Bagaimana menyembah Allah sedangkan tidak mengenal-Nya. Ahli
ma’rifatullah berarti orang yang mengenal Allah. Orang yang mengenal berarti
sudah menyaksikan
keberadaan-Nya. Mereka mengerti akan nama-Nya,
perbuatan-Nya, sifat-Nya dan
wujud-Nya.
Orang yang sudah mengerti
berarti bisa menarik
kemanfaatan dari pengertian
tersebut. Al Fuad sejatinya bisa dimaknai
kemampuan sang jiwa dalam menarik manfaat dari
pengertiannya. Manfaat berasal dari perasaan hati
(a5’). Dengan adanya perasaan hati (a5’) inilah seseorang sibuk beraktifitas
untuk kepuasan dirinya. Bilamana tanpa pengertian, maka hawa nafsunya akan
menyeret kepada kesengsaraan. Namun dengan pengertian bahwa ini berasal dari
nikmat anugerah Yang Kuasa, maka diri seseorang mungkin bersedia bersyukur.
Kisah
berikut menggambarkan hamba
Allah yang telah diberi rahmat dan diberi ilmu (alim) pada hakikatnya adalah
yang menjadi penjelas manusia (Ulama) menuju kepada Yang Kuasa, Sang Perbendaharaan Tersembunyi (Kanzan Makhfiyyan). Dalam pandangan
masyarakat beliau disebut dengan panggilan Nabi Khidir (as)[1].
Kisah pertemuan Nabi Musa (as) dengan
Nabi Khidir (as) menggambarkan perjalanan “saya” manusia yang bersinggasana dalam
dadanya untuk hadir ke
hadirat Allah,
Sang Perbendaharaan Tersembunyi (Kanzan Makhfiyyan). Beliau, Nabi Musa (as)
telah mengerti Ar-Ruh yang ditiupkan Allah ke dalam diri
manusia yang diciptakan dari tanah. Ar-Ruh
yang ditiupkan berada dalam diri manusia akan bersifat lemah (dhaif), karena harus mengikuti kemauan
hawa nafsu manusia. Karena kelemahannya ini, maka dalam pandangan masyarakat
dikenal dengan istilah “Ar-Ruh Al-Idhafi”.
Secara rasional yang paling memahami
atau mengenal Allah adalah malaikat
dan Ruh yang ditiupkan tersebut. Dikatakan
dalam Al Qur’an, Allah menyebutnya dengan sebutan Ruh-Ku, yang bermakna
milik-Nya atau berasal dari Dia. Dengan demikian Ar-Ruh ini yang bisa mengantarkan makhluk-Nya kepada-Nya, sehingga Ar-Ruh inilah yang merupakan Mursyid sejati yang ada dalam diri
manusia. Dia mampu memahami perintah-perintah Ilahi dan mengenal Allah, Sang
Perbendaharaan Tersembunyi. Disebut dengan tambahan Al-Idhafi, karena sifat kelemahannya yang berserah mengikuti
kemauan hawa nafsu manusia.
Sedangkan keinginan manusia untuk
mengenal Allah (Ma’rifatullah)
sebenarnya adalah fitrah manusia sebagai makhluk, didasarkan atas hadits
berikut, “Kuntu Kanzan Makhfiyyan ahbabtu
an ‘urifa fa khalaqtu khalqa li ‘urifa.” Yang artinya: Aku adalah Perbendaharaan Tersembunyi, Aku
cinta dikenal, Aku menciptakan makhluk-Ku agar mengenal-Ku. Namun karena manusia yang diciptakan
dari tanah memiliki dorongan memuaskan diri (an nafs al ‘amarrah bis suu’), maka kebanyakan manusia terlena.
Perjalanan Nabi Musa (as) beserta pemuda
(Al Fata) hingga ke pertemuan dua
buah lautan, menggambarkan perjalanan diri seseorang hingga
sampai ke ujung perjalanan jasmani (barzakh)
menuju ke perjalanan alam gaib. Dua lautan itu adalah lautan makna yang berada
di sebelah kanan melambangkan arah tujuan yang benar, yaitu menuju kepada Kanzan Makhfiyyan dan lautan yang berada
di sebelah kiri sebagai perlambang arah tujuan yang kurang sempurna, yaitu
terjebak ke dalam keakuan diri karena memiliki kelebihan-kelebihan ruhani. Barzakh yang pasti akan ditempuh melalui jalan kematian, namun
bisa ditempuh dengan jalan memahami hakikat
diri, hakikat kehidupan, hakikat Allah dengan cara beramal shalih dan berserah
diri kepada-Nya.
Hakikat diri difahami dengan
memperhatikan jasmani. Dalam jasmani terdapat dua keberadaan. Yang pertama
adalah keberadaan jasmani, seperti tubuh dengan anggota-anggotanya dan yang
kedua adalah keberadaan jiwa dalam diri manusia. Keberadaan jasmani
mudah difahami, karena banyak yang sudah mengupasnya. Sedangkan keberadaan jiwa dalam diri manusia, bila memperhatikan
dengan kesungguhan serta memohon kefahaman Allah, maka akan dibukakan pemahaman
adanya kemampuan (al qudrat – a5) dan
kemauan (al-iradat – a6’) yang dimiliki manusia.
Setelah mendapatkan pemahaman atas diri
ini dan bilamana beruntung, maka Allah akan menjelaskan lagi bahwa di balik
qalbu, terdapat “yang menyaksikan”, yang tahu kalau hati ini sedang marah,
galau dan lain-lain. Bahkan “yang menyaksikan” ini juga memberikan
masukan-masukan yang
tepat guna.
Amatilah! Barangkali itu adalah
pengertian (a6’’).
Pemuda (Al-Fata) yang mendampingi Nabi
Musa (as) adalah perlambang dari pikiran
(a7). Pikiran inilah yang menjadi penerang “saya” yang berada dalam kegelapan, yaitu dengan memberikan solusi atau
“cara” melalui memori (a5’’), pengertian (a6’’) dan akal (a7’’). Dengan demikian dibalik keberadaaan
pemuda itu, tersembunyi hakikat dari Yang Maha Membuka (Al-Fattah) melalui
penerangan pikiran (a7). Sebab hijab ghaib yang menyelubungi
manusia dari kebenaran sejati tidak akan bisa dibuka tanpa izin dan kehendak
Yang Maha Membuka (Al-Fattah). Itulah sebabnya pada saat Nabi Musa (as) bertemu
dengan Khidir (as), pemuda itu tidak disebut-sebut lagi keberadaannya.
Adapun bekal makanan berupa ikan adalah
perlambang atas amal shalih yang dilakukan. Ikan itu kembali kepada lautan,
tempatnya berada, yakni kembali kepada yang diniatkan dengan amalan tersebut,
yaitu Allah. Namun bagi para pencari Kebenaran Sejati, jangan suka
menghitung-hitung pahala dari perbuatan baik, itu justru mempertebal gumpalan
kabut penutup hati yang membuat keakuan semakin menguat. Itulah sebabnya sang pemuda mengaku
dibuat lupa oleh setan untuk menceriterakan kembalinya ikan itu ke laut dengan
cara aneh, yaitu bermakna ketulusan dalam beramal semata-mata karena ingin
bertemu Allah.
Andaikata pada saat itu Nabi Musa (as)
memerintahkan si pemuda itu untuk mencari bekal makanan yang lain sebagai
pengganti bekal makanan yang jatuh ke laut atau bahkan menyuruh pemuda itu
mengambil kembali bekal makanannya di dalam lautan, niscaya Nabi Musa (as) dan
si pemuda itu akan tercebur masuk kembali ke dalam lautan jisim atau alam
dunia. Pada hakikatnya mereka akan kembali tersibukkan kepada amalan-amalan
dunia, hingga lupa untuk menemui Perbendaharaan Tersembunyi (Kanzan Makhfiyyan). Dan jika hal itu
terjadi maka setan telah berhasil memperdaya Nabi Musa (as).
Ternyata dengan rahmat Allah, Nabi Musa (as)
tidak memperdulikan mengenai bekal yang telah tercebur itu, beliau justru
mengatakan bahwa tempat dimana ikan itu terjatuh ke dalam laut adalah tempat
yang dicarinya. Ini bermakna bahwa Nabi Musa (as) fokus (khusyu’) kepada tujuan beliau, sehingga
tersingkaplah gumpalan kabut hijab dari kesadaran (saya <<< a6’’) dan saat itulah Cahaya Ilmu berkilauan. Nabi Musa (as) dapat melihat Khidir (as),
hamba yang dilimpahi kasih (rahmat) dan sayang (rahim) yang istimewa yang
memancar dari tajalli Ar Rahman dan Ar Rahiim beserta ilmu Ilahi (Ilmu
Ladunni) yang hakikatnya merupakan tajalli atau manifestasi dari Allah (Al Alim).
Bagi kita, maka kesadaran diri akan
mendapatkan pencerahan dari Cahaya Ilahi, sehingga mampu memahami dan mengakui
keberadaan dari “áku yang menyaksikan (aku <<< a6’’)”. Dengan Cahaya Ilahi inilah orang memulai perjalanan di alam gaib (Alam
Jabarut) mengikuti tuntunan dari “yang menyaksikan” dengan fokus tujuan kembali
kepada Kanzan Makhfiyyan (Allah).
Kisah perjalanan menemui Allah tertulis
dalam Al Qur’an mengisahkan perjalanan Nabi Musa (as) bertemu dengan Nabi
Khidir (as). Kisah ini bermula dari kecaman Allah terhadap pernyataan Nabi Musa
(as) karena mengaku sebagai orang paling berilmu.
Nabi Musa (as) memulai perjalanan ini dimulai dari
kecaman Allah kepada Nabi Musa (as) tatkala ditanya oleh umatnya,“Siapakah
orang yang paling alim (berilmu)?”
Nabi Musa (as) menjawab, “Aku orang yang paling alim
(berilmu).”
Jawaban Nabi Musa (as) ini dikecam Allah, karena beliau tidak
mengembalikan ilmu itu kepada Allah dengan menurunkan wahyu kepadanya, “Sesungguhnya ada seorang di antara
hamba-hamba-Ku yang berada di muara (pertemuan) dua laut, dia lebih alim
daripada kamu.”
Musa berkata, “Wahai Rabb-ku, bagaimana caranya agar aku
dapat bertemu dengannya?”
Dikatakan kepadanya, “Pergilah membawa
ikan laut di dalam wadah jerami! Ketika ikan itu menghilang darimu, di situlah
hamba-Ku berada.”
Berikut
kisah perjalanan Nabi Musa (as) seperti difirmankan dalam QS Al Kahfi 18 ayat
60-82:
Dan (ingatlah) ketika Musa berkata
kepada muridnya (lifatahu): “Aku
tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan;
atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun.”
Muridnya (lifatahu) bermakna kunci yang dipergunakan untuk membuka pintu
memulai perjalanan ke tujuan, yaitu Allah. Kunci tersebut dalam sholat
digambarkan dalam doa Iftitah, yaitu sikap untuk selalu menghadap ke Allah,
menjalankan segala sesuatu untuk Allah dan tidak menyekutukan-Nya. Ini adalah bentuk lain dari syahadat.
Seolah Nabi Musa (as)
berbicara dengan dirinya sendiri untuk menguatkan tekad perjuangannya bertemu
Allah.
Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan
dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil
jalannya ke laut itu.
Pertemuan dua buah laut menggambarkan
adanya dua alam, yaitu alam dunia dan alam Jabarut. Alam Jabarut menggambarkan
kehidupan “saya” seseorang
yang berada di alam gaib.
Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh,
berkatalah Musa kepada muridnya: “Bawalah kemari makanan kita; Sesungguhnya
kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.”
Muridnya menjawab: “Tahukah kamu tatkala
kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa ikan
itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan dan
ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali.”
Musa berkata: "Itulah yang kita
cari." Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.
