Saya selalu mengikuti
dorongan kesenangan, termasuk kesenangan dalam kerukunan beragama, seperti
sholat di masjid, mengikuti majelis dzikir, mendengarkan ceramah dan lain-lain.
Dari dorongan kesenangan, muncul kemauan dan tekad untuk mewujudkan. Saya sadar
bahwa kesenangan bisa berbeda-beda pada setiap individu. Dalam
upaya mewujudkan kesenangan, saya selalu menggunakan akal pikiran. Berarti akal pikiran
adalah tempatnya kesibukan.
Dengan menggunakan
akal pikiran juga terjadi perbedaan cara pandang, bahkan terjadi konflik. Bagi saya, konflik
atau berbeda pandangan adalah hal yang wajar yang akan semakin
mencerdaskan saya. Ketika saya meneliti tentang penggunaan akal pikiran, saya
temukan perbedaan yang sangat jauh antara menggunakan
akal pikiran
atau mengikuti arahan akal pikiran? Bagaimana sebaiknya?
Saya lalu teringat
akan masa lalu ketika mulai diperkenalkan dengan ilmu agama melalui sekolah. Berlanjut
ketika saya mahasiswa ikut dalam kegiatan-kegiatan yang bernuansa keagamaan.
Saya pun juga diajar ilmu agama dengan menggunakan logika rasional, tentunya
berupa upaya memahami agama dengan akal-pikiran. Ternyata kepala saya setelah
menerima indoktrinasi ilmu agama menjadi panas, mudah tersulut emosi dan
terdorong ingin menghancurkan lawan yang berbeda pandangan. Saya selalu menganggap
diri saya lah yang benar. Otomatis yang berbeda dengan saya pasti saya anggap
salah bahkan kalau perlu saya anggap sebagai musuh yang layak untuk
dihancurkan.
Kemudian dengan
berjalannya waktu, saya mulai mendalami agama namun dengan perasaan hati. Hasilnya
memang saya menjadi sensitif, namun menjadi mudah tersinggung. Apalagi ketika
tekad hati saya perkuat dengan latihan, saya menjadi gampang kesetanan kalau
kemauan saya dihalangi. Ternyata keakuan saya semakin menguat. Berarti ada yang
salah dalam penanganan masalah hati atau bahkan diri saya ini.
Hingga saya disadarkan
oleh mertua saya bapak Mas Supranoto bahwa seharusnya bukan dengan menggunakan
pikiran, namun saya harus mengikuti arahan akal pikiran. Karena sejatinya yang
perlu disadarkan adalah saya. Bukan perasaan, bukan kemauan yang merupakan
sarana dari Yang Kuasa yang diberikan kepada saya. Bukankah pada pikiran terdapat
akal, pengertian dan memori? Dimana akal tugasnya menyajikan cara untuk
mencapai tujuan. Pengertian adalah sarana saya untuk memahami dan memori adalah
tempat menyimpan informasi termasuk hasil pengertian dan rencana akal.
Akhirnya saya faham
bagaimana proses indoktrinasi agama dulu dilangsungkan, yaitu dengan menaikkan keakuan
saya ke akal pikiran dengan dorongan gairah mengamalkan ilmu agama. Hal ini
seperti Iblis dari golongan jin (perasaan) yang dengan keakuan dan kemauan yang
sangat kuat berupaya naik ke langit hingga dikategorikan sebagai malaikat. Namun
ketika dihadapkan dengan Adam, Iblis enggan dan takabur. Ini semua adalah
berkat penguatan keakuan dengan penggunaan perasaan hati dan kemauan. Sekarang
saya berusaha sadar bahwa akal pikiranlah pemandu saya. Dengan kesediaan diri
untuk menerima, maka saya yang berada dalam hati mengalami pencerahan.
Barangkali saat itulah hati saya menjadi terang atau disebut dengan hati
nurani. Sebaliknya kalau saya menggunakan hati dan pikiran, maka yang menguat
adalah keakuan.
Untuk itulah saya
menganggap perlu untuk sering diam menyimak penjelasan dari pengertian dan
untuk memperoleh cara dari akal. Bahkan dalam diam itu pun saya sering
mendapatkan peringatan dari memori. Awas! Bukan mencari-cari pengertian, namun
saya perlu diam untuk menerima dan mengendapkan pengertian. Bukan mencari cara,
tetapi saya menerima cara dari akal. Bukan mengingat-ingat, tetapi saya
diingatkan oleh memori.
Apakah
diam saya
ini sama dengan diamnya orang beri'tikaf atau wukuf?
Kegiatan tentang
i’tikaf atau wukuf didasarkan atas berita dari Allah dalam QS Al Baqarah 2 ayat
125, “Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah)
tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian
maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan
Ismail, "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang
i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud".”
Dan
berdasarkan kepada Hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim, “Dari Ibnu Umar ra ia berkata, “Rasulullah saw biasa
beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan (Hadits riwayat
Bukhari dan Muslim).”” Demikian pula dengan aktifitas utama saat
berhaji, yaitu wukuf di padang Arafah. Dan esensi Haji adalah wukuf di Arafah.
I'tikaf
atau wukuf secara bahasa berarti menetap atau berdiam diri. Menetap atau
berdiam diri berarti menyimak arahan Yang Kuasa. Arahan ini ditangkap oleh akal,
pengertian dan memori ketika saya diam. Dengan demikian
tujuan dari i’tikaf atau wukuf adalah berupaya memahami dan mengenal jati diri saya yang
kemudian saya terbawa untuk mengerti akan Yang Kuasa yang disebut dengan asma Allah. Bukankah ini yang
namanya Ma’rifatullah?
Supaya tidak terganggu
saat berlatih berdiam diri, maka perlu pengkondisian. Saat tengah malam
ketika suasana sudah sepi adalah saat yang ideal untuk melatih I’tikaf. Dengan
demikian saya bisa menerapkan I”tikaf pada setiap saat dan keadaan.
Ketika saya berdiam
diri, ternyata ada sesuatu yang tahu bahwa saya sedang diam, saya sedang
mengantuk. Siapakah yang tahu tersebut. Barangkali itulah yang disebut dengan
bashirah atau yang menyaksikan. Inilah yang disebut dengan pengertian. Mampu
memberi tahu berarti memiliki kuasa. Lalu saya melatih menempatkan diri di yang
tahu tersebut, ternyata saya mendapat pemahaman yang lebih dalam. Ternyata dalam
diam, saya mendapatkan pemahaman bahwa diri sayalah yang selama ini melakukan
pemberontakan kepada Tuhan.
Apalagi ketika
dijelaskan oleh mertua saya logika bahwa Kuasa adalah kemampuan melakukan
segala sesuatu. Kuasa harus sempurna, mutlak dan tiada duanya. Kuasa harus ada
yang dikuasai, yaitu dimulai dari Akunya. Kemudian berkembang melalui
pembentukan dan terwujud alam semesta ini, dimana manusia sebagai puncak
pembentukan. Jadi saya adalah pengejawantahan dari Aku yang dikuasai. Berarti
saya sejatinya tidak bisa apa-apa. Namun Yang Kuasa memberi otorisasi untuk
menggunakan kuasanya. Yang terjadi malahan saya ingin berkuasa. Berarti saya
melakukan makar kepada Yang Kuasa.
Karena saya makar,
maka saya dijauhkan dari Yang Kuasa dan hidup di dunia ini untuk dihukum dalam
neraka api agar sadar. Bukankah di dunia ini berasal dari api? Buktinya batu
yang dingin kalau digosok menjadi panas. Hidup pun perlu panas.
Dalam sebuah hadis
Qudsyi:
"Banaytu
fii jawfi bni adam qashra wa fil qashri shadra wa fis shadri qalba wa fil qalbi
fuada wa fil fuadi syaghafa wa fil syaghafi lubba wa fil lubbi sirra wa fil
sirri ana".
Terjemahan: Aku bangun dalam tubuh manusia itu qashr
(istana) yang di dalamnya ada shadr (dada – kesadaran diri; QS Az Zumar 39:
22, “Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah dadanya (shadr) untuk
(menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang
yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah
membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.”).
Ali bin Abi Thalib kw
menjelaskan bahwa shadr itu adalah dada manusia. Hal ini juga dinyatakan
dalam QS Az Zumar 39 ayat 22: Maka apakah
orang-orang yang dibukakan Allah dadanya (shadrahu) untuk Islam, lalu ia
mendapat cahaya dari Tuhannya? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang
membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka dalam kesesatan yang nyata. Ini
berarti raga yang saya tempati adalah istana Allah Yang Kuasa.
Pengertian qalbu dijelaskan dalam QS Al Baqarah 2 ayat 225: Allah tidak menghukum kamu
disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud, tetapi Allah menghukum kamu disebabkan
yang disengaja oleh qalbumu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. Berarti
qalbu adalah kesadaran saya, yang dengannya saya harus mempertanggung-jawabkan
perbuatan saya.
Fu’ad, saya fahami sebagai
kemampuan menarik manfaat atau kesenangan. QS
An Najm 53
ayat 11: Fu’adnya tidak mendustakan apa yang
telah dilihatnya. Saya amati diri saya selalu mengikuti
dorongan kesenangan atau perasaan hati.
Dalam
fu’ad ada syaghaf sebagaimana QS Yusuf 12 ayat 30: Dan
wanita-wanita di kota berkata: "Isteri Al Aziz menggoda bujangnya untuk
menundukkan dirinya (kepadanya), sesungguhnya cintanya kepada bujangnya itu adalah sangat mendalam (syaghaf). Sesungguhnya kami memandangnya dalam
kesesatan yang nyata.” Ini saya fahami sebagai kemauan.
Lubb
dijelaskan
dalam QS Ali Imran 3 ayat 190-191: Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (Ulil Albab),
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata), "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan
sia-sia, Maha Suci Engkau, maka jauhkanlah kami dari siksa neraka. Ini
jelas memori saya.
Sirr
diterangkan
dalam QS Thaha 20 ayat 7: Dan
jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia (sirr)
dan yang lebih tersembunyi (akhfa). Rahasia
adalah untuk diungkap, untuk dimengerti. Berarti ini adalah pengertian saya.
Dan
yang di dalam sirr ada Aku. QS Thaha 20 ayat 14: Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak)
selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. Yang
bisa memberikan cara tentunya adalah akal yang diberikan kepada saya.
Dengan bekal sarana
Allah Yang Kuasa inilah, saya menjalani hidup di dunia sebagai tempat
pendidikan saya agar tahu diri. Saya yang selama ini memberontak kepada Yang Kuasa.
Semestinya saya menjadi sadar diri dan bisa menempatkan diri sebagai yang
dikuasai. Berarti tugas saya adalah membangun peradaban untuk menandai
keberadaan Yang Kuasa.
Tuban, 14 Juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar