Rabu, 26 Desember 2012

Cara Mi'raj (Moksa) Dengan Rumus A

Kuasa yang disimbolkan dengan (🟊) adalah kemampuan berbuat apa saja. Kuasa pasti mutlak, sempurna, tunggal tiada duanya. Kuasa harus ada yang dikuasai, yaitu Aku-Nya. Kuasa dengan yang dikuasai atau Aku-Nya merupakan suatu kesatuan utuh yang tak terpisahkan. Aku sebagai yang dikuasai tidak memiliki kemampuan apapun, namun memiliki dorongan untuk memiliki (keakuan). Kuasa kemudian menciptakan alam, hingga tercipta makhluk yang paling sempurna, yaitu manusia (A7).
Dengan adanya penciptaan, Aku yang dikuasai menguat dorongan ingin memilikinya, sehingga dia melakukan makar tidak mau mengakui keberadaan Kuasa. Bahkan ingin dikuasainya. Oleh karena itu Aku yang dikuasai disabda turun ke alam, diantaranya adalah ke manusia (A7). Aku yang dikuasai ini dididik di alam manusia agar bisa sadar diri, yaitu sebagai yang dikuasai atau hamba atau utusan atau khalifah.
Manusia (A7) merupakan puncak dari cipta Kuasa melalui evolusi alam. Kemudian individu manusia atau orang (a7) dikeluarkan dari alam manusia dan dijadikan wadah bagi sabda dari Kuasa untuk menggembleng Aku yang dikuasai yang makar. Dengan disabda turun ke seseorang, maka orang Indonesia menyebut dirinya dengan sebutan “saya”. Menurut orang Jawa “saya” ini adalah Suksma Kesiku, yaitu suksma yang sedang menjalani hukuman.
Aku yang dikuasai ini disabda untuk turun menjadi saya dan terikat dalam jasmani orang (a7). Jasmani orang yang tercipta dari elemen api (A1) dijadikan sebagai wadah untuk mendidik saya agar tahu diri. Dalam proses pendidikannya, saya seharusnya bisa bermanifestasi menjadi Suksma Sejati atau Aku Yang Kuasa melalui arahan akal (a7’’). Saya disabda turun hingga ke dalam hati (a6), dimana dilengkapi dengan perasaan (a5’) dan kemauan (a6’).
Proses penggodogan di kehidupan dunia agar saya menjadi ingat kembali (saya <<< a5’’) akan fitrah dirinya, hingga mengerti atau sadar (saya <<< a6’’) akan perannya dan cerdas (saya <<< a7’’) dalam mensikapi hidupnya. Proses penggodogan ini harus melalui kesediaan saya untuk menerima kenyataan hingga memperoleh pemahaman dari pengertian (a6’’) dan dengan percaya (l), maka saya bisa kembali kepada Kuasa. Di tahap inilah saya pantas disebut sebagai hamba atau utusan atau khalifah Allah atau Insan Kamil.
Inilah pemahaman saya atas penjelasan bapak Mas Supranoto dengan kalimat “Ingsun sejatine utusan”. “Winengku dening Sang Hyang Jagad”, bermakna sebagai utusan yang hidup di alam dunia dihidupi oleh alam. “Kinasih Gusti Kang Moho Kuwoso”, maksudnya jelas bahwa saya dicintai oleh Gusti Yang Maha Kuasa. Sebagai Utusan dari Yang Maha Kuasa di dunia tentunya saya termasuk kategori yang dipercayai. Untuk apa saya diutus? Sedangkan saya adalah yang dikuasai, jadi saya sejatinya tidak bisa apa-apa. Ternyata saya diutus untuk membangun peradaban yang mengantar manusia kepada kenikmatan. Inilah makna dari “urip amangun gesang”. Tujuannya agar mengupayakan hidup seimbang, tentram-damai dan jauh dari masalah, yaitu “ngudi urip laras, tentrem-ayem, adoh ing sambikolo”. Ibarat Semar membangun kahyangan.
Sedangkan jasmani (a1 s/d a4) akan menjadi wadah dari saya dalam menjalankan peran hidup di dunia. Saya yang diberi nama berhadapan dengan alam untuk belajar mengenali fitrah jati dirinya dan menjadi pelaksana atas perintah-perintah dari Yang Kuasa. Sebagai pelaksana seseorang dilengkapi sarana bathin berupa daya (a5), hati (a6), pikiran (a7).