Bekal yang diperlukan dalam perjalanan
ke Allah pada awalnya hanyalah ilmu dan amal shalih. Namun ketika sudah membuka
pintu gapura dan mulai melangkah ke jalan lurus, tidak memerlukan bekal ilmu
dan amal. Tetapi cukup dengan percaya
dan berserah diri kepada
Allah.
Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba
di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi
Kami dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.
Di alam gaib tersebut, Nabi Musa (as)
bertemu dengan hamba yang telah diajari ilmu dari sisi Allah. Inilah yang
dimaksud dengan min ruhi, yaitu yang mengenal Allah. Karena yang bisa menuntun
ke Allah adalah Allah sendiri dan hamba-hamba-Nya yang telah mengenal-Nya.
Musa berkata kepada dia: "Bolehkah
aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara
ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?"
Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu
sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku.
Dan bagaimana kamu dapat sabar atas
sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal
itu?"
Musa berkata: "Insya Allah kamu
akan mendapati aku sebagai orang yang sabar dan aku tidak akan menentangmu
dalam sesuatu urusanpun."
Dia berkata: "Jika kamu
mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai
aku sendiri menerangkannya kepadamu."
Dalam perjalanan ini, tidak
diperbolehkan bertanya, namun akan muncul sendiri kefahaman. Bukankah hanya
Allah yang bisa memberikan kefahaman? Pikiran (a7) bilamana dipergunakan
untuk melakukan pengamatan dalam proses perjalanan ini pasti akan mempersepsikan dan akan kebingungan. Itulah sebabnya orang Islam
disarankan memperbanyak iktikaf dan wukuf, yaitu berdiam diri menerima
penerangan Ilahi.
Maka berjalanlah keduanya, hingga
tatkala keduanya menaiki perahu lalu dia melobanginya. Musa berkata: “Mengapa
kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?
Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.”
Dia berkata: "Bukankah aku telah berkata,
sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku."
Musa berkata: "Janganlah kamu
menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu
kesulitan dalam urusanku."
Perahu adalah lambang sarana untuk
mencari bekal kehidupan yang berada di antara dua alam, yaitu lautan itu
sendiri dan udara. Perahu ini harus ditenggelamkan untuk memastikan bahwa jiwa
manusia yang masih terikat kepada alam dunia betul-betul habis. Ibaratnya
sedang menjalani laku mati di dalam hidup, yaitu tidak tergantung kepada
jasmani lagi, tetapi jiwa yang hidup. Ibarat mutiara yang indah adalah tujuan,
maka mutiara itu terletak di dasar lautan. Sehingga penenggelaman perahu
diperlukan.
Maka berjalanlah keduanya; hingga
tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka dia membunuhnya. Musa
berkata: "Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia
membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang
mungkar."
Dia berkata: "Bukankah sudah
kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar
bersamaku?"
Musa berkata: "Jika aku bertanya
kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan
aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku."
Anak kecil kecenderungannya adalah
mencari menang sendiri, semaunya sendiri. Ini melambangkan “saya” yang kerdil. Nabi Ibrahim (as)
diperintahkan menyembelih Nabi Ismail (as) dan ternyata mereka berdua bersedia
memfanakan “saya”nya. “Saya” ini
diserahkan kepada pemilik-Nya yang sejati. Ibarat orang jatuh cinta, dirinya
diserahkan kepada yang dicintainya,
yaitu Allah.
Maka keduanya berjalan; hingga tatkala
keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada
penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka,
kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh,
maka dia menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya
kamu mengambil upah untuk itu."
Dia berkata: "Inilah perpisahan
antara aku dengan kamu; nanti akan kuberitahukan kepadamu tujuan
perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.
Di bawah dinding itu atau dibalik
dinding itu lah tersembunyi Perbendaharaan yang dicari, yaitu Allah. Dinding
rumah menggambarkan bentuk rumah untuk menampakkan kualitas rumah tersebut.
