Minggu, 14 Desember 2014

Buhul Tali Allah Bukan Thaghut

Cileungsi, 12 Desember 2014

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
(QS Al Baqarah 2 ayat 256)

Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan.
(QS Luqman 31 ayat 22)

Thaghut menurut para ulama berasal dari kata thagha yang berarti melampaui batas. Atas dasar itulah, saya memahami Thaghut sebagai segala sesuatu yang membuat manusia bersikap dan bertindak melampaui batas.

Batas sendiri dalam dunia manusia dikenal dengan sebutan hukum. Otomatis mereka yang melakukan di luar batas atau di luar hukum akan mendapatkan hukuman. Bagi Tuhan, Dia sudah menetapkan batas berupa fitrah. Dalam diri manusia terdapat batas itu yang sering disebut dengan hati nurani. Kalau batas ini dilanggar, maka manusia akan berdosa dan akan mendapatkan hukuman. Istilah hati nurani ini berarti hati yang bercahaya, yaitu hati yang mau menerima pengertian. Dalam Quran istilah yang digunakan adalah bashirah atau yang menyaksikan. Kalau kita diam merenung, maka akan bisa kita saksikan bashirah tersebut aktif, yaitu yang tahu kalau kita berbohong, tahu kalau kita sedang berfikir, tahu kalau kita sedang mengakali.

Siapa saja yang disebut melampaui batas?

Yaitu mereka yang menolak fitrah atau kebenaran (kafir), yang berbohong (munafik) dan yang mendua (musyrik). Orang kafir berarti mereka yang menolak mengikuti arahan hati nurani atau pengertian. Orang munafik berarti dia membohongi pengertiannya. Sedangkan orang musyrik adalah dia sudah mengerti namun dirinya menyeret kepada perasaan dan kemauannya.

Oleh karena itu supaya hidup kita nikmat, maka kita wajib percaya kepada Yang Kuasa. Bukankah Yang Kuasa itu pasti mampu memberikan kenikmatan? Oleh karena itu tanamkanlah kepercayaan kepada Yang Kuasa itu ke dalam diri kita sedalam-dalamnya. Inilah sebenarnya yang dimaksud dengan memegang buhul tali Allah. Wujud nyata dari memegang buhul tali Allah adalah dengan memunculkan kerelaan kita berserah diri kepada Allah dan berbuat kebaikan (ihsan). 

Rela kepada Allah itu bukan seperti kata orang banyak, tetapi sesuatu yang pribadi. Dimana kita menyerahkan keakuan kita kepada Allah Yang Kuasa. Tanda bukti bahwa kita sudah rela adalah akhlak kita, dimana kita rela menerima hidup ini dan berjuang dengan sungguh-sungguh memberikan yang terbaik atas setiap kewajiban yang harus kita penuhi. Jadi kalau berkarya, tidak asal-asalan.

Berbuat kebaikan atau ihsan itu artinya sampai kita bisa menyaksikan Allah. Misalnya kita seorang pegawai, kita bekerja sungguh-sungguh untuk menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Namun bukan nilainya saja yang membuat kita bahagia, tetapi kita juga berbahagia bisa menyaksikan bagaimana Allah Yang Maha Kuasa yang juga disebut dengan Ar Razaq Sang Pemberi rezeki hadir.

Kamis, 13 November 2014

Cinta & Kasih Sayang

Pak Yai, selama seminggu sebelum kejadian gempa saya seperti terpapar suasana cinta. Namun setelah terjadi gempa, suasana tersebut langsung hilang. Fenomena apa itu, Pak Yai?

Apakah kalian tidak memperhatikan pernyataan, “Aku adalah Perbendaharaan Tersembunyi. Aku cinta dikenal. Aku ciptakan makhluk-Ku agar mengenal-Ku.”

Maksudnya bagaimana, pak Yai?

Pernyataan ini seolah hanya berupa fitrah bahwa Dia Allah cinta dikenal. Namun manusia dibingungkan karena adanya konflik pernyataan antara Tersembunyi namun cinta dikenal. Apa maksudnya?

Maksudnya adalah Dia ingin makhluk-Nya menemui-Nya di persembunyianNya. Kalau makhluk-Nya tidak hadir kepada Dia, maka Dia akan hadir dengan cinta-Nya. Itulah sebabnya engkau terkena tarikan cinta Ilahy tersebut.

O begitu ya pak Yai. Pantas kalau kita diminta mengunjungi Allah dengan mengunjungi orang sakit. Berarti orang sakit itu sedang jauh dari Allah. Sehingga kalau mau sembuh, ya dengan mengubah sikap untuk selalu hadir ke hadirat Ilahy, begitu pak Yai?

Ya seperti itulah.

Lalu bagaimana dengan anak kecil yang sakit?

Anak kecil yang sakit sebenarnya sedang dididik Yang Kuasa agar kuat menghadapi zamannya. Pun kalau tidak berlanjut, itu adalah kasih sayang Ilahy kepadanya, kalau kalian mau mengerti.
Dengan pengertian ini, maka tumbuhlah keyakinan yang berasal dari pengertian dan disebut dengan ‘ilmulyaqin.

Supaya proses keyakinanmu sempurna, maka pengertian tersebut harus ada wujudnya sehingga bisa dilihat. Hanya perwujudan tersebut ada waktunya. Pada tataran ini akan tercapai keyakinan karena adanya wujud yang nampak atau  ‘ainulyaqin. Dan keyakinan akan sempurna bila telah mencapai haqqulyaqin. Jadi perlu adanya kesaksian berupa peristiwa untuk memastikan keyakinan atas petunjuk/ilham/Wahyu/inzal yang diturunkan kepada manusia. Hal ini akan terbukti melalui peristiwa, contohnya adalah getaran cinta dan gempa bumi yang kamu alami. Gempa bumi yang mengguncang Banten pada 23 Januari 2018 dan dirasakan sampai Jakarta menjadi bukti atas pernyataan Ilahi tersebut bagi orang-orang tertentu.

Bukankah pada setiap kejadian bencana alam, sebelumnya selalu muncul tanda-tanda kehadiran Ilahi, contoh api lumpur membentuk lafaz Allah, pohon menuliskan huruf Allah sebelum gempa Padang. Jangan dipandang sebaliknya.

Bagi yang tidak memahami, penampakan kehadiran Ilahy dianggap sebagai rahmat / dukungan atas kebenaran sikap mereka, contoh demonstrasi 212 yang konon sebagian peserta menyaksikan lafaz Allah dalam bentuk awan di langit. Kalau betul seperti itu, maka mereka kaum yang dimurkai dan semestinya kalau itu benar semenjak hari itu kalau sholat jangan di masjid tetapi di jalan.

Cinta berbeda dengan kasih sayang. Cinta datang dengan sendirinya. Cinta lebih kepada pernyataan kepemilikan, sehingga sepantasnya hanya milik Sang Pencipta. Sedangkan kasih sayang adalah memberi dan menjaga. Kasih sayang perlu ditanamkan agar tumbuh dan berkembang.
Allah adalah kasih sayang. QS Al Fatihah 1 ayat 1: Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Ditegaskan lagi pada ayat ketiga:
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Bahkan salah satu surat diberi judul atas hal ini, yaitu QS surat ke 55, yaitu Ar Rahman. Allah menetapkan DiriNya kasih sayang, yaitu QS Al An’aam 6 ayat 12 dan 54: Katakanlah: "Kepunyaan siapakah apa yang ada di langit dan di bumi?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah." Dia telah menetapkan atas Diri-Nya kasih sayang. Dia sungguh akan menghimpun kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan padanya. Orang-orang yang meragukan dirinya mereka itu tidak beriman.
Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka katakanlah: "Salaamun alaikum. Tuhanmu telah menetapkan atas Diri-Nya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Manusia pada umumnya menuruti kemauannya dan kalau tidak terwujud mereka akan kecewa bahkan marah. Kemarahan ini kemudian mendorong mereka untuk mematikan kasih sayang pada dirinya. Akibatnya Dia hadir kepada yang marah dengan cintaNya, yang berarti yang marah sedang diperingatkan. Kalau nggak segera kembali kepada sikap seharusnya, maka musibah akan diterimanya.

Dengan demikian semakin berkembangnya peradaban, maka Ilahy semakin sering hadir dengan cinta akibat kasih sayang semakin memudar. Ambisi dan emosi semakin menguat, padahal keduanya adalah tangan-tangan kemauan. Otomatis dengan menguatnya kemauan, maka siapa pun penghalangnya akan dihadapinya bahkan kalau perlu dengan segala jenis kekuatan yang dimiliki. Akibatnya konflik terjadi dimana-mana. Mereka secara tidak sadar akan menjadi kejam dan semakin keji.

Makanya marilah menetapkan kasih sayang pada diri kita.

Terima kasih sangat, pak Yai atas wejangannya.

Jakarta, 9 Maret 2018

Minggu, 24 Agustus 2014

Paranormal

Seseorang di kala mengalami permasalahan, sering menjadi kalut lalu datang kepada orang pinter. Oleh orang pinter diberi amalan, semisal membaca asma ul husna sebanyak sekian kali. Seolah asma ul husna ini merupakan kunci otorisasi untuk menggunakan Qudrat / Kekuasaan Allah demi mencapai keinginannya.
Namun ingatlah pesan Allah dalam Al Qur’an surat Shaad 38 ayat 82:
Iblis menjawab: "Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, ...”
Penggunaan kekuasaan / Qudrat Allah sama saja dengan meniru Iblis, sedangkan Iblis adalah musuh yang nyata bagi kita. Oleh karena itulah Allah tidak akan suka dengan mereka-mereka yang melakukan pendekatan kekuasaan. Mereka ini menyimpang dari kebenaran dan secara berangsur-angsur akan diseret ke neraka tanpa menyadarinya.
Penggunaan kekuasaan inilah yang dimaksud dengan istidraj.
QS Al A’raaf 7 ayat 180-186:
Hanya milik Allah Asmaa-ul Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asmaa-ul Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.
Dan di antara orang-orang yang Kami ciptakan ada umat yang memberi (mengikuti) petunjuk dengan hak, dan dengan yang hak itu (pula) mereka menjalankan keadilan.
Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (sanastadrijuhum), dengan cara yang tidak mereka ketahui.
Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amat teguh.
Apakah (mereka lalai) dan tidak memikirkan bahwa teman mereka (Muhammad) tidak berpenyakit gila. Dia (Muhammad itu) tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan lagi pemberi penjelasan.
Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah Al Quran itu?
Barangsiapa yang Allah sesatkan, maka baginya tak ada orang yang akan memberi petunjuk. Dan Allah membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan.
QS Al Qalam 68 ayat 44:
Maka serahkanlah kepada-Ku orang-orang yang mendustakan perkataan ini (Al Quran). Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (sanastadrijuhum) dari arah yang tidak mereka ketahui.
Demikian pula mereka-mereka yang melatih penglihatan bathin mereka. Mereka menggunakannya untuk melihat hal-hal yang gaib, seperti membaca pikiran orang lain, membaca masa depan dan lain-lain. Menyenangkan! Memang tak dipungkiri.
Namun pernahkah terpikirkan bagaimana kita bisa meyakini bahwa yang kita baca tersebut benar? Sedangkan sang pembaca lupa memperhatikan siapa yang memberikan informasi tersebut.
Kita tidak tahu kalau tidak diberi tahu oleh indra. Kita juga tidak tahu bila tidak dijelaskan oleh pikiran. Kita pun juga tidak tahu bagaimana mengaktifkan adanya yang menyaksikan dalam diri kita. Apalagi pengetahuan kita tentang Sang Rabb, Pencipta alam semesta. Dengan ketidak-tahuan ini, maknanya adalah mereka-mereka yang suka membaca berada dalam jurang bahaya ketertipuan.
Mereka-mereka inilah yang kami khawatirkan sedang dilulu (istidraj) oleh Sang Rabb berdasarkan ayat-ayat di atas, karena menyimpang dari kebenaran dalam menggunakan nama-nama Allah.
Menurut hemat kami, yang benar dan bisa dipastikan kebenarannya adalah informasi dari Sang Rabb. Oleh karena itu, perlu bagi kita untuk berjuang menemui Sang Rabb, untuk mengenal-Nya. Dengan pengenalan tersebut, maka kita akan memahami bahwa informasi tersebut diberikan-Nya kepada kita setiap saat. Informasi-informasi yang ditebarkan-Nya adalah untuk kita semakin mengenal-Nya, semakin yakin akan tak terbatasnya tebaran nikmat-Nya, semakin mengenal kebesaran-Nya.
Adalah lebih baik menunggu mendapatkan informasi dari Allah daripada berjuang membaca. Karena informasi yang berasal dari Allah adalah hak dan tidak akan membuat kita menjadi merasa menjadi “seseorang”.
Jadi adalah lebih baik untuk berjuang menjadi hamba yang disukai Sang Ilah melalui kepatuhan dan kesetiaan untuk menjadi pelaksana atas semua perintah-Nya (khalifah) dan menjadi saksi  atas DiriNya.


Banyuwangi, 24 Agustus 2014

Kamis, 14 Agustus 2014

Kepemimpinan

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
QS An Nisaa’ 4: 59.
Zaman sekarang, semakin banyak pemimpin yang memaksakan anak buahnya untuk menanggung kesalahannya. Memaksa anak buah untuk melanggar aturan demi kepentingannya. Bahkan perintahnya pun lisan sehingga sulit untuk ditelusuri dalam sidang-sidang peradilan. Sebagai anak buah, situasi ini akan sulit. Tidak patuh salah, patuh pun salah. Maju kena mundur kena. Barangkali ayat di atas merupakan solusi, yaitu diserahkan kepada Allah dan Rasulullah (s.a.w.).
Hadits berikut juga memperkuat usulan atas sikap tersebut. Al Mawardiy menyatakan[1] bahwa mentaati perintah Ulil Amri itu wajib bagi kita, berdasarkan sabda Nabi s.a.w. yang menyatakan, “Pada zaman sesudahku akan ada penguasa yang memerintah kamu, maka penguasa yang baik akan memerintah kamu dengan kebaikannya. Dan akan memerintah kamu penguasa yang jahat dengan kejahatannya. Maka dengarkanlah (perintah) mereka dan taatilah setiap perintah yang sesuai dengan kebenaran, maka jika mereka itu berbuat baik, maka kebaikan itu akan mengenai kamu dan mengenai mereka juga, dan jika mereka berbuat kejahatan, maka kejahatan itu akan menimpa kamu dan mereka yang akan menanggung kejahatannya.”
Namun bisa jadi sikap seperti ini hanya bisa dilaksanakan oleh orang-orang yang yaqin kepada Allah. Karena mereka yaqin bahwa Allah tidak akan menjerumuskan mereka. Karena sudah menjadi ketentuan (qadha) Allah bahwa Dia akan menurunkan nikmat.
Pentingnya kepatuhan kepada pemimpin sangat diperlukan, mengingat ketidak-patuhan akan membawa kepada berbagai konflik. Zaman sekarang dan nanti, dengan kemampuan akal-budinya, manusia akan semakin tidak patuh kepada pemimpinnnya. Mereka akan selalu berupaya mendongkel untuk menggantkannya. Oleh karena itu, hadits berikut mengingatkan agar patuh kepada pemimpin.
Suatu ketika Nabi s.a.w. mengutus Khalid bin Walid untuk memimpin sepasukan tentara untuk menaklukkan sebuah desa di pedalaman Arab dan diikuti oleh seorang sahabat, ‘Ammar bin Yasir. Pada suatu malam Khalid dengan rombongan itu berangkat dan sampai pada suatu tempat yang dekat sebuah desa yang penduduknya sedang berkumpul menghadiri sebuah pesta pernikahan. Mendengar kedatangan tentara Islam itu, orang-orang itu pun lari meninggalkan pesta itu. Ada seorang yang tidak ikut lari, karena dia sudah beragama Islam dan dia menemui ‘Ammar bin Yasir dan berkata, “Wahai Abu Yaqzan, saya ini termasuk golonganmu. Ada pun kaumku setelah mendengar kedatangan kamu sekalian terus lari. Sedang saya tetap di sini karena saya beragama Islam. Apakah keislamanku itu menjadi jaminan keselamatanku atau saya harus lari seperti kaumku itu?
‘Ammar bin Yasir berkata, “Tetap tinggallah di sini, karena keislamanmu menjadi jaminan.”
Kemudian orang itu pun kembali ke keluarganya dan mengajak mereka untuk tetap tinggal, tidak lari untuk mengungsi.
Maka ketika Khalid bin Walid selaku komandan memasuki tempat itu, tidak mendapati orang-orang kecuali orang yang sudah masuk Islam tersebut. ‘Ammar bin Yasir pun menemui Khalid bin Walid dan berkata, “Berilah kebebasan pada orang ini, dia seorang muslim. Saya telah memberikan jaminan keamanan baginya dan saya telah menyuruhnya untuk tetap tinggal di sini.”
Khalid bin Walid berkata, “Engkau telah memberikan jaminan keamanan atas nama saya, padahal sayalah pemimpinnya.”
‘Ammar bin Yasir menjawab, “Ya, saya memberi jaminan keamanan atas nama engkau dan engkau sebagai pemimpinnya.”
Perselisihan antara Khalid dan ‘Ammar kemudian dilaporkan kepada Nabi Muhammad s.a.w.. Rasulullah s.a.w. pun memberikan jaminan kemanan kepada orang itu dan membolehkan ‘Ammar bin Yasir memberikan jaminan keamanan terhadap orang tersebut dengan pesan agar lain kali tidak memberikan jaminan kepada seseorang tanpa adanya izin dari pemimpin (Amir), karena pemimpin diadakan untuk ditaati.[2]
Karena kejadian itulah Allah menurunkan ayat 59 surah An Nissa’ yang dikutip di depan.
Rasulullah s.a.w. bersabda, “Bahwa apabila ada tiga orang dalam perjalanan, hendaklah mereka menjadikan salah seorangnya sebagai pemimpin.” HR Abu Dawud.
Sabda Nabi s.a.w. yang lain mengatakan, “Tidak halal bagi tiga orang yang berada di suatu kawasan di bumi, kecuali mereka harus menjadikan salah seorang di antaranya sebagai pemimpin. HR Ahmad.
Nabi s.a.w. sudah memperingatkan tentang perlunya penguasa berdaulat. Beliau bersabda, “Sittuuna sanatan ma’a imaamin jaa’irin aslahu min lailatin bilaa sultaanin (Enam puluh tahun di bawah penguasa yang zalim itu masih lebih baik dari pada semalam tanpa penguasa).”
Saduran dari tulisan Samudi Abdullah dari Jawa Tengah dalam lembaran dakwah Uswatun Hasanah no 1346/Thn. XXVI/Jum’at II, 12 Syawwal 1435 H/08 Agustus 2014.



[1] Al-Ahkamus-Sultaniyyah, hal. 5
[2] An-Nisaburiy, Asbabun Nuzul, hal 106

Rabu, 25 Juni 2014

Tawakal (Kisah Adipati Surabaya Jaya Puspita)

Tawakkal berarti engkau mempunyai sikap bahwa selain ALLAH tidak ada yang bisa mendatangkan sebarang kerugian atau manfaat, memberi atau melarang, dan engkau bersikap tidak menaruh harap pada selain-Nya. Apabila seorang hamba bersikap dan mempunyai sifat seperti ini, maka dia tidak akan mengerjakan sesuatu melainkan karena ALLAH semata. Dia tidak berharap dan tidak takut melainkan kepada ALLAH. Dia tidak serakah memohon kecuali kepada ALLAH. Inilah yang disebut tawakkal.
Orang zaman sekarang kebanyakan sudah kehilangan sikap tawakkal kepada Allah. Mereka percaya kepada pendapat dokter, hasil laboratorium dan lain-lain, sampai-sampai takut makan ini, takut makan itu. Hidupnya banyak dihantui dengan pelbagai ketakutan. Demikian pula harapannya, diletakkan kepada pemimpin, kepada orang kaya, kepada orang pintar.
Untuk mengatasi masalah ini, sebaiknya dilatih dengan menanamkan percaya Allah ke dalam diri kita. Bahkan dalam QS Al Mujadilah 58 ayat 22 dinyatakan agar orang-orang menanamkan keimanan hingga ke dalam qalbu. Sebagai contoh, ada teman yang terkena asam urat. Saat teman yang lain membawakan oleh-oleh kacang mete yang konon menjadi penyebab sakit asam urat otomatis dia tidak mau memakannya, takut terkena asam urat. Lalu kamu menggodanya dengan kalimat, “Sampeyan ini beriman kepada asam urat atau Allah? Ndak ada lho dalil beriman kepada asam urat?”
Tertantang dengan teguran tersebut, teman tersebut kemudian menanamkan percaya Allah kepada dirinya dan mengambil kacang mete sampai habis satu kantung plastik. Kebetulan esoknya kami ketemuan lagi, dan saya perhatikan tidak ada tanda-tanda sakit asam urat. Lalu ketika kami tanya, “Apakah kemarin sakit asam urat sehabis menghabiskan satu kantung plastic kacang mete?” Ternyata dia tertawa dan mengatakan, ndak apa-apa. Lalu dia bersaksi bahwa betul, kita harus melatih menanamkan iman hingga ke dalam qalbu.
Tentunya sebelum kita berhak menggoda teman tersebut, kita sudah harus membuktikan terlebih dahulu bahwa percaya itu ya kepada Allah Yang Kuasa.
Dalam sejarah terdapat pula contoh sikap tawakkal, salah satunya adalah perjuangan Adipati Surabaya yang bernama Jaya Puspita ketika menghadapi Belanda dan Kartasura. Kisah ini dituliskan dalam Babad Tanah Jawi sebagai berikut:
Para bupati Pesisiran dan Madura juga memperkuat kubu-kubu masing-masing. Serdadu Kompeni sebanyak empat bregada. Bala Surabaya setelah mengetahui Kompeni memperkuat kubu-kubunya, ditanggapi dengan sikap berhati-hati dan siaga, serta menyiagakan meriam-meriamnya. Perang pun sudah dimulai dengan perang meriam yang ditembakkan kubu mereka masing-masing. Adipati Jaya Puspita naik ke panggung menabuh tengara perang Kyai Balen.
Tuan Amral (Brikman) melihat tingkah laku sang Adipati yang santai-santai saja dalam situasi tegang itu cuma geleng-geleng kepala. Lalu perintah menembakinya dengan meriam bertubi-tubi, tetapi tidak ada yang kena. Sang Adipati tetap masih enak-enak menabuh Balen. Balanya pun juga tak ada yang panik, malah bernyanyi, menembang, seakan-akan tak ada apa-apa. Ada yang bersenandung, memainkan seruling, clempungan dan alat gamelan lainnya. Sungguh membuat penasaran musuh yang telah mengepungnya. Setelah agak siang kelihatan banyak perempuan istri-istri mereka datang mengirim makan dan minuman kepada suami-suami mereka di benteng itu. Luar biasa, begitu batin para musuhnya.
Setelah dilihat oleh serdadu Kompeni, lalu ditembak dengan meriam, tetapi juga tak ada yang kena. Para perempuan juga tak ada yang merasa takut, enak-enak saja. Dengan santainya mereka berjalan sambil menggendong ceting berisi nasi, menjing bakul berisi lauk-pauk dan kelengkapannya. Waktu itu barisan Surabaya seolah-olah berlindung dalam kekuatan doa, berintangkan puji.
Memang demikianlah yang terjadi. Setiap orang laki-laki maupun perempuan di Surabaya semua diwajibkan salat dan mengaji oleh sang Adipati. Jika mau melaksanakan perintah itu, yang bersangkutan dibebaskan dari pajak dan upeti, malah ada yang mendapat ganjaran. Jika kebetulan seluruh desa melaksanakan, desa itu dibebaskan dari pajak. Maka semua orang segan tapi sayang dengan sang Adipati.
Adapun perang meriam itu sudah berlangsung tujuh hari tujuh malam. Orang-orang Surabaya selamat semua, tak ada yang kena peluru meriam. Apalagi rumah-rumah yang kejatuhan bom api, pecahan bom dan senjata pemusnah lainnya tidak tak ada yang rusak atau pun terbakar.
Dalam perang itu semua orang di Surabaya berniat rela mati untuk membalas kebaikan sang Adipati. Sebab begitu baiknya kepada kawulanya, tebal keyakinannya kepada kekuasaan Allah.
Panji Sureng Rana dan Panji Kertayuda terus berusaha minta bantuan kepada orang Bali. Mereka datang bertemu di Lamongan dengan seorang bernama Panji Baleleng yang membawa bala seribu orang. Begitu dihormati oleh Sureng Rana dan Kertayuda serta banyak ganjaran yang diberikannya. Kedua ksatria itu lalu memberi tahu kepada kakaknya sang Adipati, dimohon untuk berkenan menemui Panji Baleleng tadi. Sang Adipati tidak mau menemui, tetapi kedua adiknya diperintah untuk selalu menyenangkannya agar jangan sampai kecewa lalu pulang ke Bali lagi. Batin sang Adipati, jika umpamanya kelak kalah perang, orang Bali itu bisa diadu perang.
Pikiran sang Adipati yang demikian, seakan-akan menyangsikan kekuatan kekuasaan Allah, maka beliau kena hukuman dari Allah sebab masih percaya dengan kekuatan manusia. Akibatnya hilang kekuatan dalam peperangan. Tanda-tandanya muncul ketika sang Adipati belum tahu bahwa kedua adiknya minta bantuan kepada orang Bali, rumah-rumah di barisan Surabaya tidak ada yang terbakar oleh senjata musuh dan orang-orangnya tidak ada yang kena senjata lawan. Tetapi setelah sang Adipati mau menerima bantuan orang Bali itu, bala di Surabaya banyak yang terkena peluru lawan, rumah-rumah juga banyak yang terbakar terkena peluru-peluru bakar dari meriam orang Kompeni.
Tuan Amral, Tuan Kumendur dan Ki Patih mengadakan dialog. Tuan Kumendur berbicara dengan Ki Patih, “Raden Adipati, bagaimana perkara perang ini? Jika hanya mengandalkan meriam saja, saya kira sampai satu windu tidak akan selesai. Bubuk mesiu saya tidak urung akan habis. Menurut pendapat saya lebih baik perang dada. Bila kalah ya musnah, bila jaya ya mulia. Jadi segera ada penyelesaiannya. Lagi pula, saya rasa sudah tak ada kekurangan. Prajurit Jawa dan serdadu Kompeni sudah banyak sekali, senjata pun tak kekurangan. Apalagi yang ditunggu?”
Tuan Amral dan Ki Patih setuju atas pendapat itu, segera memerintahkan mengatur baris untuk siap berperang. Sayap kiri terdiri dari Pangeran Cakraningrat dengan bala dari Sumenep, Pamekasan, Gresik dan Sidayu. Para bupati Pesisir yang lain menjadi sayap kanan. Ki Patih bersama serdadu Kompeni jadi dada. Jumlah bala tak terbilang.
Adapun Ki Adipati Jaya Puspita juga sudah mengetahui bahwa musuhnya sudah akan siap berperang. Bala sang Adipati juga sudah diatur, lalu dipukullah tengara tanda maju perang.
Perang campuh sudah terjadi. Begitu seru dan seram peperangan itu berkecamuk, sebab sama-sama ingin menang perangnya. Suara senjata bagai turunnya hujan. Jenazah bergelimpangan dimana-mana di sembarang tempat. Serdadu Kompeni yang telah tumpas ada dua bregada. Kapten yang gugur bernama Kapten Krasbun. Letnannya yang tewas dua orang, yaitu Letnan Panderlin dan Letnan Pambandem. Bala Pesisir dan bala Madura yang mati tak terbilang. Bala Surabaya banyak yang mati daripada yang masih hidup. Bala yang tewas di peparangan bermacam-macam penyebabnya. Ada yang mati karena senjata, yang lain mati karena gamang menyaksikan banyaknya jenazah. Ada yang mabuk mencium bau darah, yang lain kelaparan dan kehausan dan penyebab lain di luar itu semua.
Untuk sementara perang berhenti karena datangnya malam. Pihak-pihak yang terlibat perang menahan diri mundur ke kubu mereka masing-masing. Lain hari sang Adipati Jaya Puspita beserta balanya meninggalkan kota bergeser ke sebelah timur sungai, bertahan di pintu gerbang. Kotanya diduduki oleh bala Ki Patih dan serdadu Kompeni. Lalu bantuan Kompeni dari Betawi datang di sana pula, sebanyak dua bregada. Dipimpin oleh Mayor Gustap, kapten Pardenes, Letnan Jakim dan Kapten Tonar.
Tuan Kumendur bicara dengan Ki Patih dan Tuan Amral mengajak melanjutkan perang lagi sebab Kumendur kurang sabaran dan pemberani. Tuan Amral dan Ki Patih menurut. Pagi harinya lalu memberangkatkan pasukan.
Tata barisan tidak diubah seperti kemarin. Keluar dari kota banyak pasukan bagaikan air keluar goa. Adipati Jaya Puspita sudah keluar dari Kori Seketeng siap menjemput lawan di sebelah barat sungai. Balanya dibagi tiga. Sebagian ditempatkan di sayap kiri dipimpin oleh Ki Jaka Tangkeban, sebagian lagi dibuat sayap kanan dipimpin Ngabehi Jangrana. Bala lainnya menjadi dada dipimpin sang Adipati sendiri satu dengan prajurit kaum. Sang Adipati itu punya prajurit Dulang Mangap dua ribu orang, mengawal di belakangnya.
Lalu bala Kartasura dari Kompeni datang, terjadilah perang ramai. Suara senjata seperti gunung roboh, suaranya sorak seperti suara lampar, suara setan brekasakan balanya Nyai Rara Kidul dalam cerita.
Bala Kartasura dan serdadu Kompeni banyakyang tewas, juga bala dari Surabaya. Ramai peperangan serta banyaknya yang gugur melebihi perang-perang sebelumnya. Matinya suara senjata, hingga terjadi perang jarak dekat yang semakin mengerikan. Tuan Kumendur serta para opsir gerakannya berputar-putar, yang diterjang tumpas.
Sang Adipati Jaya Puspita santai di tengah pertempuran, masih enak-enakan, duduk dan dipayungi, serta merokok berbaja pranakan berwarna putih, berikat kepala gurat ungu, berkain limaran. Beliau dilayani anak kecil yang membawa upet dan kinang.
Tuan Kumendur begitu melihat sang Adipati memerintahkan kepada serdadunya agar memberondong senjata dan menerjang dengan meriam. Tetapi tidak ada yang kena. Sang Adipati melambaikan tangannya sambil berkata, “Kumendur, majulah kemari! Jika bubuk mesiumu habis, mengusunglah lagi!”
Bala Surabaya di sayap kanan tumpas habis. Ki Jangrana apes perangnya. Di sayap kiri juga ramai perangnya. Pemimpinnya bernama Jaka Tangkeban. Balanya banyak yang tewas. Jaka Tangkeban setelah melihat Adipati Jaya Puspita dikerubut Kompeni, dihujani senjata segera meninggalkan perangnya dan sengaja mendatangi tempatnya sang Adipati sambil naik kuda. Tetapi perjalanannya disambut dengan peluru, panah dan paser. Kuda Jaka Tangkeban melompat mendekati sang Adipati sambil unjuk atur sambil menangis, memohon agar mundur.
Sang Adipati berkata, “Tole, berhenti dulu, jangan mengamuk.” Lalu sang Adipati diberitahu bahwa adiknya Ki Ngabehi Jangrana gugur, balanya tumpas habis. Sang Adipati setelah mendengar berita itu segera mengambil tombak hendak mengamuk  serta memerintahkan prajuritnya Dulang Mangap serta dua ribu prajurit Talang Pati, “Ayo bocah Dulang Mangap dan Talang Pati mengamuk bersamaku. Dekatlah kepadaku. Biar hilang takutmu tutup saja mata kalian. Inilah nilai atau harga masuk surga.” Bala yang diperintahkan maju, mereka bangkit dalam semangat.
Para menteri dan prajurit kaum unjuk atur kepada sang Adipati, “Jangan masuk ikut berperang. Paduka di belakang saja sebab bala masih banyak serta masih bersemangat perang.”
Sang Adipati menjawab, “Sehari ini saya tidak bisa kalian halang-halangi. Ayo bersama mengamuk.”
Para menteri dan para prajurit kaum lalu mendahului mengamuk menerjang serdadu Kompeni. Banyak yang mati. Mayor Gustap memberi aba-aba pada serdadu Kompeninya yang membawa meriam sebanyak delapan puluh. Lebih akurat menggempur musuh yang nekad. Akibatnya tumpaslah bala Surabaya itu kena granat dan senjata karabin. Orang-orang Surabaya semakin banyak yang gugur. Para garwa sang Adipati dan para sentana akhirnya tahu bahwa Ki Ngabehi Jangrana gugur. Mereka menyusul ke peperangan dengan tangis yang memilukan. Bersama membujuk kepada sang Adipati agar berkenan mundur, menata baris lagi, sebab balanya sudah banyak yang tewas. Agar bersatu dengan Panji Sureng Rana dan Panji Karta Yuda baru maju perang lagi.
Pada kisah tersebut aneh, masakan orang-orang tidak bisa di meriam. Ini semua menjadi tanda bukti bahwa siapa pun yang beriman kepada Allah Yang Kuasa akan dilindungi. Namun bilamana muncul keraguan, walau sedikit, maka perlindungan tersebut bisa dicabut.

Tuban, 25 Jun 2014

Minggu, 15 Juni 2014

Kisah Tentang Jiwa Dan Raga

Suatu saat seorang teman yang suka mencari nomor buntut, menyepi ke tempat angker. Pada malam harinya, muncul sesosok makhluk yang dikenal dengan sebutan jenglot. Lalu jenglot tersebut ditanya, kamu siapa? Jenglot menjawab bahwa dia dulunya adalah manusia, namun karena suka bertapa mencari kesaktian, akhirnya menjadi jenglot.

Dalam kisah lain, ada juga orang yang diselamatkan dari ancaman siluman harimau oleh seorang wanita yang tinggal sebagai pembantu di alam siluman tersebut. Ketika ditanya, dia siapa? Wanita itu menjawab bahwa dia adalah manusia yang dulunya mempelajari ilmu siluman harimau dan ketika dia mati, maka dia menjadi pembantu di masyarakat siluman harimau tersebut.

Kedua kisah ini, tidak bisa kita ukur kebenarannya. Namun paling tidak demi keselamatan sebaiknya kisah ini dijadikan pelajaran untuk tidak mencari ilmu-ilmu kesaktian dengan memanfaatkan makhluk-makhluk tidak kasat mata. Karena bisa-bisa apa yang disampaikan dalam kisah-kisah tersebut benar dan mereka yang memanfaatkannya akhirnya menjadi budak mereka sebelum meninggal atau setelah meninggal.

Wilayah raga, jiwa dan ruhani adalah wilayah yang sulit untuk difahami. Kita tahu bahwa ketika manusia mati, raganya dikubur atau dibakar atau bahkan hilang tak ketahuan rimbanya. Sedangkan Nabi s.a.w. ketika ditanya apakah ada arwah gentayangan? Beliau menjawab bahwa ruh kembali kepada PemilikNya, yaitu Allah. Dengan demikian bagaimana dengan jiwa manusia yang sudah meninggal? Kemana perginya?

Idealnya sang jiwa pergi bersama ruhaninya kembali kepada Allah. Namun kalau seandainya mereka tidak mengenal Allah, kemana mereka akan pergi. Barangkali bisa diduga bahwa setiap sesuatu akan berkumpul dengan yang dicintainya. Bilamana demikian, maka jiwa-jiwa itu akan berkumpul dengan yang dicintainya, seperti kisah siluman harimau di atas.

Lalu apakah siksa kubur itu ada?

Dari berbagai informasi yang tersedia, jelas ada. Sedangkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari r.a. #2:422-S.A.:

Diriwayatkan dari Anas r.a.: Nabi Muhammad s.a.w. pernah bersabda, “Ketika manusia berbaring di dalam kuburnya dan para sahabatnya pulang, ia mendengar langkah kaki mereka.
Dua malaikat datang kepadanya, menyuruhnya duduk dan bertanya kepadanya: “Apa yang pernah kaukatakan tentang Muhammad s.a.w.?”
Ia akan berkata: “Aku bersaksi bahwa ia adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.”
Kemudian akan dikatakan padanya, “Lihatlah tempatmu di neraka, Allah telah menukarnya dengan sebuah tempat di Surga karena itu.””
Kemudian Nabi Muhammad s.a.w. menambahkan, “Orang itu akan melihat kedua tempat itu.
Tetapi orang kafir atau munafik akan berkata kepada dua malaikat itu, “Aku tidak tahu, tetapi aku mengatakan apa yang dikatakan orang-orang!”
Akan dikatakan kepadanya, “Kau tidak tahu tetapi kau tidak mengambil petunjuk.” Kemudian ia akan dipukuli dengan palu besi di antara kedua telinganya, ia akan menjerit dan jeritannya terdengar oleh apa pun yang ada di dekatnya, kecuali manusia dan jin.”

Permasalahannya adalah bagaimana mekanisme siksa kubur tersebut? Mengingat antara raga dan jiwa sudah terpisah. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Daruqutni, Zawaid Zahid:

Seorang pendeta Zoroaster membawa tiga tengkorak bersamanya datang ke Khalifah Umar r.a. dan mengatakan bahwa menurut tuannya seseorang yang beragama selain Islam dan meninggal akan dimasukkan ke dalam neraka. Kemudian pendeta itu membacakan sebuah ayat yang berbunyi:
Orang-orang itu dibakar dengan api neraka siang-malam.

Umar r.a. mengatakan bahwa penjelasan Nabi kami adalah benar tanpa sedikit pun keraguan.

Mendengar hal itu, pendeta itu mengeluarkan ketiga tengkorak itu dan memberitahukan bahwa tengkorak pertama adalah tengkorak ayahnya, yang kedua adalah ibunya dan tengkorak yang ketiga adalah saudara perempuannya. Dia memberitahukan lebih lanjut bahwa pada saat kematian, mereka beragama Zoroaster. Ketika dia menyentuh tengkorak-tengkorak itu, dia rasakan semuanya dingin.

Mendengar hal itu Umar r.a. memanggil Ali k.w.. Ketika Ali datang, Umar r.a. meminta pendeta itu mengulangi sanggahannya.

Lalu dia mengulangi sanggahannya.

Waktu mendengar sanggahan itu, Ali k.w. meminta diambilkan sebatang besi dan batu. Ketika sudah dibawakan, dia meminta pendeta itu menyentuh benda-benda itu dan memberitahukan apakah benda itu dingin atau panas.

Pendeta itu menyentuh dan berkata bahwa benda-benda itu dingin.

Kemudian Ali k.w. memintanya memukulkan batang besi ke batu secara bersamaan.

Dengan melakukan hal itu, keluarlah percikan api.

Lalu Ali k.w. memanggil pendeta itu dan berkata, “Itulah Tuhan Yang Maha Agung, dengan kekuasaan-Nya telah menciptakan api dari besi dan batu yang dingin. Dalam cara yang sama, Dia dengan kekuasaan-Nya telah mengeluarkan api dari tengkorak-tengkorak itu yang tidak dapat dirasakan. Tengkorak-tengkorak itu tampak baginya dingin karena Allah telah membakarnya sedemikian rupa sehingga dia tidak dapat merasakan rasa panas yang dikeluarkan tengkorak itu meskipun mereka terus terbakar di dalam api neraka.”

Hal itu membuat pendeta tersebut tidak dapat bicara.

Dalam riwayat yang lain dikisahkan:

Ibnu Abbas mengatakan bahwa jiwa akan berselisih dengan raga dan jiwa akan berkata bahwa tanggung jawab semua perbuatan ada pada raga.

Lalu raga mengatakan bahwa ia mengikuti perintah-perintah jiwa dan bertindak hal yang sama sebagaimana yang digambarkan kepadanya.

Allah memerintahkan malaikat agar menyelesaikan perselisihan mereka.

Malaikat mengatakan bahwa kasus mereka sama dengan kasus seorang yang pincang dan seorang yang buta. Orang yang pincang memberitahu yang buta bahwa ia telah melihat buah tetapi berada di luar jangkauannya. Kemudian orang buta menyuruhnya naik di punggungnya. Orang yang pincang itu naik dan memetik buah itu. Setelah mengutip contoh ini, malaikat menyuruh kepada jiwa dan raga mengatakan yang mana dari keduanya yang melakukan pelanggaran?

Kedua jiwa dan raga mengatakan bahwa kedua orang itu sama-sama bertanggung jawab.

Anas merujuk ke sebuah hadits yang mengatakan bahwa pada hari kiamat, jiwa dan raga berselisih. Raga berkata, “Aku terbaring seperti pohon palem, jika jiwa tidak ada. aku tidak mungkin melakukan apa pun dengan cara menggerakkan tangan dan kakiku.”

Jiwa berkata, “Aku seringan udara, bila raga tidak ada, aku kehilangan daya untuk melakukan apa pun.”

Setelah itu, kasus jiwa dan raga akan dirujuk dengan kisah orang pincang dan orang buta seperti dikisahkan di depan. Kemudian mereka akan sama-sama dimintai pertanggungjawaban.

Marilah meneladani Nabi Muhammad s.a.w. melalui doa beliau, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari azab kubur, azab neraka, fitnah hidup, fitnah mati dan dari fitnah Dajjal (HR Bukhari #2:459-S.A.).”


Tuban, 15 Jun 2014

Senin, 26 Mei 2014

Bahaya Syahwat

Abu Sulaiman Ad-Darany ra berkata, “Allah telah mewahyukan kepada Nabi Daud as, “Sesungguhnya Aku menjadikan itu syahwat hanya untuk orang-orang yang lemah dari hamba-Ku. Karena itu awaslah jangan sampai hatimu tertawan oleh syahwat itu. Maka seringan-ringan siksa untuknya adalah Aku cabut manisnya rasa cinta kepada-Ku dari dalam hatimu.””

Dalam sebagian wahyu Allah kepada (Nabi) Daud as, “Hai Daud berpeganglah pada ajaran-Ku dan tahanlah nafsumu untuk kesenangan dirimu, jangan sampai engkau tertipu olehnya, niscaya engkau terhijab dari cinta-Ku. Putuskan syahwatmu karena Aku, sebab Aku hanya memberikan syahwat itu untuk hamba-Ku yang lemah. Untuk apakah orang-orang yang kuat akan memuaskan syahwat, padahal ia akan mengurangi kelezatan bermunajat kepada-Ku. Sebab Aku tidak merelakan dunia ini untuk kekasih-Ku. Bahkan Aku bersihkan ia darinya.

Hai Daud (as), jangan engkau mengadakan antara Aku dengan engkau, suatu alam yang dapat menghijab engkau karena mabuk pada alam itu dari cinta kepada-Ku. Mereka hanya perampok di tengah jalan terhadap hamba-Ku yang baru berjalan.

Hai Daud, cintailah Aku dengan memusuhi hawa nafsumu dan tahanlah dari syahwatnya, niscaya engkau melihat pada-Ku dan engkau akan dapat melihat yang terbuka antara Aku dengan engkau.”

Usahakanlah untuk meninggalkan syahwat dengan banyak puasa.

Tuban, 26 Mei 2014

Minggu, 13 April 2014

Nabi Khidir = Dewa Ruci 4/4

Habislah sudah wejangan Jeng Nabi Khidhir as, hati Syekh Malaya terbuka memahami namanya sendiri. Kemudian hatinya terasa terbang, tanpa sayap menjelajahi batinnya yang meliputi jagad raya. Jasadnya sudah terkuasai, menguasai hakekat semua ilmu. Umpama bunga yang lama kuncup, sekarang sudah mekar berkembang.
Tambahan lagi baunya, semerbak karena sudah mendapatkan sang pancaretna. Kemudian disuruh keluar dari raga Nabi Khidhir kembali ke alam semula. Lalu Nabi Khidhir berkata, “He Malaya, kau sudah diterima Hyang Sukma. Berhasil menebarkan aroma kasturi yang sebenarnya dan yang memanaskan hatimu pun lenyap.
Sudah menjelajahi seluruh permukaan bumi, kamu sudah mengetahui jawaban atas pertanyaan yang mengganggu hatimu, mantapkan pemahamanmu (penerimaanmu). Ibarat memakai pakaian sutera yang indah, selalu mawas diri. Semua tingkah laku yang halus diresapkan ke dalam jiwa, dirawat seperti emas. Dihias dengan keselamatan dan dipajang seperti permata (manik-manik). Tahu akan tingkah laku yang mengenakkan.
Perhaluslah budi pekertimu bagaikan wajah gadis cantik yang sedang mekar. Dinamakan kasturi jati, sebagai pertanda bahwa tidak mudah tertarik pada ilmu pangawikan (pengetahuan) hati yang tajam (karena tinggi ilmunya), memamerkan kepandaian, pengetahuan tentang jiwa (nyawa) yang salah, tambahan lagi cara berpakaian, pakaiannya dihiasi bunga yang indah, demikian juga tutup kepala (destar) dan kainnya.
Sebagai pengingat apa yang dahulu diperbuatnya, bagaikan mati di dalam garbaku, cahaya jelas terbayang pada dirinya. Yang merah dan kuning itu sebagai penghalang yang menghalangi laku. Warna putih yang di tengah yang akhirnya diakuinya. Kelimanya itu harus diwaspadai. Peganglah kuat-kuat jangan sampai lupa. Teguhkan watakmu.
Berkat kesediaanku berbuat sebagai penyekat, untuk alat pembebas sifat berbangga diri (sum’ah). Yang selalu disembah siang dan malam, bukankah banyak sekali yang kamu ketahui dariku. Tingkah laku para pemuka agama yang ternyata salah dalam penafsiran dan penyampaian keterangan. Anggapannya sudah benar tahunya, akhirnya malah mematikan pengertian yang benar, akibatnya terperosok (salah) dalam penerapannya.
Ada pemuka agama yang menjelma menjadi burung, hanya sibuk mencari tempat bertengger, yaitu pada batang kayu yang indah warnanya, ada yang kembali kepada pohon nagasari, ada tanjung, ada beringin, akhirnya di pinggir pasar, burung Engkuk bertengger (nongkrong), di atas orang sepasar, seolah mencari kemuliaan yang sepele, akhirnya tersesat-sesat.
Ada pula yang menitis menjadi raja, berharta banyak dan beristri banyak. Ada pula yang menitis pada anaknya, anak yang bakal menguasai kharisma masing-masing orang. Semuanya ingin mendapatkan serba lebih dalam penitisan mereka. Kalau demikian halnya, menurut pendapatku, belumlah mereka itu pantas disebut pemuka agama.
Tatanan (aturan) yang tercela (mengecewakan) yang tidak pasti, belum bisa disebut manusia utama. Yang demikian itu menurut anggapannya mendapatkan kebahagiaan, senang kekayaan dan merasa memiliki kelebihan. Bila kemudian tertimpa bencana, terlanjur terlunta-lunta dalam upaya penitisan belaka, jerih payah tanpa menghasilkan dan tanpa hasil, tak bisa sama sekali.
Kalau gagal memimpin dunia, apa kebiasaan (kesenangan) ketika hidup di dunia, ketika menghadapi maut, di situlah kebiasaannya (kesenangannya) tidak kuat menerima ajal. Merasa berat (bingung) dalam membedakan yang benar (nyata) dan yang palsu (yang menyamar). Itulah beratnya memperoleh kemuliaan. Tidak boleh menoleh pada anak-isteri saat menghadapi sakaratul maut.
Bila salah menjawab pertanyaan bumi, lebih baik jangan menjadi manusia. Binatang mudah penyelesaiannya, karena matinya tanpa pertanggung-jawaban. Bila kau sudah merasa bertindak dengan benar, akan hidup abadi tanpa hisab, ibarat bumi itu, keterdiamannya tidak membatu, kebeningannya tidak menjadi air, berita tanpa informasi.
Ingatlah pada agamawan yang menyepi, yang moksa (hilang) adalah kehendaknya. Tekun sekali tapanya, mengira moksa itu dapat dicapai (diangkah). Kalau tanpa petunjuk, kecuali hanya semedi semata, tidak dengan berguru, kosong melompong, karena hanya mengandalkan daya ciptanya saja. Belum-belum (tak mungkin) mendapatkan pelajaran tata cara hidup yang benar. Mantapnya itu hanya ‘ngaya-wara’, harapan yang sia-sia.
Bertapa sampai kurus kering. Sudah demikian kuatnya menggapai kesempurnaan mati. Hilangnya (kematiannya) tanpa kabar. Sudah bersungguh-sungguh tapanya. Adapun cara yang benar, tapa itu hanya sebagai pemantap (bumbu) pendapat. Sedangkan ilmu sebagai ikannya. Bertapa tanpa ilmu tidak jadi (berhasil), kalau ilmu tanpa tapa.
Tak ayal menjadi jeplang-jeplang, sungguh tidak selaras cara menerapkan ajarannya, keuntungannya selalu gagal. Mantap di hatinya (dadanya) karena banyak pendeta (agamawan) palsu. Ajarannya setengah-setengah kepada sahabatnya. Para sahabatnya menjadi pintar sendiri. Yang tersimpan di hati segera dilontarkan uneg-unegnya, disampaikan kepada gurunya.
Penyampaiannya hanya berdasarkan perkiraan belaka. Dahulunya belum mendapatkan pelajaran. Karena tidak enak rasanya, lalu disampaikan kepada gurunya. Lebih menyedihkan, gurunya ikut-ikutan membenarkan adanya, biar dianggap sebagai pendeta besar yang pasti pendapatnya benar. Nyata, hal itu adalah sabda anugerah yang Ilahi khusus diberikan kepada pribadi, akhirnya sahabatnya diaku anak.
Selalu disanjung-sanjung dan ditanyakan kepada sesuatu, kalau guru sudah akan memberikan wejangan (ajaran). Duduknya dekat gurunya. Akhirnya sobat menjadi guru, guru menjadi sobatnya. Tajamnya pikiran (pangrahita), semuanya dianggap merupakan wahyu Allah. Keduanya sama utamanya. Guru dan sobat keduanya sama-sama memahaminya setengah-setengah, seperti pendeta itu tadi.
Harus ditaati segala apa yang diucapkan. Kalau sedang berjalan juga harus disembah. Tempat tapanya di puncak-puncak gunung. Kalau berbicara suaranya memenuhi pertapaannya. Kalau ada orang mendekat, akhirnya lepas suaranya, seperti gong besar (beri), yang dibunyikan, bergema tanpa isi, rugilah yang berguru kepadanya.
Janganlah seperti itu, orang hidup. Anggaplah ragamu sebagai wayang, digerakkan di tempatnya. Terangnya blencong itu ibarat panggung kehidupanmu. Lampunya bernama bulan purnama. Layar ibarat alam jagad raya yang sepi kosong. Yang selalu menunggu buah pikir manusia. Batang pisang ibarat bumi tempat bermukimnya wayang (manusia). Hidupnya ditopang (oleh) Yang nanggap.
Yang menanggap ada dalam rumah, istana. Tidak diganggu siapa pun, boleh berbuat menurut kehendak-Nya. Hyang Permana dalangnya (sutradaranya), wayang pelakunya. Adakalanya digerakkan ke utara, ke selatan, ke barat dan ke timur. Seluruh gerakannya digerakkan oleh dalang. Bila semuanya digerakkan berjalan, semua di tangan dalang.
Dialognya menyampaikan pesan. Bila bercakap, lisannya itu menyampaikan nasihat semau-maunya. Yang menonton memperhatikan, pandangannya diarahkan melekat pada dalang. Adapun yang nanggap itu selamanya (kamu) tidak akan tahu. Karena ia tanpa bentuk dan ia berada dalam rumah. Ia tanpa warna itulah Hyang Sukma.
Cara Hyang Premana mendalang wayang, mempercakapkan dirimu tanpa membedakan sesama titah. Di samping itu, bukankah dia tidak terlihat sebagai pelaku? Misalnya dalam tubuhmu atau ibarat minyak dalam susu (santan) atau api dalam kayu. Berhasrat sekali karena belum diberi petunjuk sehingga menggelar doa di kayu, dakon dan gesekan dengan beralaskan sesama batang pohon.
Gesekan itu disebabkan angin. Hanguslah kayu, keluarlah kukusnya (asapnya) tak lama kemudian apinya. Api dan asapnya keluar dari kayu itu. bermula dari ingat pada saat awal mulanya. Semua yang tergelar ini berasal dari tiada. Manusia diciptakan lebih dari makhluk yang lain. Bukankah itu yang disebut rahsa?
Manusia itu paling mulia daripada ciptaan yang lain. Maka dari itu janganlah mudah terpengaruh oleh buah pikirmu yang bulat. Bulat atas segala gerak dan kehendak. Hanya saja manusia itu, penguasanya satu, yang menghidupi seluruh jagad seisinya. Demikianlah tekad sempurna itu.
“Hai Syekh Malaya sudahlah, segeralah kembali kamu ke pulau Jawa. Bukankah sebenarnya itu adalah dirimu juga.” Syekh Melaya bergegas bersembah dan berkata dengan beriba kasih (menyanjung). Hamba benar-benar akan taat. Nabi Khidhir lenyap. Syekh Melaya tampak ada di samudera tapi tidak tersentuh air.
Syekh Melaya sangat tajam pandangan hatinya atas peringatan (ajaran) guru yang sempurna. Ia masih sangat ingat, hasrat hati yang telah mengandung isi dunia dikuasai oleh batinnya, mantap dan teliti bahasanya, ilmunya tidak salah, diresapi emas yang benar-benar emas. Lulus dari sumber aroma Kasturi yang sebenarnya. Sehingga sifat panas hatinya lenyap.
Sesudah itu Syekh Melaya pulang. Hatinya tidak goyah lagi karena segala ajaran itu tampak jelas dalam bathin. Ia tidak salah lihat lagi siapa dirinya sebenarnya. Penjelmaan semua yang berwujud, tetapi secara lahiriah dirahasiakan. Norma tata cara (perilaku) jiwa satria berhasil dikuasainya dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Awalnya dunia besar sudah menggunakan mata bathinnya yang tajam tanpa membeda-bedakan, ibarat hewan dengan bebannya.
Sudah tak akan ada (terjadi), kematian dalam kehidupan. Setelah ia menerima ajaran gurunya, sama sekali tidak diragukan lagi seluruh ajaran gurunya. Sudah tamat dan dikuasai dengan tersimpan dalam hati. Serta diimankan dengan cermat. Mematuhi semua ajaran guru, perbuatan, pikiran dan rasa. Bukankah diuji dalam hati yang suci dan bening. Benar-benar sebagai anugerah Ilahi.
Sesungguhnya sang guru benar-benar. Yang sudah hilang raganya tidak ada. Selalu terbayang dalam hatinya dan sudah ditetapkan sebagai kekasihnya. Adapun segala ketercelaan hati sudah lenyap. Rasa tenang dunia dan akhirat. Karena kebersihan dan kesucian jiwa sudah ditemukan.
Memang sudah jelas terwujud dalam wangsit, tidak takut pada kematian, tidak eman kepada raganya, karena mati sempurna kembali kepada Hyang Widhi. Tidak ada perasaan merasa bisa, karena rasa yang demikian itu sudah sirna, suci, abadi, mulia seperti awal mula.
Tidak takut dengan kematian sejati, yang merasa bisa mati setiap saat. Yang rusak hanyalah nafsu, raga sukma selamat sejahtera, suka mulia merdeka, sudah mencapai yang dituju, sudah bersih, langgeng suci sudah tercapai, sudah mengenal ketunggalan.
Tidak khawatir ketika kematian tiba, yang sempurna adalah yang terpilih, tidak nampak wujudnya (tak berwujud). Kesempurnaan itu kan sudah betul-betul selamat sejahtera, hilang rasa akunya (nikmat senikmat-nikmatnya), ketujuh alam sirna, karena sudah bersih sirnanya alam itu, menyatu dengan asalnya.
Ratu alam sudah kelihatan jelas, itu namanya Abirawa, alam yang keenam. Itu maknanya sudah hilang arah utara, selatan, timur, barat, atas dan bawah. Serta kayu, batu, demikian pula dunia kecil kosong (awang uwung) terlihat dalam angin, air dan api.
Matahari, bulan alam ini, dua puluh tiga alam penasaran, karena semuanya itu baru, sama-sama qadimnya. Syekh Malaya tidak lupa kalau ini penasaran, karena seluruh alam sudah difahaminya, merajai alam semuanya, yang menghilangkan (yang ada) hanya alam yang tergelar ini, menebar bau yang harum.

Jakarta, 19 Jul 2019; 16 Dzulhijjah 1440

Persiapkan Dirimu Menghadapi Fitnah Akhir Zaman

Aku berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. Dengan Asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Dzat yang...