Melalui proses perkembangan kesempurnaan dirinya, pada tahap awal orang akan terseret oleh akunya dan menggunakan jasmaninya untuk memuaskan diri (saya >>> a1 s/d a4). Dimana kegiatan hidupnya hanyalah menjalankan memerintahkan jasmani untuk makan, bereproduksi dan mempertahankan hidupnya dengan menggunakan sarana panca indra/sense. Seperti manusia purba.
Selanjutnya saya akan menyeret daya raga  (saya >>> a5). Dia akan cenderung suka menilai, mencela, mengumpat, menyalahkan.
Lalu saya akan menyeret perasaan hati (saya >>> a5’). Dia akan terbawa perasaan hati, hingga seperti orang kerasukan. Wataknya gampang tersinggung.
Kemudian saya akan menyeret kemauan (saya >>> a6’), dimana dia akan didorong untuk menggali nikmat lebih. Kemauan yang berada di dalam dada. Dia akan cenderung mengambil manfaat pada setiap kesempatan bagi dirinya. Kemauan (a6’) ini akan membawanya kepada watak kesetanan.
Lalu dia akan menyeret pikiran (saya >>> a7). Keakuannya akan menguat, watak Iblis akan muncul. Dia menjadi enggan dan takabur.
Saya juga dilengkapi dengan memori (a5’’) yang berada di otak. Ketika saya bisa menempatkan dirinya pada memori (saya <<< a5’). Saya akan diingatkan akan dirinya, ingat akan asal usulnya. Saya diingatkan akan sangkan parannya. Saya diingatkan akan adanya Kuasa. Namun sebaliknya kalau saya menguasai memori (saya >>> a5’’), maka saya akan memiliki kebiasaan menilai dengan nilai saya. Akibatnya saya tetap dalam kesesatan bahkan bisa terhukum.
Bagaimana cara saya untuk bisa memasuki wilayah memorinya (a5’’)?
Salah satu cara adalah dengan melihat kenyataan dan diterima faktanya hingga ke dalam diri saya yang ada dalam hati. Kenyataan ini harus diterima apa adanya. Setelah itu baru dimunculkan pertanyaan kenapa Yang Kuasa membuat ini terjadi? Pada awalnya saya akan terjebak kepada keadaan positif dan negatif. Saya akan cenderung mengupayakan yang positif dan menolak yang negatif. Dengan penerimaan atas fakta kejadian, saya diingatkan bahwa kejadian adalah bentuk kekuasaan. Berarti dibalik kenyataan atas peristiwa terdapat kehendak Yang Kuasa berupa cita atas peristiwa tersebut. Kejadian atas peristiwa tersebut adalah karena adanya kuasa lebih yang berasal dari izin Yang Kuasa. Di saat inilah saya akan teringat akan keberadaan Yang Kuasa.
Dari ingat tadi, dia kemudian ditarik kepada pengertiannya, sehingga dia mengerti atau sadar (aku <<< a6’’). Dia sadar akan peran dan tugasnya. Sadar bahwa dia hidup di dunia ini adalah sedang digembleng dalam narloka agar kembali kepada asalnya.
Setelah mengerti atau sadar, lalu aku mau apa? Ditariklah aku kepada akalnya (aku <<< a7’’), dimana dia menjadi cerdas karena sudah mendapatkan kepastian akan jalannya. Pun kalau dia tidak mengerti, dia akan mengambil keputusan untuk percaya kepada Kuasa.
Saya dengan akal (a7’’), pengertiannya (a6’’) dan memori (a5’’) berinteraksi dengan alam lahir (A1 s/d A7) dan juga dengan Yang Bathin («|l|A). Secara total, maka dia berinteraksi dengan Allah Rabbul álamin. Dari hasil interaksi ini, dia menarik kesimpulan bahwa ada hal-hal yang dia tidak tahu, disebut sebagai ilmu mistik/klenik (A10), pendekatannya dengan kepercayaan. Ada pula hal-hal yang sifatnya berupa dugaan atau ilmu teori/karang atau ada makna dibalik itu yang disebut filsafat (A9). Dan ada wujud-wujud di alam sehingga disebut dengan ilmu pasti (A8) karena sudah bisa diinderai keberadaannya. Ketiga ilmu ini merupakan satu kesatuan proses, proses perwujudan apa saja. Contoh, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dulunya tidak ada. Lalu ada dalam bentuk cita-cita. Ini berarti masih di A10. Lalu pada saat rapat persiapan kemerdekaan, semua pendiri bangsa ilmul yaqin bahwa NKRI akan segera terwujud. Dan betul bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945, NKRI berdiri. Secara keilmuan, NKRI tidak ada, lalu menjadi ide/cita-cita, lalu menjadi teori NKRI pada benak para pendiri bangsa dan akhirnya dinikmati oleh setiap warga NKRI. Dengan demikian, bukankah alam pikiran adalah alam surgawi?
Akhirnya saya menyadari bahwa semua ini adalah kegiatan dari Yang Kuasa atau Allah Rabbul ‘alamin diwujudkan melalui upaya manusia. Ini bisa disebut dengan proses menurun (tanazul), yaitu mewujudkan keberadaan Yang Kuasa dari alam ruhani hingga ke alam jasmani. Demikian pula sebaliknya, saya ketika menjalani kehidupan harus berhadapan dengan kesengsaraan. Ini berarti saya hidup dalam api neraka (narloka). Untuk bisa bebas dari kesengsaraan, saya perlu kembali kepada Yang Kuasa. Sehingga disini ada proses menaik (taraqi/ mi’raj), saya kembali kepada Kuasa. Proses menaik ini bisa juga disebut dengan sholat.
Proses menurun dan menaik ini seharusnya teraplikasi dalam kehidupan orang setiap saat. Dengan demikian alam semesta ini akan berkeseimbangan. Karena peran orang yang sudah mengerti akan fitrah jati dirinya. Sebaliknya yang tidak mengerti akan fitrah jati dirinya adalah sumber kerusakan alam semesta.
Jadi terbukti bahwa rumus A atau wahyu Jagad Pitu bisa dipergunakan untuk menjelaskan potret kehidupan, terutama manusia dan bisa menjelaskan siapa yang dimaksud dengan Yang Kuasa. Walau hanya sekedar pengertian, mengingat Dia adalah ghaib. Yaitu tidak bisa diketahui. Dan terbukti bahwa semuanya ini adalah bahasan pikiran (a7), dimana semuanya tercakup di dalamnya.
Konon ketika Yang Kuasa menciptakan manusia dan meminta kesaksian sayanya, maka seluruh manusia bersaksi kepada-Nya. Ketika Dia menciptakan dunia, maka 90% saya manusia lari kepada dunia dan tersisa 10% yang masih menerima-Nya sebagai Tuhannya. Kemudian ketika Surga diciptakan, maka dari sisa yang 10%, 90% saya lari menuju Surga dan meninggalkan Yang Kuasa. Maka yang tersisa adalah 10% dari 10% umat manusia atau 1% dari keseluruhan umat manusia yang masih bersedia berserah diri kepada Allah. Itulah kelompok orang-orang yang bisa kembali kepada sumbernya tanpa muatan.
Bagi mereka yang belum sadar selama hidup di dunia, masih harus menghadapi gemblengan selanjutnya, yaitu alam kubur yang dingin. Alam yang bisa diketahui kepastian adanya, namun terbatas informasi tentang bagaimana proses yang berlangsung di dalamnya. Diduga, bilamana beruntung bisa memperoleh ampunan, yaitu melalui amalan selama hidup di dunia yang masih bisa dimanfaatkan oleh orang lain untuk ingat akan Yang Kuasa. Dalam Islam disebutkan dalam hadits Muslim: “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan atau doa anak sholeh.” Ini adalah bentuk kasih sayang dari Yang Kuasa. Sedangkan mereka yang sudah sadar selama di dunia akan menikmati masa tunggu bersama Yang Kuasa.
Bagaimana dengan mereka yang belum juga mendapatkan ampunan? Konon dalam kehidupan di padang Mahsyar tanpa makanan saya baru bisa mengerti dan ada yang diberi ampunan, yaitu melalui pertolongan (syafaat). QS Maryam 19 ayat 85-86: “Pada hari Kami mengumpulkan orang-orang yang bertakwa kepada Allah Yang Maha Pemurah sebagai putusan yang terhormat. Dan Kami akan menghalau orang-orang yang durhaka ke neraka Jahanam dalam keadaan dahaga.” Tidak dipungkiri tetap saja ada yang tidak mau mengerti (kafir), tidak mau menerima (munafik) bahkan dengan keras berpaling (musyrik), hanya Yang Kuasa yang tahu apa yang terjadi dengan mereka.

Sabtu, 15 Desember 2012

Kekuasaan Yang Disebut Dengan Allah Yang Maha Kuasa

Kalau ada yang bertanya, siapa yang memelihara kamu? Umumnya orang akan menjawab Tuhan atau Allah. Padahal kenyataannya orang dipelihara oleh alam yang dipersonifikasikan sebagai Sang Hyang Jagad atau Rabbul álamin atau Tuhan semesta alam. Pernahkah kita mengungkapkan rasa syukur kepada-Nya?
Bagaimana pula jawaban kita kalau ditanya siapakah yang melindungi kamu? Hampir pasti jawabannya sama. Padahal kenyataannya kita dilindungi oleh negara dan pemerintahannya. Kita tidur dijaga negara. Kita tidak perlu membuat listrik sendiri, disediakan oleh negara.
Lalu dalam kehidupan, siapa yang memerintah kita sehingga kita sibuk beraktifitas? Jawabannya pun juga sama. Padahal kenyataannya kita beraktifitas karena perintah dari alam. Sebagai contoh kita makan, bukankah karena didorong oleh rasa lapar?
Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut ditariklah suatu garis merah kesamaan bahwa keberadaan segala sesuatu di alam ini merupakan bentuk-bentuk kekuasaan. Dengan demikian  kekuasaan adalah hasil karya dari Kuasa. Padahal kuasa bersifat mutlak. Tanpa kemutlakan, bukan kuasa. Tapi kenapa kuasa selama ini dianggap milik Yang Kuasa? Kalau benar begitu, maka kuasa menjadi tidak kuasa. Kuasa wajib menguasai, berarti harus ada yang dikuasai. Kuasa tanpa ada yang dikuasai adalah kebohongan.
Merenungkan hal ini Bapak menarik kesimpulan bahwa apa yang tergelar ini adalah bentuk-bentuk kekuasaan. Kuasa dan yang dikuasai adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan atau dengan bahasa lain disebut Yang Kuasa. Karena Kuasa mutlak, pasti tidak ada duanya, tunggal, maka Yang Kuasa adalah mutlak. Dari dahulu, sekarang maupun nanti ya tetap dalam kesempurnaan.
Mana Yang Kuasa itu? Kebanyakan manusia merasa sudah bertemu dengan Yang Kuasa tersebut. Padahal sebenarnya mereka ditipu, akibat dari sok tahu. Kalau Yang Kuasa diketahui, maka Dia menjadi tidak kuasa. Bukankah segala sesuatu yang dikuasai manusia selalu berawal dari diketahui terlebih dulu? Yaitu bisa diinderai.
Barangkali karena kerumitannya ini, maka orang pun berupaya menyatakan keberadaan Yang Kuasa. Bentuk-bentuk pernyataan akan keberadaan Yang Kuasa bermacam-macam, dari bangunan berupa  rumah, tonggak batu hingga patung. Masing-masing memiliki penjelasannya, misalnya bangunan berupa rumah seperti contoh Ka’bah adalah simbol tempat pertemuan antara Yang Kuasa dengan hamba-Nya. Tonggak batu seperti Lingga-Yoni melambangkan asal-usul kehidupan seseorang berasal dari bapak dan ibu. Patung awalnya sebagai pemujaan kepada seseorang yang pada saat kehidupannya adalah pahlawan masyarakat. Dalam istilah Islam disebut tawasul.
Demikian pula karena kebiasaan orang berfikir harus ada subyeknya, maka pada zaman sekarang dipilihlah kata Tuhan sebagai subyek yang bersifat Ilahiyah. Padahal kata Tuhan menurut ahli bahasa Remy Silado berasal dari orang Belanda untuk menterjemahkan kata God dalam Injil. Namun menurut Agus Sunyoto kata Tuhan berasal dari bahasa Jawa Kuno yang artinya Penguasa Positif bukan Yang Kuasa mutlak atau Tu. Sedangkan penguasa negatif disebut hantu. Bagi mereka yang mengerti tidak masalah, namun kasihan bagi mereka yang tidak mengerti.
Dengan demikian Kuasa tersebut ditandai dengan sebutan Allah Yang Maha Kuasa. Dalam Pembukaan UUD’45 yang dituhankan oleh bangsa Indonesia, disebut dengan Allah Yang Maha Kuasa. Dalam pelaksanaan pemerintahan, mengingat banyaknya agama yang dianut di Indonesia dengan berbagai sebutan, maka digunakan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Barangkali maksud awal dari frasa tersebut adalah izin dari negara untuk menyebut Tuhan masing-masing agama dan kepercayaan dengan sebutan masing-masing asalkan berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari frasa ini kemudian ditafsirkan oleh pejabat negara sebutan Tuhan bagi bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Tuhan Yang Maha Esa.
Kata Esa dimaknai sebagai tunggal dan tidak ada duanya. Walaupun ada juga yang menyatakan bahwa Esa berarti yang ini, yaitu Yang meliputi ini semua.
Anehnya, ketika Gubernur Bank Indonesia mencetak mata uang kertas, mereka menggunakan kalimat “dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa …” dan pada kenyataannya mereka semua masuk penjara. Bahkan nilai rupiah pun merosot terhadap Dollar Amerika. Apakah pernyataan “Dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa” kalah oleh “In God we trust” bagi bangsa Amerika? Apakah ini masalah keyakinan (Trust) ataukah masalah kesalahan dalam penyebutan Tuhan?
Dari catatan sejarah tentang pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia memang terjadi perbedaan pendapat tentang sebutan Tuhan. Bagi umat Islam, Kristen dan Katolik tidak mempermasalahkan sebutan Allah, karena ada dalam Kitab Sucinya. Bagi pengikut agama Budha dan Hindu tentunya menjadi masalah, sehingga mereka menyetujui dalam Pembukaan UUD 1945 digunakan kalimat “Atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa …”. Namun kenyataan yang terjadi dan sampai sekarang diterima, Pembukaan UUD 1945 tetap menggunakan kalimat “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa …”.
Jadi memang benar bahwa yang memberi kekuasaan kepada bangsa Indonesia adalah Allah Yang Maha Kuasa. Dengan anugerah-Nya berupa kekuasaan dan didorongkan dengan cita-cita luhur bangsa Indonesia, maka kekuasaan tersebut diwujudkan dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dan demi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia bahkan untuk umat manusia, sebutan Tuhan Yang Maha Esa bisa diterima dengan pengertian bahwa yang dimaksud adalah Yang Kuasa yang dituhankan.
QS Al Isra’ 17 ayat 110: “Katakanlah: Serulah Allah atau serulah Ar Rahman! Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaul husna ….”