Dengan demikian dinding yang rusak itu menggambarkan bahwa sudah jarang
didatangi, artinya banyak manusia yang lalai. Sebagai akibatnya dinding
tersebut rusak, sehingga Perbendaharaan tersebut mulai terbongkar. Artinya Yang
Tersembunyi mulai muncul untuk dikenal. Sedangkan menegakkan dinding artinya
menghampiri Allah. Dinding itu melambangkan Keagungan dan Kemuliaan Allah,
melambangkan Yang Tersembunyi dan Yang Ingin Dikenal.
Adapun bahtera itu adalah kepunyaan
orang-orang miskin yang bekerja di laut dan aku bertujuan merusakkan bahtera
itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.
Orang-orang yang sibuk mengejar rezeki disebut orang miskin. Dalam hal ini orang yang beramal
karena pahala dan berharap akan surga adalah orang miskin. Paling jauh mereka
menjadi penghuni surga dengan kemungkinan akan menghuni neraka terlebih dahulu.
Mereka ini selamanya akan tertawan oleh Sang Penguasa,
sehingga tidak bisa menemukan Perbendaharaan Tersembunyi. Inilah kaum kanan.
Dan adapun (orang tua) anak muda itu,
maka keduanya adalah orang-orang mukmin dan kami khawatir bahwa dia akan
mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran.
Dan kami menghendaki, supaya Sang Rabb mereka mengganti bagi mereka dengan
anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih
sayangnya (kepada ibu bapaknya).
Adapun dinding rumah adalah kepunyaan
dua orang anak yatim di kota itu dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi
mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Rabb-mu menghendaki agar supaya mereka
sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat
dari Rabb-mu; dan bukanlah aku
melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan
perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya."
Demikian pula dengan Nabi Muhammad (saw),
dalam perjalanan menuju kepada Kebenaran Sejati adalah dengan mengikuti tuntunan sang ruhani yang berasal dari diri Sang
Rasul yang merupakan pengejawantahan dari Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad).
Maka dipanggilnya dengan penuh kelembutan, “Yaa ayyatuha an-nafs al-muthmainah irji’i
ila Rabbiki radhiyyatan mardhiyyah fad khulliy fiy ‘ibadiy wad khulliy
jannaty.” Yang maknanya, “Wahai
diri yang tenang, kembalilah kepada Rabb-mu
dengan ridha dan diridhaiNya. Masukklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku dan
masuklah ke dalam Surga-Ku.”
Makna dari dinding yang dibangun Nabi
Khidir (as) adalah agar ketersembunyian Sang Kanzan Makhfiyyan tetap terjaga. Dinding ini ditegakkan agar Dia
tetap tersembunyi dan hanya bisa dikenal oleh mereka-mereka yang berjuang untuk
menemui-Nya. Mereka-mereka yang selalu berjuang untuk hadir ke hadirat Allah
adalah mereka-mereka yang selalu menegakkan dinding penutup Kanzan Makhfiyyan. Mengingat dinding
tersebut akan runtuh bilamana tidak ada manusia yang berjuang hadir ke
hadirat-Nya. Nabi Muhammad (saw) adalah salah
satu hamba terbaik yang mampu
menemui Dia Yang Tersembunyi.
Sang Perbendaharaan Tersembunyi inilah
yang sering disebut sebagai Kuasa
atau Maha Kuasa. Dengan adanya hadits ini, maka dinding
itu bisa difahami sebagai simbol dari dua sifat dari Perbendaharaan Tersembunyi
itu sendiri, yaitu Kanzan Makhfiyyan
dan Kanzan Ahbabtu. Dari sifat Yang
cinta dikenal inilah, tercipta karya-Nya, di antaranya adalah alam semesta ini
beserta isi dan peradabannya. Oleh karena itu, dengan mengembalikan sifat
keakuan “saya” yang ingin dikenal kepada PemilikNya,
maka yang muncul adalah saya yang tersembunyi. Saya yang mengetahui jalan kembali kepada Perbendaharaan Tersembunyi.
Jadi manusia memasuki pemahaman baru, yakni pemahaman
bahwa dirinya hidup dari Yang Meliputi-nya dan selalu bersama-Nya. Bukan lagi memandang Tuhan secara
transendental saja atau imanen saja, namun transendental dan imanen, lahir dan
bathin, jasmani dan ruhani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar