Sabtu, 27 Juli 2013

Inilah Wali-Wali Allah

Manusia adalah khalifah Allah di muka bumi. Khalifah dalam menggali nikmat Allah untuk mengetahui Kebesaran dan Kemuliaan-Nya. Khalifah yang mampu menjaga keseimbangan dunia melalui kekuatan jiwanya (taqwa). Khalifah yang selalu mengingatkan manusia lain untuk selalu berketuhanan. Mereka mengenal Tuhannya, mengenal kesejatian dirinya, mengenal lingkungannya. Mereka adalah yang senantiasa berbudaya berketuhanan.
Masyarakat yang berbudaya berketuhanan adalah kumpulan orang-orang yang mencintai Allah, selalu ingat kepada-Nya, selalu dekat kepada-Nya, selalu menyerahkan dirinya kepada-Nya; masyarakat yang selalu dalam kebenaran, merekalah orang-orang yang bertakwa. Merekalah yang mengetahui jati dirinya. Mereka yang bermakrifat kepada Allah adalah orang-orang yang tersenyum di dunia ini, karena kefakiran dan berani meninggalkan dunia dalam jiwanya.
Jadi siapapun memiliki hak untuk bisa mencapai maqam para Wali atau hamba Allah, asalkan mau bersungguh-sungguh menjalankan Islam sebagaimana tuntunan Nabi s.a.w.. Mereka yang berjuang dengan bersungguh-sungguh untuk menjadi hamba Allah atau khalifah Allah atau Wali Allah, menurut para Ulama adalah mereka yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.   Selalu ingat kepada Allah dan jika melihat mereka, akan mengingatkan kita kepada Allah SWT
‘Iyadz ibnu Ghanam menuturkan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: “Malaikat memberitahu kepadaku: “Sebaik-baik umatku berada di tingkatan-tingkatan tinggi. Mereka suka tertawa secara terang, jika mendapat nikmat dan rahmat dari Allah, tetapi mereka suka menangis secara rahasia, karena mereka takut mendapat siksa dari Allah. Mereka suka mengingat Tuhannya di waktu pagi dan petang di rumah-rumah Tuhannya.
Mereka suka berdoa dengan penuh harapan dan ketakutan. Mereka suka memohon dengan tangan mereka ke atas dan ke bawah. Jiwa mereka selalu merindukan Allah. Mereka suka memberi perhatian kepada manusia, meskipun mereka tidak dipedulikan orang. Mereka berjalan di muka bumi dengan rendah hati, tidak congkak, tidak bersikap bodoh dan selalu berjalan dengan tenang. Mereka suka berpakaian sederhana. Mereka suka mengikuti nasihat dan petunjuk Al Qur’an. Mereka suka membaca Al Qur’an dan suka berkorban. Allah suka memandangi mereka dengan kasih sayang-Nya.
Mereka suka membagikan nikmat Allah kepada sesama mereka dan suka memikirkan negeri-negeri yang lain. Jasad mereka di bumi, tapi pandangan mereka ke atas. Kaki mereka di tanah, tetapi jiwa mereka di langit. Jasmani mereka di bumi, tetapi jiwa mereka di Arsy. Ruh mereka di dunia, tetapi akal mereka di akhirat. Mereka hanya memikirkan kesenangan akhirat. Dunia dinilai sebagai kubur bagi mereka. Kubur mereka di dunia, tetapi kedudukan mereka di sisi Allah sangat tinggi. Kemudian beliau menyebutkan firman Allah QS Ibrahim 14 ayat 14: dan Kami pasti akan menempatkan kamu di negeri-negeri itu sesudah mereka. Yang demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang takut (akan menghadap) kehadirat-Ku dan yang takut kepada ancaman-Ku."
Dari Amru Ibnul Jammuh, katanya: “Ia pernah mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: “Allah berfirman: “Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, wali-wali-Ku adalah orang-orang yang Aku cintai. Mereka selalu mengingat-Ku dan Aku pun mengingat mereka.”
Dari Said r.a., ia berkata: “Ketika Rasulullah s.a.w. ditanya: “Siapa wali-wali Allah?”
Maka beliau bersabda: “Wali-wali Allah adalah orang-orang yang jika dilihat dapat mengingatkan kita kepada Allah.”
2.   Beriman, bertakwa dan suka menyembunyikan diri
Allah SWT berfirman dalam QS surat Yunus ayat 62-64: Ingatlah, sesungguhnya Wali-Wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati, (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa, bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan} di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar,
Dari Abdullah Ibnu Umar Ibnu Khattab, katanya: “Pada suatu kali Umar mendatangi tempat Mu’adz ibnu Jabal r.a., kebetulan ia sedang menangis, maka Umar berkata: “Apa yang menyebabkan engkau menangis, wahai Mu’adz?”
Kata Mu’adz: “Aku pernah mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: “Orang-orang yang paling dicintai Allah adalah mereka yang bertakwa yang suka menyembunyikan diri, jika mereka tidak ada, maka tidak ada yang mencarinya dan jika mereka hadir, maka mereka tidak dikenal. Mereka adalah para Imam Petunjuk dan para Pelita Ilmu.”
3.   Mereka saling menyayangi dengan sesamanya
Dari Umar Ibnul Khattab r.a. berkata: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya sebahagian hamba Allah ada orang-orang yang tidak tergolong dalam golongan para Nabi dan para Syahid, tetapi kedua golongan ini ingin mendapatkan kedudukan seperti kedudukan mereka di sisi Allah.”
Tanya seorang: “Wahai Rasulullah, siapakah mereka dan apa amal-amal mereka?”
Sabda beliau: “Mereka adalah orang-orang yang saling kasih sayang dengan sesamanya, meskipun tidak ada hubungan darah maupun harta di antara mereka. Demi Allah, wajah mereka memancarkan cahaya, mereka berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya, mereka tidak akan takut dan susah.” Kemudian Rasulullah s.a.w. membacakan firman Allah yang artinya: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.”
4.   Pandai mengendalikan diri di saat marah, wara’ dan berbudi pekerti yang baik
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: “Ada tiga sifat yang jika dimiliki oleh seorang, maka ia akan menjadi wali Allah, yaitu: pandai mengendalikan diri di saat marah, wara’ dan berbudi luhur kepada orang lain.”
5.   Selalu berjuang mencari ridha Allah
Rasulullah s.a.w. bersabda: “Wahai Abu Hurairah, berjalanlah engkau seperti segolongan orang yang tidak takut ketika manusia ketakutan di hari kiamat. Mereka tidak takut siksa api neraka ketika manusia takut. Mereka menempuh perjalanan yang berat sampai mereka menempati tingkatan para Nabi. Mereka suka berlapar, berpakaian sederhana dan haus, meskipun mereka mampu. Mereka lakukan semua itu demi untuk mendapatkan ridha Allah. Mereka tinggalkan rezeki yang halal karena akan amanahnya. Mereka bersahabat dengan dunia hanya dengan badan mereka, tetapi mereka tidak tertipu oleh dunia. Ibadah mereka menjadikan para Malaikat dan para Nabi sangat kagum. Sungguh amat beruntung mereka, alangkah senangnya jika aku dapat bertemu dengan mereka.”
Kemudian Rasulullah s.a.w. menangis karena rindu kepada mereka. Dan beliau bersabda: “Jika Allah hendak menyiksa penduduk bumi, kemudian Dia melihat mereka, maka Allah akan menjauhkan siksa-Nya. Wahai Abu Hurairah, hendaknya engkau menempuh jalan mereka, sebab siapapun yang menyimpang dari perjalanan mereka, maka ia akan mendapati siksa yang berat.”
6.   Selalu menegakkan agama Allah
Imam Ali Bin Abi Thalib k.w. berkata kepada Kumail An Nakha’i: “Bumi ini tidak akan kosong dari hamba-hamba Allah yang menegakkan agama Allah dengan penuh keberanian dan keikhlasan, sehingga agama Allah tidak akan punah dari peredarannya. Akan tetapi, berapakah jumlah mereka dan dimanakah mereka berada? Kiranya hanya Allah yang mengetahui tentang mereka.
Demi Allah, jumlah mereka tidak banyak, tetapi nilai mereka di sisi Allah sangat mulia. Dengan mereka, Allah menjaga agama-Nya dan syariat-Nya, sampai dapat diterima oleh orang-orang seperti mereka. Mereka menyebarkan ilmu dan ruh keyakinan. Mereka tidak suka kemewahan, mereka senang dengan kesederhanaan. Meskipun tubuh mereka berada di dunia, tetapi ruhaninya membumbung ke alam Malakut. Mereka adalah khalifah-khalifah Allah di muka bumi dan para da’i yang dianugerahi keyakinan kepada agama-Nya yang lurus. Sungguh, betapa rindunya aku kepada mereka.”
7.   Selalu mencintai dan merindukan Allah
Imam Ghazali menyebutkan: “Allah pernah memberi ilham kepada para Siddiq: “Sesungguhnya ada hamba-hamba-Ku yang mencintai-Ku dan selalu merindukan Aku dan Aku pun demikian. Mereka suka mengingat-Ku dan memandang-Ku dan Aku pun demikian. Jika engkau menempuh jalan mereka, maka Aku mencintaimu. Sebaliknya, jika engkau berpaling dari jalan mereka, maka Aku murka kepadamu. ”
Tanya seorang Siddiq: “Ya Allah, apa tanda-tanda mereka?” Firman Allah: “Di siang hari mereka selalu menaungi diri mereka, seperti seorang pengembala yang menaungi kambingnya dengan penuh kasih sayang, tetapi mereka merindukan terbenamnya matahari, seperti burung merindukan sarangnya. Jika malam hari telah tiba, ketika tempat tidur telah diisi oleh orang-orang yang tidur dan setiap kekasih telah bercinta dengan kekasihnya, maka mereka berdiri tegak dalam shalatnya. Mereka merendahkan dahi-dahi mereka ketika bersujud, mereka bermunajat, menjerit, menangis, mengadu dan memohon kepada-Ku. Mereka berdiri, duduk, ruku’, sujud untuk-Ku. Mereka rindu dengan kasih sayang-Ku.
Mereka Aku beri tiga karunia: Pertama, Aku beri cahaya-Ku ke dalam hati mereka, sehingga mereka dapat menyampaikan ajaran-Ku kepada manusia. Kedua, andaikata langit dan bumi dan seluruh isinya ditimbang dengan mereka, maka mereka lebih unggul dari keduanya. Ketiga, Aku hadapkan wajah-Ku kepada mereka. Kiranya engkau akan tahu, apa yang akan Aku berikan kepada mereka?”
8.   Keyakinan mereka dapat menggoncangkan gunung
Abdullah ibnu Mas’ud pernah menuturkan: “Pada suatu waktu ia pernah membaca firman Allah: “Afahasibtum annamaa khalaqnakum ‘abathan”, pada telinga seorang yang pingsan.”
Maka dengan izin Allah, orang itu segera sadar, sehingga Rasulullah s.a.w. bertanya kepadanya: “Apa yang engkau baca di telinga orang itu?”
Kata Abdullah: “Aku tadi membaca firman Allah: “Afahasibtum annamaa khalaqnakum ‘abathan” sampai akhir surah.”
Maka Rasul s.a.w. bersabda: “Andaikata seseorang yakin kemujarabannya dan ia membacakannya kepada suatu gunung, pasti gunung itu akan hancur.”
Mereka dianugerahi karunia dari Allah (karamah) yang menunjukkan kecintaan Allah kepada mereka, sebagaimana hadits-hadits berikut:
Dari Anas ibnu Malik r.a. berkata: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Berapa banyak manusia lemah dan dekil yang selalu dihina orang, tetapi jika ia berkeinginan, maka Allah memenuhinya, dan Al Barra’ ibnu Malik, salah seorang di antara mereka.”
Ketika Barra’ memerangi kaum musyrikin, para sahabat: berkata: “Wahai Barra’, sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah bersabda: “Andaikata Barra’ berdoa, pasti akan terkabul. Oleh karena itu, berdoalah untuk kami.”
Maka Barra’ berdoa, sehingga kami diberi kemenangan.
Di medan peperangan Sus, Barra’ berdo’a: “Ya Allah, aku mohon, berilah kemenangan kaum Muslimin dan temukanlah aku dengan Nabi-Mu.” Maka kaum Muslimin diberi kemenangan dan Barra’ gugur sebagai syahid.
Dari Ibnu Umar r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya Allah mempunyai hamba-hamba yang diberi makan dengan rahmat-Nya dan diberi hidup dalam afiyah-Nya, jika Allah mematikan mereka, maka mereka akan dimasukkan ke dalam syurga-Nya. Segala bencana yang tiba akan lenyap secepatnya di hadapan mereka, seperti lewatnya malam hari di hadapan mereka dan mereka tidak terkena sedikitpun oleh bencana yang datang.”

Tuban, 25 Jan 2014

Minggu, 14 Juli 2013

Iktikaf & Wukuf itu diam


Saya selalu mengikuti dorongan kesenangan, termasuk kesenangan dalam kerukunan beragama, seperti sholat di masjid, mengikuti majelis dzikir, mendengarkan ceramah dan lain-lain. Dari dorongan kesenangan, muncul kemauan dan tekad untuk mewujudkan. Saya sadar bahwa kesenangan bisa berbeda-beda pada setiap individu. Dalam upaya mewujudkan kesenangan, saya selalu menggunakan akal pikiran. Berarti akal pikiran adalah tempatnya kesibukan.
Dengan menggunakan akal pikiran juga terjadi perbedaan cara pandang, bahkan terjadi konflik. Bagi saya, konflik atau berbeda pandangan adalah hal yang wajar yang akan semakin mencerdaskan saya. Ketika saya meneliti tentang penggunaan akal pikiran, saya temukan perbedaan yang sangat jauh antara menggunakan akal pikiran atau mengikuti arahan akal pikiran? Bagaimana sebaiknya?
Saya lalu teringat akan masa lalu ketika mulai diperkenalkan dengan ilmu agama melalui sekolah. Berlanjut ketika saya mahasiswa ikut dalam kegiatan-kegiatan yang bernuansa keagamaan. Saya pun juga diajar ilmu agama dengan menggunakan logika rasional, tentunya berupa upaya memahami agama dengan akal-pikiran. Ternyata kepala saya setelah menerima indoktrinasi ilmu agama menjadi panas, mudah tersulut emosi dan terdorong ingin menghancurkan lawan yang berbeda pandangan. Saya selalu menganggap diri saya lah yang benar. Otomatis yang berbeda dengan saya pasti saya anggap salah bahkan kalau perlu saya anggap sebagai musuh yang layak untuk dihancurkan.
Kemudian dengan berjalannya waktu, saya mulai mendalami agama namun dengan perasaan hati. Hasilnya memang saya menjadi sensitif, namun menjadi mudah tersinggung. Apalagi ketika tekad hati saya perkuat dengan latihan, saya menjadi gampang kesetanan kalau kemauan saya dihalangi. Ternyata keakuan saya semakin menguat. Berarti ada yang salah dalam penanganan masalah hati atau bahkan diri saya ini.
Hingga saya disadarkan oleh mertua saya bapak Mas Supranoto bahwa seharusnya bukan dengan menggunakan pikiran, namun saya harus mengikuti arahan akal pikiran. Karena sejatinya yang perlu disadarkan adalah saya. Bukan perasaan, bukan kemauan yang merupakan sarana dari Yang Kuasa yang diberikan kepada saya. Bukankah pada pikiran terdapat akal, pengertian dan memori? Dimana akal tugasnya menyajikan cara untuk mencapai tujuan. Pengertian adalah sarana saya untuk memahami dan memori adalah tempat menyimpan informasi termasuk hasil pengertian dan rencana akal.
Akhirnya saya faham bagaimana proses indoktrinasi agama dulu dilangsungkan, yaitu dengan menaikkan keakuan saya ke akal pikiran dengan dorongan gairah mengamalkan ilmu agama. Hal ini seperti Iblis dari golongan jin (perasaan) yang dengan keakuan dan kemauan yang sangat kuat berupaya naik ke langit hingga dikategorikan sebagai malaikat. Namun ketika dihadapkan dengan Adam, Iblis enggan dan takabur. Ini semua adalah berkat penguatan keakuan dengan penggunaan perasaan hati dan kemauan. Sekarang saya berusaha sadar bahwa akal pikiranlah pemandu saya. Dengan kesediaan diri untuk menerima, maka saya yang berada dalam hati mengalami pencerahan. Barangkali saat itulah hati saya menjadi terang atau disebut dengan hati nurani. Sebaliknya kalau saya menggunakan hati dan pikiran, maka yang menguat adalah keakuan.
Untuk itulah saya menganggap perlu untuk sering diam menyimak penjelasan dari pengertian dan untuk memperoleh cara dari akal. Bahkan dalam diam itu pun saya sering mendapatkan peringatan dari memori. Awas! Bukan mencari-cari pengertian, namun saya perlu diam untuk menerima dan mengendapkan pengertian. Bukan mencari cara, tetapi saya menerima cara dari akal. Bukan mengingat-ingat, tetapi saya diingatkan oleh memori.
Apakah diam saya ini sama dengan diamnya orang beri'tikaf atau wukuf?
Kegiatan tentang i’tikaf atau wukuf didasarkan atas berita dari Allah dalam QS Al Baqarah 2 ayat 125, “Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud".”
Dan berdasarkan kepada Hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim,  “Dari Ibnu Umar ra ia berkata, “Rasulullah saw biasa beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim).”” Demikian pula dengan aktifitas utama saat berhaji, yaitu wukuf di padang Arafah. Dan esensi Haji adalah wukuf di Arafah.
I'tikaf atau wukuf secara bahasa berarti menetap atau berdiam diri. Menetap atau berdiam diri berarti menyimak arahan Yang Kuasa. Arahan ini ditangkap oleh akal, pengertian dan memori ketika saya diam. Dengan demikian tujuan dari i’tikaf atau wukuf adalah berupaya memahami dan mengenal jati diri saya yang kemudian saya terbawa untuk mengerti akan Yang Kuasa yang disebut dengan asma Allah. Bukankah ini yang namanya Ma’rifatullah?
Supaya tidak terganggu saat berlatih berdiam diri, maka perlu pengkondisian. Saat tengah malam ketika suasana sudah sepi adalah saat yang ideal untuk melatih I’tikaf. Dengan demikian saya bisa menerapkan I”tikaf pada setiap saat dan keadaan.  
Ketika saya berdiam diri, ternyata ada sesuatu yang tahu bahwa saya sedang diam, saya sedang mengantuk. Siapakah yang tahu tersebut. Barangkali itulah yang disebut dengan bashirah atau yang menyaksikan. Inilah yang disebut dengan pengertian. Mampu memberi tahu berarti memiliki kuasa. Lalu saya melatih menempatkan diri di yang tahu tersebut, ternyata saya mendapat pemahaman yang lebih dalam. Ternyata dalam diam, saya mendapatkan pemahaman bahwa diri sayalah yang selama ini melakukan pemberontakan kepada Tuhan.
Apalagi ketika dijelaskan oleh mertua saya logika bahwa Kuasa adalah kemampuan melakukan segala sesuatu. Kuasa harus sempurna, mutlak dan tiada duanya. Kuasa harus ada yang dikuasai, yaitu dimulai dari Akunya. Kemudian berkembang melalui pembentukan dan terwujud alam semesta ini, dimana manusia sebagai puncak pembentukan. Jadi saya adalah pengejawantahan dari Aku yang dikuasai. Berarti saya sejatinya tidak bisa apa-apa. Namun Yang Kuasa memberi otorisasi untuk menggunakan kuasanya. Yang terjadi malahan saya ingin berkuasa. Berarti saya melakukan makar kepada Yang Kuasa.
Karena saya makar, maka saya dijauhkan dari Yang Kuasa dan hidup di dunia ini untuk dihukum dalam neraka api agar sadar. Bukankah di dunia ini berasal dari api? Buktinya batu yang dingin kalau digosok menjadi panas. Hidup pun perlu panas.
Dalam sebuah hadis Qudsyi:
"Banaytu fii jawfi bni adam qashra wa fil qashri shadra wa fis shadri qalba wa fil qalbi fuada wa fil fuadi syaghafa wa fil syaghafi lubba wa fil lubbi sirra wa fil sirri ana".
Terjemahan: Aku bangun dalam tubuh manusia itu qashr (istana) yang di dalamnya ada shadr (dada – kesadaran diri; QS Az Zumar 39: 22, “Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah dadanya (shadr) untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.”).
Ali bin Abi Thalib kw menjelaskan bahwa shadr itu adalah dada manusia. Hal ini juga dinyatakan dalam QS Az Zumar 39 ayat 22: Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah dadanya (shadrahu) untuk Islam, lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka dalam kesesatan yang nyata. Ini berarti raga yang saya tempati adalah istana Allah Yang Kuasa.
Pengertian qalbu dijelaskan dalam QS Al Baqarah 2 ayat 225: Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud, tetapi Allah menghukum kamu disebabkan yang disengaja oleh qalbumu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. Berarti qalbu adalah kesadaran saya, yang dengannya saya harus mempertanggung-jawabkan perbuatan saya.
Fu’ad, saya fahami sebagai kemampuan menarik manfaat atau kesenangan. QS An Najm 53 ayat 11: Fu’adnya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Saya amati diri saya selalu mengikuti dorongan kesenangan atau perasaan hati.
Dalam fu’ad ada syaghaf sebagaimana QS Yusuf 12 ayat 30: Dan wanita-wanita di kota berkata: "Isteri Al Aziz menggoda bujangnya untuk menundukkan dirinya (kepadanya), sesungguhnya cintanya  kepada bujangnya itu adalah sangat mendalam (syaghaf). Sesungguhnya kami memandangnya dalam kesesatan yang nyata.Ini saya fahami sebagai kemauan.
Lubb dijelaskan dalam QS Ali Imran 3 ayat 190-191: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (Ulil Albab), (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka jauhkanlah kami dari siksa neraka. Ini jelas memori saya.
Sirr diterangkan dalam QS Thaha 20 ayat 7: Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia (sirr) dan yang lebih tersembunyi (akhfa). Rahasia adalah untuk diungkap, untuk dimengerti. Berarti ini adalah pengertian saya.
Dan yang di dalam sirr ada Aku. QS Thaha 20 ayat 14: Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. Yang bisa memberikan cara tentunya adalah akal yang diberikan kepada saya.
Dengan bekal sarana Allah Yang Kuasa inilah, saya menjalani hidup di dunia sebagai tempat pendidikan saya agar tahu diri. Saya yang selama ini memberontak kepada Yang Kuasa. Semestinya saya menjadi sadar diri dan bisa menempatkan diri sebagai yang dikuasai. Berarti tugas saya adalah membangun peradaban untuk menandai keberadaan Yang Kuasa.
Tuban, 14 Juli 2013


Lailatul Qadar


Behold, in the creation of the heaven and the earth, and the alternation of night and day, there are indeed signs for people of understanding – People who celebrate the praises of ALLAH [Dzikrullah], standing, sitting and lying down on their sides, and contemplate [Tafakkur] the creation of the Heaven and the Earth, “Our God! Not for naught hast Thou created this! Glory to Thee! Give us salvation from the penalty of the Fire.
QS Ali ‘Imran [3]: 190 ~ 191.
The night of the twenty-nine day of the year 2013 of Ramadhan the fasting month.
We have indeed revealed this in the Laylatul Qadr. And what will explain to thee what the Laylatul Qadr is? Laylatul Qadr is better than thousand months. Therein come down the Angels and the Spirit by God’s permission, on every errand. Peace! … This until the rise of morn!
QS Al Qadr [97]: 1 ~ 5.
Some people were in bed enjoy their dream, some were still searching for their fortune, some read Quran in their Mosque, some were celebrated the praises of ALLAH [Dzikrullah] by standing and contemplated [Tafakkur] the creation of the Heaven and the Earth.
At night of 21st Ramadhan 2013 around 9 pm, Pak Haji Slamet Utomo reminded us to face ourself to Masjidil Haram. I try my best to surrender before Allah by putting myself into Masjidil Haram. But suddenly I have an understanding that Baitullah was a place where we meet Allah. A home is a place where we meet the hostage. So I surrender to Allah until He put into His Baitullah.
At the same day, the 21st Ramadhan but in 2019, my father in law Pak Mas Supranoto who is the older brother of Pak Haji explained about the existence of Al Mighty and the universe. Suddenly I had the clear understanding about such Al Mighty existence as well as the truth of myself. It is really clear like seeing the full moon in clear sky. How this happened?
From the 1st experience I did understand that Laylatul Qadr in fact starting from Masjidil Haram where the angels and spirits were coming down then spread out to all places before return back to Masjidil Haram at the rise of morning. So the longest place who received the longest Laylatul Qadr time is Masjidil Haram, while Atlantic Ocean will be the shortest Laylatul Qadr time. During the Laylatul Qadr time, sometimes started by raining and ended by raining also. As narrated by the below Hadits.
From Abu Sa’id Al Kudri ra, he said, “Rasulullah saw i’tikaf in the first 10 days of the Fasting Month, and then was continued to the second 10 days of the Fasting Month. He called the people to close to him and he said, “I was i’tikaf since the first day of the Fasting Month for ten days to seek for the Night of Power, then the second 10 days. Then I was told that the Night of Power was in the last 10 days. So whoever like to i’tikaf, please to do so!” He then said, “I was dreamed meet with Laylatul Qadr in the odd night, where in the morning I was bow down in the wet soil.” Indeed in the night of the 21st day was rain and the mosque was wet. After early morning praying, Nabi saw was got out from his place while on his forehead and nose was attached wet soil. That night was the night of the 21st days of the Fasting Month.”
On the second experiences with my father in law, I had clear understanding. To have clear understanding I need lights. Such lights of course come from the angels who come down to earth. While spirits unveil the secret. That was why I had clear understanding.
So if that night was Laylatul Qadr, why we continue to fast until Ramadan end?
Because fasting is not only seeking for Laylatul Qadr, is it? Fasting is also how to be a master of ourselves [Muttaqiyn] then to stay focus to our objectives & make our best effort to meeting it. The objectives of our life are to understand ALLAH, to be the humblest before Him and thanksgiving to what He did / given.
Thus Your Mercy, Your Grace in fact could only be received by the one who tought, the pious.
Ibn Abbas ra said that Rasulullah saw had told a story that he had divined revelation from ALLAH about someone of Jew whom had fought / jihad without stopping for thousand months. Rasulullah saw had admired, so he prayed, “O my Lord, You have made my people having shorter life and less deeds.” Then ALLAH has given respect to Rasulullah saw by giving Laylatul Qadr that has valued better than thousand months that has been used by the man of Jew who had fought in the way of ALLAH.
Name of the man of Jew was Syam’un / Samson / Samsung. He had fought against the unbelievers for thousand months without stopping. He had been given power & braveness that made his enemies to afraid. Then the unbelievers come to his wife. They pursued his wife that they will give golden prizes if she can tie her husband. According to their plan, Syam’un will easily be caught in tied condition.
When Syam’un on asleep, quietly his wife tied Syam’un body with rope. However, when Syam’un was awakening, easily he can break the rope, which tied his body.
“Why you did it to me?” asked Syam’un to his wife.
“I have just tested your strength,” answered his wife.
The unbelievers did not give up. They give chain to Syam’un wife and instructed her to tie Syam’un with the chain. Syam’un wife had executed the instruction. However, as the previous, easily Syam’un can break the chain.
The Devil himself come to the unbelievers then advised them to instruct Syam’un wife to ask to her husband what will be his weakness. After being pursued, Syam’un told to his wife that his weakness was on the eight crests at his head. When Syam’un was sleeping, she cut the crest and tied Syam’un with the eight of crests, four for Syam’un legs and four for Syam’un hands. Syam’un cannot escape from the ties because that is his weakness.
At last, the unbelievers could arrest Syam’un. Then they tortured him. Syam’un ears and lips were cut off, and then his body was hung on the very tall stanchion. Syam’un prayed to ALLAH asking for power to escape from the tortured of his enemies. ALLAH fulfilled Syam’un pray, so that he can release from the ties and destroy the very tall stanchion that was used to hang him. All the unbelievers were died fallen by the very tall stanchion.
All Rasulullah saw friends inspired with this story. They asked, “O Rasulullah saw, can we have the gift as given to Syam’un?”
“I do not know,” replied Rasulullah saw. Then he prayed to ALLAH. ALLAH fulfills by giving the Laylatul Qadar, which is better than thousand months used by Syam’un in his efforts in the way of ALLAH.
When we met with Laylatul Qadr, what we should do?
Anas explained that Rasulullah saw said, “When the Laylatul Qadr is coming, Gabriel as the Angels coming down to earth together with other Angels. They praised to anyone who remembrance ALLAH / dzikrullah.
In hadits told by Abu Hurayrah, it said that at the Laylatul Qadr, all Angels coming down to earth with the countless number. They are coming down from every open sky / heaven’s doors like radiation of light. The Malakut / Angels kingdom was opened at that time. For who unveiled, they can see Angels are standing, bending, bowing down to ALLAH by remembering / dzikrullah and Tasbih / praised to ALLAH. Some of them are able see heaven and hell with all its contents.
Umar ra told that Rasulullah saw said, “Whoever reviving the night of the 27 Ramadan until morning / Shubuh, which were dearer by ALLAH comparing to shalat / prayer for the whole night at that month.
Fatimah ra asked, “Father, what the unable people must do to revive the night because of sick?”
Rasulullah saw answered, “They do not need throwing away their pillow; they should sit down and pray to ALLAH at that night. That was dearer by ALLAH comparing to the shalat / prayer at the night of Ramadan.”
Aisyah ra said that Rasulullah saw said, “Whoever revive to making the Laylatul Qadr worthwhile, then shalat / prayer for two cycles and asking for ALLAH forgiveness, ALLAH will forgive them and giving His blessings; Gabriel the Angel will covering them with his wings. Whoever covered by Gabriel’s wing, they will go to heaven.”

Banyuwangi, the 21th Ramadan in the year of 2019

Khusyu' - Mulaqu Rabbihim


Abu Darda' (ra) meriwayatkan dari Nabi (saw) bahwa ilmu yang akan dicabut pertama dari dada manusia adalah khusyu'.

Apakah khusyu’ itu?

Qur’an menjelaskan tentang makna khusyu’ dalam Al Baqarah 2 ayat 45 – 46: “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (yaitu) orang-orang yang menyangka (yazhununa) bahwa mereka akan menemui Tuhannya (mulaqu Rabbihim) dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.”

Menyangka barangkali hal yang mudah untuk dilakukan, namun yang menjadi masalah adalah bagaimana menemui Tuhan semesta alam tersebut?

Pada awalnya hanyalah dengan menjalankan kegiatan beragama secara rutin, namun dengan ditumbuhkan niat yang dilaksanakan dengan kesungguhan. Ini hanyalah sangkaan saja. Kemudian diizinkan oleh Allah Yang Maha Kuasa untuk bertemu dengan ustadz Abu Sangkan dan Haji Slamet Utomo yang mengajarkan tentang patrap, yaitu suatu metode untuk bertemu dengan Allah Yang Maha Kuasa.

Patrap artinya sikap. Siapa yang bersikap? Tentunya saya yang harus bersikap. Di sini timbul permasalahan baru. Siapakah saya?

Saya atau aku selalu saya nyatakan dalam dada atau istilah umumnya ada dalam hati. Apakah saya sama dengan raga ini? Sedangkan berdasarkan pengakuan saya, raga ini adalah milik saya. Berarti raga ini bukan saya. Lalu saya ini saya munculkan agar tidak terikat kepada raga. Karena pada saat itu saya mengira bahwa saya ini awalnya suci karena berasal dari min ruhi. Saya menjadi tidak suci karena terseret oleh hawa nafsu raga.

Setelah bisa mengidentifikasi diri saya, kemudian saya melatih bersikap (patrap) untuk selalu menghadap Allah, selalu berupaya hadir ke hadirat Allah. Timbul pertanyaan, kalaulah sudah bisa hadir dan bertemu Allah, lalu saya mau apa? Saya memutuskan untuk setuju dengan ustadz Abu sangkan dan pak Haji Slamet Utomo untuk menerima Allah sebagai Tuhan saya.

Dengan berlatih bersikap (patrap) menerima Allah sebagai Tuhan saya, ternyata seringkali saya jatuh tersujud dan menangis. Proses pelatihan ini sederhana namun sangat berat untuk bisa dilaksanakan sendiri. Karena pasti akan muncul berbagai godaan yang membuat terhenti. Pada awalnya, tubuh akan melakukan penolakan hingga terasa kepala seakan mau pecah, lengan pegal-pegal dan belum lagi godaan dari luar, seperti gigitan serangga. Menghadapi situasi seperti ini, saya teguhkan diri bahwa Tuhan saya adalah Allah.

Selanjutnya akan muncul berbagai pikiran ataupun ingatan yang juga akan membuat terhenti. Misalnya kenapa kamu melakukan hal ini? Kembali saya teguhkan lagi bahwa Allah Tuhan saya dan saya ajak pikiran ataupun ingatan untuk ikut bersujud menundukkan diri kepada Allah. Saya bersujud tidak untuk mencari apa-apa, hanya Allah yang dituju, bukan hadiah-Nya, bukan anugerah kelebihan ruhani dari-Nya.

Lalu akan muncul rasa bosan dan ingin agar ini segera berhenti. Dalam menghadapi situasi seperti ini, saya tetap bersikap sama, yaitu meneguhkan diri bahwa Allah yang dituju, bukan yang lain. Saya ajak diri yang sedang bosan dan jenuh ini untuk ikut hadir ke hadirat Allah.

Selanjutnya akan muncul rasa keakuan diri bahwa saya telah berhasil, hingga sebutan Allah pun menjadi terhenti. Muncul rasa bangga, ujub dan keakuan diri yang menguat. Kembali saya ingatkan diri ini bahwa Allah yang dituju. Bahkan saya tumbuhkan sikap untuk bersedia digembleng Allah, mereka yang datang membantu menggembleng sebenarnya adalah utusan-Nya yang dihadirkan-Nya untuk mengingatkan saya agar meninggalkan sikab ujub dan keakuan diri.

Akhirnya akan muncul suasana kerelaan kepada Allah. Rela untuk menerima Allah, rela dengan segala apa yang ada dan apa yang datang, karena meyakini bahwa semua itu dari Allah dan saya kembalikan kepada-Nya. Pada saat itu saya pun terdorong untuk bangkit dari sujud dan duduk di hadapan-Nya.

Dalam posisi duduk di hadapan-Nya, saya berupaya mengerti apa maunya Allah. Saya berusaha mengerti apa yang sedang dan yang akan terjadi. Biasanya saya akan sibuk dalam sangkaan-sangkaan saya sendiri. Namun kalau saya diam tidak berupaya membaca Tuhan, pengetahuan seolah datang sendiri tanpa perlu dicari. Barangkali inilah makna iktikaf atau wukuf, yaitu diam di hadirat Allah Yang Maha Kuasa hanya mengucap syukur barangkali.

Di sinilah saya difahamkan akan jati diri sebagai manusia yang tersusun atas jasmani. Jasmani yang terbentuk atas adanya qudrat (kemampuan). Qudrat yang beraktifitas atas perintah iradat (kehendak). Kehendak yang berasal dari sang diri, yaitu saya. Kalau susunan tersebut digulung menjadi satu kesatuan, maka yang ada adalah sang aku atau sang diri ini yang berjuang hadir menemui Allah. Maka sebutan Allah akan berubah menjadi Huuu yang berasal dari kata Huwa yang artinya Dia. Ini juga bisa difahami bahwa saya sedang menyaksikan kesibukan-Nya (afál).

Bilamana terus berjuang mendekat kepada-Nya, biasanya akan muncul dialog berupa permohonan ampun, tasbih atau do’a. keadaan ini menunjukkan kedekatan hamba kepada-Nya. Seolah saya mengerti bahwa Dia (sifat) adalah Pengasih (Ar Rahman) dan Penyayang (Ar Rahim).

Dalam kehidupan sehari-hari, ternyata saya juga mengalami permasalahan yang sama, yaitu tarikan-tarikan baik dari dalam diri (internal) maupun dari eksternal yang akan membuat saya seringkali gagal dalam upaya mencapai tujuan. Ternyata dengan pelatihan tersebut, saya akan mendapatkan kekuatan yang akan membuat diri tidak mudah goyah dari tujuan. Kekuatan ini merupakan modal awal untuk berhasil dalam menjalani kehidupan dunia dan berhasil untuk kembali kepada-Nya. Inilah yang dimaksud dengan khusyu’.

Dengan memahami ini, saya dianggap sudah selesai belajar dengan pak Haji Slamet. Dan kebetulan, saat itu pula saya bersama para sahabat diperkenankan belajar kepada kakak pak Haji Slamet, yaitu pak Pran. Beliau adalah mertua saya sendiri. kebetulan pula pak Haji Slamet kemudian berpulang.

Saya pikir pelajaran sudah selesai. Ternyata belum.

Pikiran yang selama ini dilarang untuk dipergunakan dalam proses melatih hadir ke hadirat Allah, ternyata malahan yang ditekankan oleh pak Pran. Ternyata perjalanan semakin menarik, karena semakin rumit dengan risiko semakin tinggi.

Melalui penjelasan pak Pran, saya disadarkan akan adanya Kuasa, yaitu kemampuan berbuat apa saja. Kuasa harus ada yang dikuasai, yaitu Aku-Nya sendiri. Kuasa dan yang dikuasai adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Kesatuan Kuasa dan yang dikuasai inilah yang dikenal dengan sebutan Allah Yang Maha Kuasa. Kuasa kemudian menciptakan alam yang merupakan manifestasi dari Kuasa itu sendiri, termasuk manusia di dalamnya. Yang dikuasai atau aku kemudian diturunkan kepada manusia. Ternyata begitu diturunkan menjadi manusia, aku yang memiliki watak memiliki ingin selalu memperoleh kenikmatan hingga lupa akan dirinya sebagai yang dikuasai. Jadi akibat keakuannya, manusia menjadi celaka. Apalagi manusia diberi sarana hidup berupa  kemauan. Kemauan inilah yang kemudian mendorong manusia menjadi kesetanan. Buktinya adalah ketika seseorang dihalangi kemauannya, dia akan kalap kesetanan melawan yang menghalangi. Kalau tidak mampu menguasai diri. Padahal aku adalah yang dikuasai.

Dengan apakah Allah Yang Maha Kuasa menyelamatkan manusia yang tersesat ini?

Kuasa memiliki sifat mengingatkan, memberi pengertian dan memberi cara. Ketiga kemampuan ini diletakkan dalam otak manusia agar mengingatkan, memberi pengertian dan cara kepada saya untuk mendapatkan ampunan dari Allah Yang Maha Kuasa.

Bukan saya menggunakan ingatan atau saya menggunakan pengertian atau saya menggunakan akal, namun saya diingatkan, saya dibuat mengerti dan saya diberi cara untuk mencapai tujuan.

Kalau yang terjadi adalah dengan mengaktifkan saya, maka kejadian Iblis akan terulang kembali. Kali ini kepada individu yang dengan tekad kemauannya naik ke langit. Awalnya akan dihormati. Bahkan Iblis pernah menjadi pemimpin para malaikat. Namun setelah dihadirkan Adam (as), Iblis terjatuh dan terlaknat.

Jakarta, 24 Juni 2019


Persiapkan Dirimu Menghadapi Fitnah Akhir Zaman

Aku berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. Dengan Asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Dzat yang...