Senin, 10 Desember 2012

Ujung Perjalanan manusia

Dalam masyarakat Hindu dikenal kasta yang sayangnya untuk menyatakan kelompok strata masyarakat berdasarkan kelahiran. Semestinya itu adalah untuk menyatakan tingkat sikap dan tekad perjuangan masing-masing individu.
Orang-orang yang selalu memikirkan kesuksesan masyarakat dalam mewujudkan qiblat dan Baitullah adalah kelompok guru atau pendeta. Kelompok yang selalu memikirkan kemakmuran masyarakat adalah kelompok penguasa. Kelompok yang membantu para raja adalah kelompok aparat dan ada juga  pedagang. Sedangkan rakyat jelata adalah mereka yang mengambil keuntungan bagi diri dan keluarganya saja.
Namun sebenarnya itu merupakan proses perjalanan kehidupan setiap orang, yang dimulai dari ketidak-mampuan seperti bayi dan seterusnya hingga mencapai kecerdasan dan kekuatan dan berujung kepada kebijaksanaan atau hikmah sebelum kembali kepada Yang Kuasa (kematian).
Hidup manusia adalah dihidupkan berarti bukan mengakhiri hidup sendiri, karena itu adalah tanda kekalahan. Dalam perjalanannya banyak orang yang menyerah bahkan menyerah kepada ketidak-mampuan memenuhi hasrat kemauannya. Padahal secara fitrah orang hidup adalah untuk mewujudkan cita-cita. Bahkan sekarang pun muncul bom bunuh diri yang sepertinya adalah bentuk kebosanan akan kehidupan dunia dan tergesa-gesa mengharapkan surga.
Padahal hidup di dunia adalah untuk digembleng agar “saya” mengerti akan jati dirinya, yaitu sebagai yang dikuasai. Tentunya dengan kesadaran baru bahwa “saya” adalah yang dikuasai, maka sudah sepantasnya “saya” selalu bersedia menjadi pelaksana atas kehendak Kuasa. Kesadaran ini semestinya dicapai dalam kehidupan di dunia ini, yang merupakan Narloka atau tempat api dan berfungsi sebagai penggembleng “saya” agar sadar diri. Oleh karena itu manfaatkanlah waktu sekarang untuk hidup yang akan datang. Yaitu melalui dharma untuk pribadi, dharma untuk keluarga, dharma untuk masyarakat, dharma untuk negara dan dharma untuk Tuhan Yang Maha Kuasa.

Senin, 03 Desember 2012

Qiblat & Baitullah

Tujuan itu adalah qiblat. Tujuan bisa dari berbagai jalan, apakah dari sisi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Namun tujuan tertinggi adalah Allah Yang Maha Kuasa. Sehingga setiap langkah kehidupan manusia selalu diarahkan atau berqiblat kepada tujuan tertinggi tersebut. Qiblat tanpa Bait hanyalah angan-angan. Bait adalah bentuk upaya nyata agar tujuan tercapai. Misalnya sholat adalah upaya mengarahkan diri kepada Allah, tentunya harus ada bentuk yang nyata yang menandai, yaitu masjid atau misalnya ingin mendapat rezeki dari Yang Maha Kuasa, maka baitnya adalah perusahaan.
QS Al Baqarah 2 ayat 147-150: Kebenaran itu adalah dari Rabb-mu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu. Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dan dari mana saja kamu keluar (datang), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram, sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Rabb-mu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan. Dan dari mana saja kamu (keluar), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). Dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu dan supaya kamu mendapat petunjuk.
Qiblat dan Bait ini harus diterapkan di segala aspek kehidupan. Sebagai contoh tujuan orang adalah kesejahteraan (ekonomi), maka Baitnya adalah tempat dia berusaha atau tempat dia bekerja. Bait seharusnya untuk menandai keberadaan Ilahi pada setiap kegiatan manusia, sehingga bisa disebut sebagai Baitullah. Dengan demikian setiap orang wajib menegakkan Qiblat & Baitullah. Karena dengan adanya Baitullah yang merupakan bentuk kekuasaan Tuhan, kita bisa menyaksikan keberadaan-Nya.
Tentunya setelah terwujud, haruslah juga dirawat dengan kesungguhan. Hilangnya pemahaman Baitullah menandai awal kehancuran alam semesta.

Persiapkan Dirimu Menghadapi Fitnah Akhir Zaman

Aku berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. Dengan Asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Dzat yang...