak Mas Supranoto)