Nabi Shalallaahu
‘Alahi Wasallam bersabda, “Sesuatu yang paling aku khawatirkan menimpa
atas anda ialah dua hal, yaitu panjang angan-angan dan mengikuti hawa nafsu.
Sesungguhnya panjang angan-angan itu akan melupakan akhirat dan mengikuti hawa
nafsu itu akan menghalangi dari kebenaran.”
Angan-angan
menurut pengertian KBBI adalah cita-cita. Setiap orang pasti memiliki
cita-cita, yaitu yang mendorong dirinya untuk sibuk beraktifitas. Siapakah yang
memiliki cita-cita? Jawabannya adalah “diri saya”.
Pada
kenyataannya memang kehidupan manusia selalu didorong oleh upaya mewujudkan
cita-cita. Namun pernahkah timbul pertanyaan dalam diri kita, siapakah yang
memberi cita-cita tersebut? Apakah berasal dari ilham, yaitu petunjuk Tuhan
yang diterima oleh pengertian, lalu akal memberikan cara? Pengertian dan cara
ini kemudian diturunkan ke diri saya untuk sebaiknya diwujudkan. Akibat dari
pengertian dan cara yang diterima pikiran dan diturunkan ke dalam diri
seseorang, maka dia beraktifitas.
Ataukah
karena dorongan dari dalam dirinya? Sedangkan diri saya adalah yang dikuasai,
berarti tidak memiliki kemampuan apa-apa. Namun diri saya ini memiliki dorongan
untuk memiliki apa saja. Akibat dari dorongan memiliki, maka seseorang
beraktifitas.
Yang
pertama akan mendorong seseorang untuk menjadi utusan dari Yang Kuasa,
sedangkan yang kedua akan menguatkan dirinya ketika berhasil. Kalau gagal
malahan bisa mendorong kepada kesadaran diri akan perannya sebagai utusan dari
Yang Kuasa. Sayangnya kalau tidak berhasil, kendat.
Apakah
angan-angan seperti ini yang dimaksud Nabi (saw)? Saya kira bukan itu. Yang
ditekankan oleh beliau adalah “panjang” angan-angan. Karena istilah panjang
angan-angan dilontarkan beliau, maka perlu disimak penjelasan beliau sendiri.
Beraktifitas
akibat dorongan dirinya seringkali disebut dengan hawa nafsu akan membuat
seseorang malahan mendapatkan kesengsaraan. Nabi (saw) bersabda: “Aku sebagai
penjamin terhadap tiga orang yang akan mendapatkan akibat tiga hal, yaitu orang
yang menggeluti dunia; yang sangat besar cintanya pada dunia; dan orang yang
bakhil. Bagi ketiga orang itu selalu dalam kefakiran, tidak akan pernah merasa
kaya sesudahnya, selalu disibukkan dengan urusannya yang tak berkesudahan, dan
kegelisahan selalu menyelimutinya tanpa disertai kegembiraan.”
Sebaiknya
beraktifitas karena dorongan ilham, berarti memahami jati diri dan Tuhannya.
Oleh Nabi (saw) digambarkan dengan watak malu kepada Allah. Nabi (saw) bersabda
kepada para sahabatnya: “Apakah Anda semua ingin masuk surga?” Mereka menjawab:
“Ya.” Beliau bersabda: “Hendaklah Anda memperpendek angan-angan; merasa malu
kepada Allah dengan sungguh-sungguh malu.” Mereka berkata: “Kami adalah
orang-orang yang merasa malu kepada Allah Ta’ala.” Beliau bersabda: “Bukan
begitu yang dimaksudkan malu, tetapi malu kepada Allah Ta’ala itu dengan cara
selalu mengingat kubur dan kebinasaan (kematian); menjaga perut dan isinya;
serta menjaga kepala beserta apa yang dikandungnya. Orang yang menginginkan
kemuliaan akhirat, hendaklah ia meninggalkan perhiasan dunia. Demikian itulah
sikap malu seorang hamba kepada Allah yang sebenar-benarnya malu. Dan dengannya
pula seorang hamba mendapatkan derajat kewalian dari Allah Subhanahu wa Taála.”
Diriwayatkan
dari Ummil Mundzir, sesungguhnya ia berkata, suatu sore Rasulullah terlihat
datang di hadapan manusia, lalu beliau bersabda: “Wahai manusia, tidakkah Anda
merasa malu kepada Allah Subhanahu wa Taála?” Mereka bertanya: “Apakah yang
dimaksudkan dengan itu, ya Rasulullah?” Beliau bersabda: “Anda mengumpulkan
sesuatu yang tidak Anda makan, berangan-angan sesuatu yang tidak akan dapat
Anda gapai, dan membangun sesuatu yang tidak Anda tempati.”
Nabi
bersabda: “Awal kemaslahatan umat ini ialah dengan zuhud dan keyakinan.
Sedangkan kehancuran akhirnya ialah dengan bakhil dan (panjang) angan-angan.”
Bersikap zuhud dan keyakinan adalah karena mengerti akan Allah Yang Maha Kuasa seakan-akan
dia melihat-Nya.
Diriwayatkan
dari Abi Sa’id Al-Khudhri, dia berkata, sesungguhnya Usamah bin Zaid bin Tsabit
membeli walidah (anak seorang budak) seharga seratus dinar dengan harga yang
ditangguhkan sampai sebulan. Aku mendengar Rasulullah bersabda: “Tidakkah Anda
merasa heran terhadap Usamah yang membeli walidah dengan harga pembelian yang
ditangguhkan selama satu bulan. Sesungguhnya ia adalah orang yang panjang
angan-angan. Demi Tuhan yang menguasai diriku, tidaklah kedua mataku berkedip
(terbuka memandang), melainkan aku mengira bahwa kedua bibir pelupuk mataku
tidak akan bertemu lagi, karena bisa jadi saat itu Allah akan mengambil ruhku.
Tidaklah pernah aku mengangkat pandangan mataku ke langit, melainkan aku selalu
mengira bahwa aku tidak akan dapat menundukkan (memejamkan) pandangan mataku,
karena pada detik itu bisa jadi Allah akan mengambil ruhku. Tidaklah pernah aku
memasukkan sesuap makanan ke dalam mulutku, melainkan aku menduga aku tidak
akan dapat menelannya, karena pada detik itu, bisa jadi kematian datang
merenggut.”
Kemudian
beliau bersabda: “Wahai anak keturunan Adam, jika anda orang yang berakal, maka
hitunglah diri Anda termasuk dalam kategori deretan orang-orang yang telah
mati. Demi Tuhan yang menguasai diriku, sesungguhnya apa yang telah dijanjikan
kepada anda, tentu akan datang terlaksana, sementara anda adalah orang-orang
yang tidak memiliki kemampuan untuk menangguhkannya.”
Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas (ra), sesungguhnya Rasulullah keluar untuk menuangkan air
(berwudhu), tetapi tiba-tiba beliau mengusap dengan debu (bertayamum), maka aku
bertanya: “Ya Rasulullah, sesungguhnya air berada di tempat yang tidak jauh
dari Anda.” Beliau bersabda: “Apa yang membuat aku tahu? Mungkin aku tidak akan
dapat sampai di tempat air itu.”
Dari
penjelasan beliau, saya memahami bahwa akal yang semestinya memberikan cara
untuk mencapai tujuan telah dirusak oleh kemauan hawa nafsunya. Sehingga bukan lagi
cara yang diberikan akal, namun saya yang tidak pernah puas membuat panjangnya
angan-angan. Bahkan bisa jadi mendorong saya untuk diam menunggu dengan harapan
semoga ada yang menolong atau bahkan tidak memiliki keberanian untuk mewujudkan
angan-angan.
Dikatakan,
ketika Nabi Isa sedang duduk, ada seorang lelaki tua sedang bekerja mencangkul
menggarap ladangnya. Lalu Nabi Isa berkata: “Ya Allah, cabutlah
angan-angannya.” Orang tua itu seketika menghentikan pekerjaannya, meletakkan
cangkulnya, dan beristirahat sambil tidur-tiduran. Tidak lama kemudian Nabi Isa
berkata lagi: “Ya Allah, kembalikan angan-angannya.” Lalu orang tua itu bangkit
bekerja mencangkul lagi.
Lalu
Nabi Isa bertanya kepadanya, mengenai hal itu, dan ia menjawab: “Ketika aku
tengah bekerja, tiba-tiba aku berkata pada diriku sendiri: “Sampai kapan anda
bekerja, sementara anda adalah orang yang telah lanjut usia?” Maka aku
melemparkan cangkulku dan berhenti sambil tidur-tiduran. Tidak lama kemudian
aku berkata lagi pada diriku sendiri: “Demi Allah, adalah menjadi keharusan
bagi Anda mencari modal kehidupan selama kamu masih hidup.” Maka aku segera
bangkit mengambil cangkul dan bekerja lagi.”[1]
Akal
yang sehat (tidak dirusak oleh kemauan dirinya) inilah yang memberikan cara
kepada lelaki tua tersebut untuk bekerja.
Nabi
Adam berwasiat kepada anaknya, Syits (as) dengan lima hal, dan ia menyerukan
agar Syits berwasiat dengan lima hal itu kepada anak-anaknya sepeninggalnya.
Kelima hal itu ialah:
- Janganlah Anda merasa tenang dan aman hidup di dunia. Karena aku yang merasa tenang hidup di surga yang bersifat abadi, ternyata aku dikeluarkan oleh Allah daripadanya.
- Janganlah Anda bertindak menurut kemauan hawa nafsu istri-istri Anda, karena aku bertindak menurut kesenangan hawa nafsu istriku, sehingga aku memakan pohon terlarang, lalu aku menjadi menyesal.
- Setiap perbuatan yang akan Anda lakukan, renungkan terlebih dahulu akibat yang akan ditimbulkannya. Seandainya aku merenungkan akibat suatu perkara, tentu aku tidak tertimpa musibah seperti ini.
- Ketika hati Anda merasakan kegamangan akan sesuatu, maka tinggalkanlah ia. Karena ketika aku hendak makan syajarah hatiku merasa gamang, tetapi aku tidak menghiraukannya, sehingga aku benar-benar menemui penyesalan.
- Bermusyawarahlah mengenai suatu perkara, karena seandainya aku bermusyawarah dengan para malaikat, tentu aku tidak akan tertimpa musibah ini.
Jakarta,
25 Jun 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar