Islam Itu Universal - Pendahuluan 4/4




Untuk menanggapi adanya fitnah-fitnah tersebut, semestinya akan selalu ada individu atau kelompok orang-orang yang senantiasa menegakkan kebenaran atau urusan Allah. Yaitu mereka-mereka yang menyerahkan dirinya kepada Allah, menjadi hamba-Nya. Mereka ini akan selalu berjuang untuk mengajak kepada ketaatan hanya untuk Allah.
QS Al Baqarah 2 ayat 193: Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.
Juga berperang agar agama atau sikap itu semata-mata untuk Allah.
QS Al Anfal 8 ayat 39: Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.
Perjuangan juga berarti peperangan. Ada perang bathin, ada perang intelektualitas dan ada perang fisik. Bentuk-bentuk peperangan tersebut akan tergantung kepada situasi dan kondisinya.
Dalam sebuah riwayat dari Abu Dawud disebutkan: “Akan senantiasa ada sekelompok umatku yang berperang di atas kebenaran. Mereka meraih kemenangan atas orang-orang yang memerangi mereka, sampai akhirnya kelompok terakhir mereka memerangi Dajjal.”[1]
Dalam riwayat lain: “Akan senantiasa ada satu kelompok dari umatku yang meraih kemenangan (karena berada) di atas kebenaran, orang-orang yang menelantarkan mereka tidak akan mampu menimbulkan bahaya kepada mereka, sampai datangnya urusan Allah sementara keadaan mereka tetap seperti itu.”[2]
Akan senantiasa ada satu kelompok dari umatku yang berperang di atas urusan Allah. Mereka mengalahkan musuh-musuh mereka. Orang-orang yang memusuhi mereka tidak akan mampu menimpakan bahaya kepada mereka sampai datangnya kiamat, sementara keadaan mereka tetap konsisten seperti itu.[3]
Parameter kebenaran atau urusan Allah saat itu adalah mereka yang selalu mengajak ke Allah.
QS Yusuf 10 ayat 108: Katakanlah, “Inilah jalan (sabiyly)-ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan bashirah, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.”
Kelompok yang selalu berperang untuk menegakkan bahwa agama dan ketaatan hanya untuk Allah ini disebut dengan kelompok Thaifah Manshurah. Ciri-ciri mereka telah dijelaskan dalam beberapa riwayat yang dan dikenal dengan nama Ashabu Rayati Suud (Pasukan Panji Hitam dari Khurasan).
Akan keluar sebuah kaum dari arah Timur, mereka akan memudahkan kekuasaan bagi Al Mahdi.
Dari Khurasan (bisa juga berarti tempat matahari terbit – timur) akan keluar beberapa bendera hitam, tak sesuatupun bisa menahannya sampai akhirnya bendera-bendera itu ditegakkan di Iliya (Baitul Maqdis).
Akan keluar manusia dari Timur yang akan memudahkan jalan kekuasaan bagi Al Mahdi.
Tsauban (ra), “Akan berperang tiga orang di sisi perbendaharaanmu. Mereka semua adalah putera khalifah. Tetapi tak seorang pun di antara mereka yang berhasil menguasainya. Kemudian muncullah bendera-bendera hitam dari arah timur, lantas mereka membunuh kamu dengan suatu pembunuhan yang belum pernah dialami oleh kaum sebelummu.” Kemudian beliau (saw) menyebutkan sesuatu yang aku tidak hafal, lalu bersabda, “Maka jika kamu melihatnya, berbai’atlah walaupun dengan merangkak di atas salju, karena dia adalah khalifah Allah Al-Mahdi.”[4]
Mereka datang dari arah matahari terbit. Arah matahari terbit kebetulan adalah arah dari hadapan Multazam, dimana pulau Jawa/Indonesia termasuk dalam jangkauan arah tersebut. Selain itu wali-wali di Indonesia ini adalah dari keturunan Nabi (saw), dengan kata lain keturunan Nabi (saw) banyak berhijrah ke arah timur. Akhlak manusia yang tinggal di arah timur atau tempat matahari terbit selalu merujuk kepada orang-orang yang berbudaya berketuhanan, seperti para pejuang Badar.
Mengenai orang-orang timur dikisahkan dalam QS Al Kahfi 18 ayat 83-101: Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulkarnain. Katakanlah, “Aku akan bacakan kepadamu cerita tentangnya.”
Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu, maka dia pun menempuh suatu jalan.
Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbenam matahari, dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam dan dia mendapati di situ segolongan umat. Kami berkata: “Hai Dzulkarnain, kamu boleh menyiksa atau boleh berbuat kebaikan terhadap mereka.”
Berkata Dzulkarnain: “Adapun orang yang aniaya, maka kami kelak akan mengazabnya, kemudian dia kembalikan kepada Rabb-nya, lalu Rabb mengazabnya dengan azab yang tidak ada taranya.”
Adapun orang-orang yang beriman dan beramal saleh, maka baginya pahala yang terbaik sebagai balasan dan akan Kami titahkan kepadanya (perintah) yang mudah dari perintah-perintah Kami.
Kemudian dia menempuh jalan (yang lain).
Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbit matahari (sebelah Timur), dia mendapati matahari itu menyinari segolongan umat yang Kami tidak menjadikan bagi mereka sesuatu yang melindunginya dari (cahaya) matahari itu, demikianlah dan sesungguhnya Kami meliputi segala apa yang ada padanya.
Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain lagi).
Hingga apabila dia telah sampai di antara dua buah gunung, dia mendapati di hadapan kedua bukit itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan.
Mereka berkata: “Hai Dzulkarnain, sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?”
Dzulkarnain berkata: “Apa yang telah dikuasakan oleh Rabb kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan, agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka, berilah aku potongan-potongan besi.” Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Dzulkarnain: “Tiuplah (api itu).” Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, diapun berkata: “Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar aku kutuangkan ke atas besi panas itu.”
Maka mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa (pula) melobanginya.
Dzulkarnain berkata: “Ini (dinding) adalah rahmat dari Rabb, maka apabila sudah datang janji Rabb, Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Rabb itu adalah benar.”
Kami biarkan mereka di hari itu bercampur aduk antara satu dengan yang lain, kemudian ditiup lagi sangkakala, lalu Kami kumpulkan mereka itu semuanya dan Kami nampakkan Jahannam pada hari itu kepada orang-orang kafir dengan jelas, yaitu orang-orang yang matanya dalam keadaan tertutup dari memperhatikan tanda-tanda kebesaran-Ku dan adalah mereka tidak sanggup mendengar.
Mereka yang berada di tempat matahari terbit masih membuka dadanya untuk menerima Allah, menerima Islam dan mendapat cahaya Ilahy, mereka tidak cinta dunia.
Sedangkan ciri membunuh dengan suatu pembunuhan yang belum pernah dialami oleh kaum sebelummu, secara tegas disampaikan Allah dalam QS Al Anfaal 8 ayat 17: Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Barangkali gambarannya seperti yang dikisahkan dalam hadits berikut:
Rasulullah (saw) bersabda, “Apakah kalian pernah mendengar suatu kota yang terletak sebagiannya di darat dan sebagiannya di laut?” 
Mereka (para sahabat) menjawab, “Pernah wahai Rasulullah.” 
Beliau (saw) bersabda, “Tidak terjadi hari kiamat, sehingga ia diserang oleh 70.000 orang dari Bani Ishaq. Ketika mereka telah sampai di sana, maka mereka pun memasukinya. Mereka tidaklah berperang dengan senjata dan tidak melepaskan satu panah pun. Mereka hanya berkata Laa Ilaha Illallah Wallahu Akbar, maka jatuhlah salah satu bagian dari kota itu.”
Berkata Tsaur (perawi hadits), “Saya tidak tahu kecuali hal ini; hanya dikatakan oleh pasukan yang berada di laut. Kemudian mereka berkata yang kedua kalinya Laa Ilaha Illallah Wallahu Akbar, maka jatuh pula sebagian yang lain (darat). Kemudian mereka berkata lagi Laa Ilaha Illallah Wallahu Akbar, maka terbukalah semua bagian kota itu. Lalu mereka pun memasukinya. Ketika mereka sedang membagi-bagikan harta rampasan perang, tiba-tiba datanglah seseorang (setan) seraya berteriak: “Sesungguhnya Dajjal telah keluar.” Kemudian mereka meninggalkan segala sesuatu dan kembali.”[5] 
Dengan demikian Ashhabu Rayati Suud kemungkinan besar berasal dari keturunan Nabi (saw) dan keturunan para pejuang Badar (ra). Keberadaan mereka sudah tersebar ke seluruh dunia, terutama ke arah Timur.
QS Al Baqarah 2 ayat 147-150: Kebenaran itu adalah dari Rabb-mu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.
Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Dan dari mana saja kamu keluar (datang), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram, sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Rabb-mu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.
Dan dari mana saja kamu (keluar), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). Dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu dan supaya kamu mendapat petunjuk.
Fitnah perpecahan ini sudah menjadi ketentuan Allah, sebagai bagian dari pendidikan manusia. Kami perhatikan dalam sejarah Islam, pada awalnya imam dan kepemimpinan (amir/khalifah) berada dalam tangan yang satu, yaitu Nabi (saw), hamba Allah dengan akhlak terbaik. Hal ini berlanjut hingga Khulafaur Rasyidin dan Hasan (ra). Selanjutnya Hasan (ra) meletakkan jabatan amir dan hanya menjadi imam umat, maka Muawiyah menjadi amir. Lalu keluarga Abbasiyyah yang mendukung imam keturunan Nabi (saw) menghancurkan dinasti Umayyah tampil menguasai. Bukannya mereda, malahan konflik antara imam dengan amir semakin keras, hingga imam keturunan Nabi (saw) dijadikan tahanan rumah dan pada zaman khalifah Al Mutamid dari dinasti Abbasiyyah imam Abu Al Qasim Muhammad disembunyikan Allah bersamaan dengan wafatnya ayahnya Hasan Al Askari pada tahun 874 di penjara Samarra. Selanjutnya tidak ada imam di antara umat, yang ada hanya amir/pemimpin negara. Dengan ketiadaan imam di masyarakat, dan gerakan politik mulai menggerogoti dokumen-dokumen seperti hadits akhirnya menimbulkan dorongan untuk menelusuri hadits-hadits Nabi (saw) yang shahih. Dari situlah muncul kelompok yang menamakan dirinya sebagai kelompok Sunni sebagai bentuk perlawanan dengan munculnya gerakan Syiah seabad setelah hilangnya Abu Al Qasim Muhammad. Keberadaan kelompok Sunni ini ditandai dengan adanya program penulisan hadits yang dipelopori oleh Bukhari (as) yang wafat pada tahun 870. Konflik pun menjadi semakin keras dan berdarah-darah. Zaman berubah, muncul para diktator lalu demokrasi. Dimana siapa saja bisa menjadi pemimpin asalkan bisa didukung mayoritas masyarakat. Dengan demikian amanat sudah menjadi barang perdagangan atau rampasan.
Karena sibuk dalam perbedaan dan perpolitikan akhirnya masyarakat pun semakin jauh dari Allah dan semakin kuat pula kecintaan kepada dunia. Dan sebagaimana fitrah Allah yang selalu mendorong manusia untuk selalu ingat dan mengabdi kepada-Nya, maka musibah pun turun sebagai pengingat agar manusia bertaubat dan kembali ke Allah. Nampaknya tingkah laku kecintaan kepada dunia sudah semakin mendarah daging dan mulai melingkupi seluruh sendi-sendi masyarakat, maka musibah pun semakin mengalir.
Ibnu Abi Dunya berkata, “Telah menceritakan kepada kami Ar Rabi’ bin Tsaqlab, katanya, Farj bin Fadhalah menceritakan kepada kami riwayat dari yahya bin Sa’id, dari Muhammad bin Ali, dari Ali (kw), katanya Rasulullah (saw) telah bersabda, “Jika umatku telah melakukan lima belas perilaku, maka ia layak mendapatkan bala’ (bencana).
Ditanyakan, “Apa saja kelima belas perilaku itu ya Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Jika kekayaan hanya berputar pada kalangan tertentu, amanat menjadi barang rampasan, zakat menjadi utang; seorang lelaki (suami) menurut pada istrinya dan mendurhakai ibunya; berbuat baik kepada teman namun kasar terhadap ayahnya sendiri; ditinggikannya suara-suara di masjid; yang menjadi pemimpin suatu kaum adalah orang yang paling hina di antara mereka; seseorang dimuliakan karena ditakuti kejahatannya; diminumnya khamr; dipakainya kain sutera; mengambil para biduanita; dan orang-orang akhir dari umat ini telah melaknat orang-orang terdahulu. Maka kalau sudah demikian, tunggulah datangnya angin merah, pengamblesan bumi dan pengubahan bentuk.”[6]
Dalam riwayat lain: “… telah muncul perzinaan …, pada umat ini kelak ada orang-orang yang menghabiskan malamnya dengan makanan, minuman dan musik dan … jika kaum laki-laki sama kaum laki-laki dan kaum perempuan sama kaum perempuan.”
Ini adalah gambaran umat mendekati akhir zaman, dimana akan banyak terjadi bencana alam. Angin merah bisa dimaknai banyaknya kejadian peledakan dan kebakaran. Pengamblesan bumi diantaranya adalah gempa, tsunami, banjir dan longsor. Sedangkan pengubahan bentuk, akan semakin banyak orang yang berubah bentuknya, entah karena operasi plastik, seperti populernya artis-artis hasil operasi plastik atau karena laknat Allah.
Semua kejadian pada masa kini menandakan bahwa risalah Nabi (saw) nampaknya sudah diabaikan atau barangkali malahan sudah mengalami distorsi dari aslinya. Aneh padahal panduannya masih sama, yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi (saw). Apakah manusia telah berubah dari fitrahnya?
Ingatlah, Jannani adalah orang yang menyembah Allah SWT karena menginginkan surga. Mereka seperti pegawai yang menjadi giat bekerja karena bonus. Pada hari kiamat, kepada kaum Jannani dikatakan bahwa engkau mendapatkan surga. Mereka menjawab, “Segala puji bagi Allah yang janji-Nya benar.”
Sedangkan Rahbani adalah orang yang menyembah Allah SWT karena takut kepada api neraka. Mereka dikatakan seperti budak yang takut akan cemeti tuannya. Pada hari kiamat dikatakan kepada mereka, “Engkau selamat dari api neraka.” Mereka menjawab, “Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kesedihan kami.”
Rabbani adalah orang yang menyembah Allah SWT karena rindu kepada-Nya, tidak karena takut neraka atau mengharap surga. Merekalah golongan terhormat. Di hari kiamat dikatakan kepada mereka, “Allah SWT telah menganugerahkan kepadamu dapat melihat-Nya tanpa penghalang dan tanpa tutup, bagaimana?” Mereka menjawab, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan hadiah ini.”
Ilahy Anta maqsudy, wa ridhaka matlubi, a’tini wa ma’rifataka wamahabbataka (Ilah-ku Engkaulah yang aku maksud, keridhoan Engkau yang kupinta, karuniakan (kami) mengenal Engkau dan dengan sebenarnya cinta kepada Engkau).


[1] HR. Abu Daud: Kitab al-jihad no. 2125, Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 1959.
[2] HR. Muslim: Kitabul Imarah no. 3544 dan Tirmidzi: Kitabul fitan no. 2155
[3] HR. Muslim: Kitabul imarah no. 3550.
[4] Sunan Ibnu Majah, Kitabul Fitan Bab Khurujil Mahdi 2: 1467: Mustadrak Al-Hakim 4: 463-464. Dan dia berkata, “Ini adalah hadits shahih menurut syarat Syaikhain.” (An-Nihayah fit Firan 1:29 dengan tahqiq DR. Thana Zaini).
[5] HR. Muslim, Kitabul Fitan wa Asyratus Sa’ah
[6] Sebagian ahli hadits menyatakan dha’if, namun Al Albani menshahihkan hadits ini dalam Takhrijul Misykat (5451).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Orang Jawa Menjelaskan Hakekat Manusia

Menyaksikan Keberadaan Rabbul 'alamin

Sugeng Kondur Bapak (Bapak Mas Supranoto)