Abu Darda'
(ra) meriwayatkan dari Nabi (saw) bahwa ilmu yang akan dicabut pertama dari
dada manusia adalah khusyu'.
Apakah khusyu’ itu?
Qur’an menjelaskan tentang makna
khusyu’ dalam Al Baqarah 2 ayat 45 – 46: “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu.
Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang
khusyu', (yaitu) orang-orang yang menyangka (yazhununa) bahwa mereka akan
menemui Tuhannya (mulaqu Rabbihim) dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.”
Menyangka barangkali hal yang mudah
untuk dilakukan, namun yang menjadi masalah adalah bagaimana menemui Tuhan
semesta alam tersebut?
Pada awalnya hanyalah dengan
menjalankan kegiatan beragama secara rutin, namun dengan ditumbuhkan niat yang
dilaksanakan dengan kesungguhan. Ini hanyalah sangkaan saja. Kemudian diizinkan
oleh Allah Yang Maha Kuasa untuk bertemu dengan ustadz Abu Sangkan dan Haji
Slamet Utomo yang mengajarkan tentang patrap, yaitu suatu metode untuk bertemu
dengan Allah Yang Maha Kuasa.
Patrap artinya sikap. Siapa yang
bersikap? Tentunya saya yang harus bersikap. Di sini timbul permasalahan baru.
Siapakah saya?
Saya atau aku selalu saya nyatakan
dalam dada atau istilah umumnya ada dalam hati. Apakah saya sama dengan raga
ini? Sedangkan berdasarkan pengakuan saya, raga ini adalah milik saya. Berarti
raga ini bukan saya. Lalu saya ini saya munculkan agar tidak terikat kepada
raga. Karena pada saat itu saya mengira bahwa saya ini awalnya suci karena
berasal dari min ruhi. Saya menjadi tidak suci karena terseret oleh hawa nafsu
raga.
Setelah bisa mengidentifikasi diri
saya, kemudian saya melatih bersikap (patrap) untuk selalu menghadap Allah,
selalu berupaya hadir ke hadirat Allah. Timbul pertanyaan, kalaulah sudah bisa
hadir dan bertemu Allah, lalu saya mau apa? Saya memutuskan untuk setuju dengan
ustadz Abu sangkan dan pak Haji Slamet Utomo untuk menerima Allah sebagai Tuhan
saya.
Dengan berlatih bersikap (patrap)
menerima Allah sebagai Tuhan saya, ternyata seringkali saya jatuh tersujud dan
menangis. Proses pelatihan ini sederhana namun sangat berat untuk bisa dilaksanakan
sendiri. Karena pasti akan muncul berbagai godaan yang membuat terhenti. Pada
awalnya, tubuh akan melakukan penolakan hingga terasa kepala seakan mau pecah,
lengan pegal-pegal dan belum lagi godaan dari luar, seperti gigitan serangga.
Menghadapi situasi seperti ini, saya teguhkan diri bahwa Tuhan saya adalah
Allah.
Selanjutnya akan muncul berbagai
pikiran ataupun ingatan yang juga akan membuat terhenti. Misalnya kenapa kamu
melakukan hal ini? Kembali saya teguhkan lagi bahwa Allah Tuhan saya dan saya ajak
pikiran ataupun ingatan untuk ikut bersujud menundukkan diri kepada Allah. Saya
bersujud tidak untuk mencari apa-apa, hanya Allah yang dituju, bukan
hadiah-Nya, bukan anugerah kelebihan ruhani dari-Nya.
Lalu akan muncul rasa bosan dan
ingin agar ini segera berhenti. Dalam menghadapi situasi seperti ini, saya tetap
bersikap sama, yaitu meneguhkan diri bahwa Allah yang dituju, bukan yang lain. Saya
ajak diri yang sedang bosan dan jenuh ini untuk ikut hadir ke hadirat Allah.
Selanjutnya akan muncul rasa keakuan
diri bahwa saya telah berhasil, hingga sebutan Allah pun menjadi terhenti.
Muncul rasa bangga, ujub dan keakuan diri yang menguat. Kembali saya ingatkan
diri ini bahwa Allah yang dituju. Bahkan saya tumbuhkan sikap untuk bersedia
digembleng Allah, mereka yang datang membantu menggembleng sebenarnya adalah
utusan-Nya yang dihadirkan-Nya untuk mengingatkan saya agar meninggalkan sikab
ujub dan keakuan diri.
Akhirnya akan muncul suasana kerelaan
kepada Allah. Rela untuk menerima Allah, rela dengan segala apa yang ada dan
apa yang datang, karena meyakini bahwa semua itu dari Allah dan saya kembalikan
kepada-Nya. Pada saat itu saya pun terdorong untuk bangkit dari sujud dan duduk
di hadapan-Nya.
Dalam posisi duduk di hadapan-Nya,
saya berupaya mengerti apa maunya Allah. Saya berusaha mengerti apa yang sedang
dan yang akan terjadi. Biasanya saya akan sibuk dalam sangkaan-sangkaan saya
sendiri. Namun kalau saya diam tidak berupaya membaca Tuhan, pengetahuan seolah
datang sendiri tanpa perlu dicari. Barangkali inilah makna iktikaf atau wukuf,
yaitu diam di hadirat Allah Yang Maha Kuasa hanya mengucap syukur barangkali.
Di sinilah saya difahamkan akan jati
diri sebagai manusia yang tersusun atas jasmani. Jasmani yang terbentuk atas
adanya qudrat (kemampuan). Qudrat yang beraktifitas atas perintah iradat
(kehendak). Kehendak yang berasal dari sang diri, yaitu saya. Kalau susunan tersebut
digulung menjadi satu kesatuan, maka yang ada adalah sang aku atau sang diri
ini yang berjuang hadir menemui Allah. Maka sebutan Allah akan berubah menjadi
Huuu yang berasal dari kata Huwa yang artinya Dia. Ini juga bisa difahami bahwa
saya sedang menyaksikan kesibukan-Nya (afál).
Bilamana terus berjuang mendekat
kepada-Nya, biasanya akan muncul dialog berupa permohonan ampun, tasbih atau
do’a. keadaan ini menunjukkan kedekatan hamba kepada-Nya. Seolah saya mengerti
bahwa Dia (sifat) adalah Pengasih (Ar Rahman) dan Penyayang (Ar Rahim).
Dalam kehidupan sehari-hari, ternyata
saya juga mengalami permasalahan yang sama, yaitu tarikan-tarikan baik dari
dalam diri (internal) maupun dari eksternal yang akan membuat saya seringkali gagal
dalam upaya mencapai tujuan. Ternyata dengan pelatihan tersebut, saya akan
mendapatkan kekuatan yang akan membuat diri tidak mudah goyah dari tujuan.
Kekuatan ini merupakan modal awal untuk berhasil dalam menjalani kehidupan
dunia dan berhasil untuk kembali kepada-Nya. Inilah yang dimaksud dengan
khusyu’.
Dengan memahami ini, saya dianggap
sudah selesai belajar dengan pak Haji Slamet. Dan kebetulan, saat itu pula saya
bersama para sahabat diperkenankan belajar kepada kakak pak Haji Slamet, yaitu
pak Pran. Beliau adalah mertua saya sendiri. kebetulan pula pak Haji Slamet
kemudian berpulang.
Saya pikir pelajaran sudah selesai.
Ternyata belum.
Pikiran yang selama ini dilarang
untuk dipergunakan dalam proses melatih hadir ke hadirat Allah, ternyata
malahan yang ditekankan oleh pak Pran. Ternyata perjalanan semakin menarik,
karena semakin rumit dengan risiko semakin tinggi.
Melalui penjelasan pak Pran, saya
disadarkan akan adanya Kuasa, yaitu kemampuan berbuat apa saja. Kuasa harus ada
yang dikuasai, yaitu Aku-Nya sendiri. Kuasa dan yang dikuasai adalah satu
kesatuan yang tak terpisahkan. Kesatuan Kuasa dan yang dikuasai inilah yang
dikenal dengan sebutan Allah Yang Maha Kuasa. Kuasa kemudian menciptakan alam
yang merupakan manifestasi dari Kuasa itu sendiri, termasuk manusia di
dalamnya. Yang dikuasai atau aku kemudian diturunkan kepada manusia. Ternyata
begitu diturunkan menjadi manusia, aku yang memiliki watak memiliki ingin
selalu memperoleh kenikmatan hingga lupa akan dirinya sebagai yang dikuasai.
Jadi akibat keakuannya, manusia menjadi celaka. Apalagi manusia diberi sarana
hidup berupa kemauan. Kemauan inilah
yang kemudian mendorong manusia menjadi kesetanan. Buktinya adalah ketika
seseorang dihalangi kemauannya, dia akan kalap kesetanan melawan yang
menghalangi. Kalau tidak mampu menguasai diri. Padahal aku adalah yang
dikuasai.
Dengan apakah Allah Yang Maha Kuasa
menyelamatkan manusia yang tersesat ini?
Kuasa memiliki sifat mengingatkan,
memberi pengertian dan memberi cara. Ketiga kemampuan ini diletakkan dalam otak
manusia agar mengingatkan, memberi pengertian dan cara kepada saya untuk
mendapatkan ampunan dari Allah Yang Maha Kuasa.
Bukan saya menggunakan ingatan atau
saya menggunakan pengertian atau saya menggunakan akal, namun saya diingatkan,
saya dibuat mengerti dan saya diberi cara untuk mencapai tujuan.
Kalau yang terjadi adalah dengan mengaktifkan
saya, maka kejadian Iblis akan terulang kembali. Kali ini kepada individu yang
dengan tekad kemauannya naik ke langit. Awalnya akan dihormati. Bahkan Iblis
pernah menjadi pemimpin para malaikat. Namun setelah dihadirkan Adam (as),
Iblis terjatuh dan terlaknat.
Jakarta, 24 Juni 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar