Rabu, 09 Desember 2020

Tanda Kedatangan Dajjal Adalah Kedustaan, Bahkan Alam pun Turut Andil

Semakin tua umur bumi, semakin banyak jumlah manusia dan semakin beragam cara-cara manusia menyimpan sejarahnya, namun kebanyakan malahan semakin lupa bahkan lalai akan peran kehidupannya. Hal ini karena semakin lupa dan lalainya para tetua dalam mengingatkan karena kesibukan kehidupan telah menghisap energi mereka. Meski agama semakin berkembang, namun esensi dari agama semakin menjauh dari tujuan, yaitu membangun individu yang berbudaya berketuhanan. Bukankah alam dunia diinisiasi dari api? Yaitu sesuatu yang sangat panas. Berarti manusia sedang digodog di alam dunia agar menyadari peran kehidupannya, yaitu menjadi saksi atas keberadaan Ilahi dan menjadi pembukti atas Kebesaran-Nya.

Kealpaan dan kelalaian ini dikarenakan faktor internal, yaitu kesibukannya dan faktor eksternal yaitu sang penyesat. Kita sudah mengetahui akan Iblis dan setan, namun ada sang penyesat lain yang sekarang menanti penugasan, yaitu Dajjal. Tokoh klenik A10 atau dongeng yang sekarang sudah menjadi tokoh karang A9 atau berupa pola pikir yang menutupi kebenaran, perlu dikuak sebagai pengingat untuk umat manusia akan bahayanya. Sebentar lagi real Dajjal akan hadir ke hadapan kita A8, sebagai sosok yang menutupi kebenaran.

Dajjal berarti menutupi. Dajjal berarti sesosok yang akan menutupi kebenaran, sehingga umat manusia tidak mampu menyaksikan kebenaran, kecuali yang beriman kepada Allah. Karena menutupi kebenaran, maka ciri utama dari Dajjal adalah kedustaan. Berbagai tanda kedustaan akan tampil di muka bumi sehubungan dengan kemunculannya, seperti:

  1. Hujan banyak mengguyur bumi, namun tanaman berkurang.

‘Auf ibn Malik Al-ASyja’I (ra) menuturkan, “Rasulullah (saw) bersabda, “Di hadapan Dajjal akan datang hitungan tahun yang menipu. Saat itu hujan banyak mengguyur, namun tumbuhan menjadi berkurang. Pada masa keluarnya Dajjal, orang yang jujur didustakan. Sebaliknya, pendusta dianggap benar. Orang berkhianat dipercayai, sedangkan orang yang memelihara amanat justru dianggap pengkhianat. Para Ruwaibidhah sering angkat bicara mengenai persoalan masyarakat umum.”

Rasulullah (saw) ditanya, “Wahai Rasulullah, siapakah Ruwaibidhah itu?”

Beliau menjawab, “Ia adalah orang yang tidak perlu diperhatikan.””[1]

  1. Ia menampakkan agama Allah dan mengamalkannya adalah dalam rangka menarik simpati massa.

Abdullah ibn Muth’im menyebutkan, “Sungguh Rasulullah (saw) pernah bersabda, “Sesungguhnya Dajjal tidak akan bersembunyi. Ia akan muncul dari arah timur, lalu mengajak orang kepada kebenaran. Ia pun diikuti dan memiliki kedudukan di tengah-tengah mereka. Kemudian ia memerangi mereka dan mereka pun memeranginya. Akhirnya ia menampakkan diri kepada mereka. Demikianlah yang senantiasa terjadi hingga ia mendatangi Kufah dan menampakkan agama Allah dan mengamalkannya. Ia mengikuti cara tersebut dan mendorong orang untuk turut mengikutinya. Setelah itu, barulah ia mengaku-ngaku bahwa dirinya Nabi. Setiap orang yang memiliki akal pikiran akan merasa khawatir/ketakutan dan memisahkan diri. Setelah itu, ia menetap beberapa saat, kemudian berkata, “Aku adalah Allah.” mata kanannya buta, kedua telinganya terpotong, diantara kedua matanya tertulis kata k-f-r. Tulisan tersebut tidak tersembunyi bagi setiap orang muslim. Akibatnya setiap orang yang di dalam hatinya terdapat keimanan walaupun sebesar biji sawi memisahkan dari Dajjal.””[2].

  1. Yang diperbuat Dajjal adalah dusta

Dajjal Al Masih digambarkan oleh Rasulullah saw sebagaimana ditulis dalam Ringkasan Hadits Muslim susunan Zaki Al-Din ‘Abd Al-Azhim Al-Mundziri no 79 bahwa mata sebelah kanan buta dan mata kirinya seperti sebutir biji buah anggur yang mengapung. Dajjal Al Masih berambut sangat keriting. Sedangkan dalam kitab Terjemah Hadits Shahih Muslim oleh Ma’mur Daud no 2478 bahwa Dajjal mempunyai dua sungai yang mengalir. Yang satu kelihatan oleh mata mengalirkan air putih bersih, sedang yang satu lagi kelihatan bagaikan api yang sedang bergejolak yang sedang mengalir. Siapa yang menemukannya, hendaklah didatanginya sungai yang kelihatan seperti api menyala. Picingkan mata, tundukkan kepala dan minumlah airnya, maka sesungguhnya itu adalah air sejuk. Dajjal antara kedua matanya terdapat tulisan ‘kafir’, yang dapat dibaca oleh setiap mukmin. Dalam hadits no 2480 dijelaskan Rasulullah saw bahwa kecepatan Dajjal seperti hujan ditiup angin. Dajjal juga digambarkan memiliki kemampuan menurunkan hujan, membuat suatu daerah menjadi makmur kalau mereka beriman kepadanya. Atau menjadi kering kerontang bilamana tidak beriman kepadanya.

Mirip dengan hadits di atas, dalam serat Dharmagandul dari situs “Alang-Alang Kumitir’, dikisahkan tentang Sunan Kalijaga dengan Raja Brawijaya dari Majapahit yang masuk Islam, namun kedua pengikut setianya yang bernama Sabdopalon dan Nayagenggong tidak bersedia. Berikut adalah terjemahan bebasnya dialog tersebut:

Berkata Sabdopalon kepada Sang Prabu, “... Paduka sudah terlanjur terperosok, bersedia menjadi Jawan, suka meniru/menyerupai, suka ikut menumpang, tanpa guna saya asuh, saya malu kepada bumi langit, malu mengasuh orang hina, saya akan mencari anak asuh yang bermata satu, tidak suka mengasuh paduka. Kalau saya bermaksud mengeluarkan keperwiraan, air saya kentuti sekali saja, sudah menjadi wangi. Kalau paduka tidak tahu, yang disebut dalam pemegang kekuatan Jawa, nama Manik Maya, adalah saya, yang membuat kawah air panas di atas gunung-gunung Mahameru itu semua saya, adik Bathara Guru hanya mengiyakan saja, pada waktu itu tanah Jawa daratan berguncang, karena besarnya api yang berada di bawah daratan, gunung-gunung semua saya kentuti, selanjutnya puncaknya terus tembus berlubang, apinya banyak yang keluar, maka tanah Jawa kemudian tidak gempa, maka gunung-gunung yang tinggi puncaknya, semua keluar apinya serta kemudian muncul kawahnya, berisi air panas dan air tawar, itu adalah saya yang berbuat, semua itu atas kehendaknya Latawalhujwa, yang membuat bumi dan langit. Apa kekurangan agama Buddha, orang bisa berbicara langsung dengan Yang Maha Kuasa. Paduka tahu, kalau sudah berganti agama Islam, meninggalkan agama Buddha, keturunan paduka tentu akan sial, Jawa tinggal Jawan, Jawanya hilang, suka menumpang bangsa lain. Nanti pasti diperintah oleh orang Jawa yang memahami.

...

Sabdopalon mengucap sedih: “Saya ini Ratu Dhang Hyang yang menjaga tanah Jawa. Siapa yang menduduki kekuasaan, menjadi asuhan saya. Mulai dari leluhur paduka dulu, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrêm dan Bambang Sakri, turun-temurun hingga sampai sekarang, saya mengasuh penguasa tanah Jawa, saya kalau tidur bisa 200 tahun, selama saya tidur pasti ada peperangan saudara melawan saudara, yang nakal semua akan makan manusia, sama makan bangsanya sendiri, hingga saat ini, umur saya sudah 2000 lewat 3 tahun, mengasuh penguasa Jawa, tidak ada yang berubah agamanya, teguh mengingat yang pertama membenarkan agama Buddha. Baru paduka yang berkehendak meninggalkan pegangan luhur Jawa. Jawa artinya memahami, sekedar menerima bernama Jawan, suka ikut menumpang, niatnya membuat gagal moksa paduka nanti.”

...

Sabdopalon menyampaikan bahwa akan memisahkan diri, ketika ditanya akan pergi kemana, jawabnya tidak pergi, namun tidak menetap di situ, hanya menetapi nama Semar, meliputi semua wujud, terang sekali tertutup cahaya. Sang Prabu diminta menyaksikan, kalau di kemudian hari ada orang Jawa bernama tua (dihormati), bersenjata pengertian, yaitu yang diasuh oleh Sabdopalon, orang Jawan akan diberi pelajaran memahami benar salah.

Berarti tidak beda dengan Sabdopalon yang merupakan utusan dari Lattawalhujwa (QS An Najm 53 ayat 19 – 20, “Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Al Lata dan Al Uzza dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian?”) yang mengaku membimbing orang-orang Jawa dalam hal kekuasaan duniawi. Yang mengajak agar orang Jawa bisa berbicara langsung dengan Tuhannya (Lattawalhujwa, yang dianggap sebagai Yang Maha Kuasa – Sang Hyang Wenang). Sabdopalon pun ternyata juga hanya mempersiapkan kehadiran sosok yang bermata satu, yaitu Dajjal.

Kedatangan kembali Sabdopalon akan ditandai dengan orang-orang Jawa beragama pakerti (laku). Bilamana dihubungkan dengan pesan Brawijaya kepada Sunan Kalijaga bahwa Sabdopalon akan kembali 500 tahun lagi, berarti diperkirakan tahun 2017 adalah turunnya  Sabdopalon mempersiapkan datangnya tuannya, Dajjal.

Sebagaimana telah ditegaskan, bahwa ciri utama kedatangan Dajjal adalah terjadinya kedustaan dimana-mana, dari kedustaan diri kita sendiri, keluarga, masyarakat, negara bahkan alam. Salah satu sarana pendukung kedustaan adalah fasilitas media sosial, dimana setiap orang bisa menyampaikan informasi yang kemudian bisa mengglobal. Contohnya adalah kenyataan hidup yang kita alami sendiri, berita-berita lokal maupun nasional bahkan internasional, seperti kasus Covid-19 yang sampai saat ini masih ditutupi pemerintah Cina, hingga Donald Trump yang berpesta sesaat sebelum pendukungnya merusak Gedung Putih. Antar Negara saling mendustai, penguasa akan mendustai masyarakatnya, hingga individu saling mendustai sesamanya.

Dalam situasi sekarang ini, katakan pada diri kita, “Cukuplah Allah bagiku; Tidak ada Tuhan selain Dia; Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘arsy yang agung (QS At Taubah 9 ayat 129).”

 

Jakarta, 09 Desember 2020



[1] Syaikh Musthafa Muhammad Abu Al Mu’athi, Dahsyatnya Ramalan Rasulullah – Kumpulan Hadits Lengkap Rasulullah (saw) tentang Masa Depan Umat dan Dunia, 2011, hal. 244-245

[2] Ibid hal 256-257

Senin, 16 November 2020

Padepokan Wijaya Candraloka

Apa yang saya cari dalam hidup ini? Apa peran saya dalam kehidupan ini? Apakah sekedar mengejar kesenangan ataukah ada hal lain? Saya hidup seperti sedang memecahkan teka-teki kehidupan, untuk apa?
Di usia 7 tahun saya menggantungkan diri kepada yang saya percayai, yaitu Allah Yang Kuasa. Orang tua saya menekankan untuk selalu percaya kepada Allah Yang Maha Kuasa. Guru-guru saya baik formal maupun non formal mengajarkan ilmu, baik itu ilmu agama maupun ilmu pengetahuan umum. Semuanya hanyalah membangun khazanah pengetahuan saya.
Setelah bertemu dengan beliau, mertua saya, yaitu bapak Mas Supranoto, saya tergugah untuk lebih menekuni kebenaran dengan cara yang bisa diakui secara universal. Kebenaran bukan sekedar mengikuti pendapat orang. Kebenaran perlu diukur, yaitu dengan kepercayaan, logika dan bukti nyata. Sebagai contoh, saya berjalan di pasir pantai dan melihat jejak kaki orang. Jejak kaki orang adalah bukti nyata. Logikanya tadi ada orang yang berjalan di pantai itu. Lalu saya percaya bahwa pasti ada orang yang berjalan di pantai itu. Perihal siapa dan kapan, saya tidak bisa memastikan.
Saya sudah mengenal beliau semenjak tahun 2002 dan selalu diajak berdiskusi hal ketuhanan. Awalnya saya menganggap pemikiran beliau adalah semacam ilmu filsafat dengan fokus tentang ketuhanan. Saya kagum dengan logika beliau, saya tahu, namun tidak faham. Baru di tahun 2016 saya serius belajar ketuhanan kepada beliau. Keseriusan dalam belajar karena dorongan dari pak Basori yang kebetulan karena sesuatu urusan berkesempatan bertemu dengan beliau dan tergoda oleh pemikiran yang beliau sampaikan. Pak Basori lalu mengajak saya dan para sahabat (Etty, Nanang, Dimas, Iwan, Triana, Koko, Ayu dan beberapa teman lainnya) untuk bersama-sama belajar ke bapak. Saat itulah pikiran saya mulai terbuka. Saya yang selama ini hidup dalam ilusi berketuhanan, mendadak dibawa kepada cakrawala sudut pandang yang baru, yaitu kepastian. Beliau menyebut tempat menyampaikan wejangan sebagai padepokan Wijaya Candraloka, di bumi Manggisan, Banyuwangi, Jawa Timur.
Tidak mudah memang untuk bisa memahami alur pemikiran beliau. Namun entah bagaimana seolah selalu ada energi baru setiap kali kumpul bersama teman-teman dan mengaji hal ilmu ketuhanan. Pola pengajaran yang cukup mencengangkan hingga beberapa dari teman tidak tahan dan berhenti belajar. Bahkan mereka yang berhenti lalu membuat promosi negatif, mulai dari kesesatan hingga tuduhan kemusyrikan. Sedangkan sisanya terus menekuni pengajaran.
Ketika sudah dianggap memahami, saya diminta menuangkan ke dalam tulisan. Jadi dengan karya tulis ini diharapkan orang-orang bisa memahami apakah hasil pengajaran yang telah beliau sampaikan dimengerti. Tentunya karya tulis berupa tulisan lepas dan juga buku diharapkan bisa bermanfaat buat umat manusia terutama untuk mengubah cara berfikir, sikap dan tingkah laku.
Dengan kesadaran baru itulah, saya mengucapkan puji syukur kepada Allah, Yang Maha Kuasa yang telah memberi kesempatan untuk mempelajari ilmu ketuhanan ini. Salam dan sholawat kepada Nabi Muhammad (saw) yang merupakan gudang ilmu dan tentunya tidak lupa ucapan terima kasih kepada bapak Mas Supranoto atas nasehat dan wejangannya, sehingga membuat saya lebih mudah mengerti dan mengamalkan ilmu yang saya terima.
Dengan demikian tulisan ini hanyalah ungkapan pemahaman saya dalam hal ketuhanan yang barangkali bisa dijadikan alternatif dalam memahami kehidupan. Sebagai alternatif, tentunya bisa dikembangkan oleh mereka yang sah dan mumpuni dalam bidang ini.


Jakarta, 28 Oktober 2018

Sabtu, 26 September 2020

Seeking Certainty

Human is always questioning from time to time regarding their existence. In fact the existence of all things is imprints. An imprint of the existence of Power is who creates all creatures. Power is absolute, so there must be single. Power is perfect and sure to cover all things.

What is this Power?

What is the relationship between Power and humans?

The search for the power and role of humans and human beings in life in the world is always interesting to peel. People seek to find the truth of the above and generally rely on the opinions of the elder or the intellectuals or books they believe in or with their feelings or perceptions of their thoughts. Every adult should have the courage to do his own search for the truth, because that search is his own way of life. Even a person's personality will be determined by the values ​​that are perceived as true and stored in his memory.

Whereas truth, should be certainty. And what is certain is the truth. As a result of perceived facts, the truth becomes biased. The group of people who make observations of reality are scientists. This habit should also be applied by all levels of society.

For example, we observe the process where people want to own a house. At first he didn't have that house. Then an idea emerged which eventually came down to his desire to own a house. The question arises about what kind of house and how to build it. The answer to this question eventually becomes the basic science of the house. Then the person thought of how to build a house, so that came the engineering science of building a house to finance science to finance house construction. Finally the person is sure that the house will be finished even the drawing has been made. Finally the house was completed, so that he could occupy it. At this point most people stop. And if it continues again, needs to be verified whether the house he lives in is in accordance with his previous idea?

Thus the steps to achieve certainty can be described in the scheme as below:


The habit of using facts and not perceptions must be promoted to the public so that they are always accustomed to speaking with facts, not perceptions. This is not easy, because it has become a habit. But that doesn't mean you can't, just need to be made aware of it again to the community.

Methodologies in dealing with power and human problems need to be defined such as by using scientific approach. Such method must be based on fact, realistic, honest and universal.

By using such method we will answer the above question.

What is Power? Power is the ability to do all things. So Power must be single, absolute and could not be mastered. But power must have something to be mastered that is himself or named as “I”. Power who mastered the I called the Power. As the Power, thy must do something to show thy power. That is why the Power creates the universe. But who will acknowledge His existence?

So He creates humans in the universe with the message to acknowledge His existence. Only humans who are able to acknowledge by their creation that develops their civilization. Other creatures could not. They are just living by using their instinct, so there is no creation.


Banyuwangi, 26th September 2020

Selasa, 15 September 2020

Jakarta Menandai Awal Tercapainya Cita-Cita Bangsa

Setiap perwujudan perlu dberi sebutan, yaitu nama. Nama selain menandai perwujudan, juga memuat informasi yang bisa ditelaah maknanya sehingga bermanfaat bagi umat. Informasi tersebut bisa berupa cita alam yang berarti ayat akan keberadaan Ilahi.

Peristiwa adalah tanda. Peristiwa terjadi karena adanya izin dari Allah Yang Maha Kuasa. Tentunya peristiwa adalah tanda yang bisa ditarik menjadi catatan bahkan bisa dipetik hikmahnya yang akan bermanfaat bagi mereka yang terkabari. Demikian pula sejarah bangsa ini.

Kalau merunut kepada catatan sejarah, yang mana jejak-jejak fisiknya masih ada, maka kita melihat masa lalu tergambarkan di hadapan kita, yaitu:

ü  Zaman kerajaan Majapahit yang beribukota di kecamatan Trowulan kabupaten Mojokerto

ü  Zaman kerajaan Demak yang beribukota di Demak

ü  Zaman kerajaan Pajang yang beribukota di Pajang

ü  Zaman kerajaan Mataram yang beribukota di Kuthagedhe, Karta & Plered

ü  Zaman kerajaan Pakubuwono yang beribukota di Kartasura & Surakarta, juga adanya kerajaan Hamengkubuwono yang beribukota di Ngayogjakarta

ü  Zaman NKRI yang beribukota di Jakarta

1.      Kerajaan Majapahit

Nama Majapahit konon berasal dari buah Maja yang rasanya pahit. Cara penamaan kerajaan dengan model seperti ini, bukanlah karakter orang Jawa. Orang Jawa terbiasa menggunakan sebutan untuk menarik tuah dan tulah dari suatu wujud. Misalnya konsep ketuhanan orang Jawa didasarkan atas Lingga-Yoni yang merupakan perlambang bapak-ibu. Karena dari sanalah setiap individu manusia berasal, sangkan paraning dumadi. Maja atau mojo lebih tepat dimaknai sebagai buah titisan dewa Syiwa. Buah ini awet tidak mudah busuk dan dipergunakan sebagai obat. Obat memang terasa pahit, namun memulihkan. Syiwa sebagai dewa Perusak, memiliki makna sakti dan tak terkalahkan. Bisa jadi pemilihan nama Majapahit karena ingin dimaknai sebagai kerajaan yang kuat, sakti dan tidak bisa dikalahkan.

2.     Kerajaan Demak

Nama Demak berasal dari Jawa Kuno yang berarti anugerah atau bahasa Arab yang berarti mata air. Demak menjadi kuat karena memiliki armada kapal yang kuat.

3.     Kerajaan Pajang

Kerajaan Pajang aslinya kerajaan lama yang merupakan bawahan Majapahit. Atau bahkan lebih lama lagi.

4.     Kerajaan Mataram

Nama Mataram berasal dari kata bahasa Sansekerta mata yang berarti ibu dan aram yang berarti hiburan.

5.     Kerajaan Pakubuwono & Hamengkubuwono

Ibukota kerajaan Pakubuwono adalah Kartasura dan Surakarta, dimana su bermakna baik atau mulia dan ra berarti yang tertinggi. Karta berasal dari kata krta yang artinya pekerjaan sudah selesai, namun mengalami perubahan arti menjadi makmur, maju, ulung, sempurna. Ngayogjakarta berasal dari kata Ayodya dan Karta. Ayodya artinya tak terkalahkan.

6.     NKRI

Ibukota NKRI adalah Jakarta yang berasal dari kata Jayakarta yang maknanya kemenangan sudah tercapai dan menjadi simbol kemakmuran.

Apa hikmah dari peristiwa sejarah ini bagi bangsa Indonesia?

Akankah bangsa ini mencapai puncak kejayaannya sesuai cita-citanya ataukah gagal terwujud karena lemahnya bangsa ini?

Bagaimana bilamana ibukota dipindahkan, akankah mempercepat terwujudnya cita-cita bangsa ini?

Bagi yang percaya bahwa keberadaan NKRI adalah rahmat Ilahi dan cita-cita luhur bangsa Indonesia, maka sebagai bangsa Indonesia kita adalah pelaksananya. Sebagai pelaksana, tentunya kita memerlukan kecerdasan, kekuatan terutama finansial, ketabahan dalam perjuangan dan kemuliaan sebagai ukuran.

 

Banyuwangi, 12 September 2020; 24 Muharram 1442 

Kamis, 20 Agustus 2020

Mencari hakekat alam-alam dengan kepastian

Adanya bumi, matahari, bulan, bintang, tumbuhan, hewan dan manusia menandai adanya kenyataan yang diketahui oleh manusia. Manusia mengetahui sesuatu melalui indrawi dan diafirmasi oleh memori. Bilamana memori tidak mengingatkan, maka manusia tidak bisa menyebut kenyataan tersebut atau tidak mengetahui. Demikian pula sebaliknya, kalau di memori ada, namun kenyataannya tidak ada. Dia pun bisa menyebut tetapi tidak mampu membuktikan. Oleh sebab itu kenyataan yang dapat kita indrai itu disebut dengan ilmu atau pengetahuan. Sedangkan kenyataan itu sendiri disebut dengan alam ciptaan (A1-A2-A3-A4-A5-A6-A7).

Dengan adanya kemampuan pikiran seperti mengingat (a5’’), mengerti (a6’’) dan akal (a7’’) untuk mencari cara, maka manusia mampu memasuki wilayah baru, yaitu alam imajinasi (A8-A9-A10). Melalui penyaksian adanya kejadian dan/atau peristiwa, maka manusia memperoleh pengetahuan. Kalau makhluk hidup lainnya bereaksi secara instingtif, manusia juga bisa namun manusia memiliki kelebihan menarik manfaat lebih dan mewujudkannya di alam ciptaan yang disebut dengan teknologi. Kemampuan menarik manfaat dari pengetahuan inilah yang disebut dengan pengertian. Pengertian masih menggantung di alam pikiran, lalu akal memberikan cara untuk mewujudkannya. Melalui pengertian dan akal ini, manusia menciptakan kenyataan atau peristiwa baru atau biasa disebut dengan istilah penemuan. Sehingga berkembanglah peradaban. Contoh sederhana adalah masalah penerangan. Zaman dahulu penerangan dihasilkan dengan memanfaatkan hasil alam seperti dengan membakar kayu kering, lalu berkembang menjadi obor lemak/minyak. Dengan teknologi muncul lampu listrik. Tanpa adanya pengertian akan listrik beserta rumus-rumusnya, maka tidak ada lampu listrik. Setelah pikiran mengerti, maka akal menunjukkan cara bagaimana mewujudkannya.

Dengan memahami kenyataan di atas, berarti ada alam di balik alam ciptaan Ilahi, yaitu alam pikiran atau alam imajinasi atau alam kesaksian. Dimana di alam tersebut kita temui adanya pengetahuan yang pasti (A8), pengetahuan yang belum pasti, masih diduga (A9) dan pengetahuan yang tidak bisa dipastikan (A10). Ketiganya adalah kepastian, sehingga tidak perlu dipertentangkan. Ketiganya bisa digunakan dan dimanfaatkan.

Kenyataannya, kebanyakan manusia terhenti di kedua alam tersebut. Semata-mata untuk mencari kesenangan diri. Sebagian ada yang menyadari bahwa kesenangan tersebut berasal dari Yang Kuasa, sehingga muncullah budaya kepercayaan kepada Yang Kuasa, Yang Gaib. Keberadaan Yang Gaib ini tidak bisa diketahui, karena memori tidak bisa menggambarkan. Pengertian pun tidak bisa menjelaskan, karena pengertian adalah pelaksana kuasa. Akal pun buntu, hanya bisa memberikan cara untuk mempercayai saja. Inilah yang disebut dengan alam Uluhiyyah atau alam ketuhanan.

Dari adanya kenyataan alam bahwa alam pun berproses, maka dari kacamata manusia diawali dari ide. Ide lalu disabdakan kepada diri untuk diwujudkan. Diri lalu terdorong untuk mewujudkan melalui daya cipta. Daya cipta ini akan menarik daya negatif menuju kepada kesimbangan atau netral dan kejadian atau peristiwa akan terwujud. Ini seperti atom, ada cita atom, ada netron yang merupakan sabda, ada proton yang merupakan daya cipta dan elektron daya negatif. Ini disebut alam perintah.

Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa alam adalah tempat pengetahuan. Dari penjelasan di atas kita mengenal empat alam, yaitu alam yang tidak kita ketahui, yaitu alam Ketuhanan. Di bawah-Nya terdapat alam perintah atau alam perintah yang didekati dengan teori. Lalu alam nyata atau alam semesta atau alam dunia. Atau bisa disebut juga dengan alam ciptaan. Selanjutnya terdapat alam kesaksian atau alam imajinasi atau alam pembuktian.

Dimanakah anda harus menempatkan diri?

 

Jakarta, 20 Agustus 2020; 1 Muharram 1442


Senin, 17 Agustus 2020

Allah Mengajarkan Nama-Nama

Dalam perjalanan untuk menengok cucu di Sidoarjo, tanpa sengaja sang sopir taksi membelokkan rute ke arah Trans-Mart. Dan entah bagaimana sang sopir terlihat ragu dan berhenti di suatu taman. Pada saat itu saya mengamati ada suatu kekuatan di daerah itu. Saya pun penasaran, kekuatan apakah itu?

Penasaran saya cari di Google Maps tentang lokasi tersebut. Dari Google Maps saya menangkap adanya museum Mpu Tantular. Menurut informasi yang diperoleh dari Wikipedia, Mpu Tantular adalah seorang Pujangga yang hidup pada zaman Majapahit dipimpin oleh Hayam Wuruk. Mpu Tantular mengarang kakawin Sutasoma. Dalam Kakawin tersebut terdapat motto yang menjadi semboyan NKRI, yaitu “Bhinneka Tunggal Ika”, yang artinya berbeda-beda namun satu jua.

Tantular berasal dari kata tan yang artinya tidak dan tular yang artinya pengaruh. Jadi Tantular artinya tidak terpengaruh atau teguh.

Saya pun merenungkan bahwa manusia zaman sekarang sudah kehilangan keteguhannya. Padahal salah satu sikap yang akan membawa kepada keberhasilan adalah sikap teguh. Kebetulan saya sedang berpuasa yang juga bermaksud melatih keteguhan.

Kenapa keteguhan sedemikian penting dalam hidup ini? Karena manusia-manusia yang tidak teguh akan mudah terombang-ambing dalam mewujudkan cita-citanya. Cita-cita yang sebenarnya harus disikapi sebagai nasehat Ilahi berupa sabda. Cita-cita yang ditangkap melalui pengertian (a6”) dan kemudian diturunkan ke dalam hati (a6) menjadi kemauan (a6’). Dalam kondisi terombang-ambing, tentunya sulit untuk fokus kepada tujuan. Otomatis cita-cita tersebut tidak terwujud.

Sebagai pengingat, selain keteguhan, manusia bisa sukses bilamana cerdas (sholat) dan kuat (zakat). Namun sebagai manusia yang mengakui Yang Kuasa, wajib percaya (iman) kepada-Nya bahwa cita-cita itu adalah nasehat-Nya demi kesempurnaan manusia itu sendiri.

Hampir seminggu kemudian, saya datang lagi ke Sidoarjo dan bersama anak naik motor ke Waru. Saat lewat tempat tersebut, ternyata ada monument yang diberi sebutan Jayandaru. Jaya berarti sukses dan ndaru berarti keberuntungan.

Tahukah anda bahwa nama-nama yang digunakan untuk menyebut sesuatu adalah berasal dari Yang Kuasa memberi nama? Tak ada kejadian ataupun peristiwa yang luput dari izin Yang Kuasa. Demikian pula adanya monumen Jayandaru, yang memberi nama adalah pejabat yang diberi kuasa. Berarti dia adalah utusan dari Yang Kuasa untuk mengingatkan dan memberitahu siapa saja bahwa semua orang sukses melalui keberuntungan. QS Al ‘Ashr 103 ayat 1-3: Demi waktu, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan saling menasehati supaya mentaati kebenaran dan saling menasehati supaya menetapi kesabaran.

Demikian pula dalam perjuangan hidup, suatu ketika kita akan berada di medan peperangan, yaitu peperangan untuk mewujudkan perintah Ilahi yang diturunkan melalui ide untuk mengajak orang-orang kembali kepada jalan Allah. Marilah berjuang untuk memegang teguh cita-cita tersebut dengan semangat Tantular agar tidak mudah berubah pikiran dan mengharapkan kesuksesan melalui keberuntungan Jayandaru. Janganlah mundur atau bergeser! Karena apapun hasilnya, kita pasti menang.

Sidoarjo, 11 Agustus 2019; 10 Dzulhijjah 1440

Sabtu, 08 Agustus 2020

Jalan Kematian

Setiap orang memiliki jiwa, raga dan hidup. Proses kelahiran dimulai dari jiwa yang belum berupa apa-apa, lalu berwadah sperma yang terpilih. Sang sperma kemudian membuahi pasangannya, yaitu sel telur menjadi janin. Janin tumbuh menjadi bayi. Bayi kemudian diberi hidup yang ditandai dengan nafas. Tanpa nafas kehidupan, seseorang tidak bisa apa-apa. Dengan hidup dia bergerak.

Dia kemudian keluar menghirup dunia. Mulai dari mendengar, lalu melihat. Raganya tumbuh dan berkembang dan menjadi semakin kuat. Otak reptilia yang mengontrol kemampuan sensorik dan motorik semakin cerdas. Demikian pula otak mamalia yang mengontrol perasaan dan kemauan.

Pikirannya pun berkembang, dimulai dari kemampuan mengingat, lalu mengerti dan dilanjutkan mencari cara dengan akalnya. Ingatan yang merupakan kumpulan data yang diawali dari data yang dia tangkap dengan sensoriknya, lalu menyimpan data hasil pengertian yang telah dia kumpulkan, hingga menyimpan berbagai cara yang telah dia hasilkan. Dia pun siap menjalani hidup.

Itulah proses kehidupan.

Bagaimana dengan jalan kematian?

Kematian adalah hilangnya kehidupan[1]. Berarti keluarnya hidup dari raganya. Atau dengan kalimat yang lain raga ditinggalkan oleh hidup dan jiwa. Raga lalu diletakkan di dalam tanah, ada yang dibiarkan, ada yang dibakar hingga tersisa abunya. Raga kembali kepada anasir alam.

Alam yang berasal dari api dan dengannya dunia menjadi terang. Dengan kembalinya raga kepada alam, maka tanpa api, jiwa pun hidup dalam dunia gelap dan dingin. Proses terpisahnya raga dengan jiwa dan hidup adalah kepastian, oleh karena itu setiap orang harus menyiapkan diri untuk menjalani proses keterpisahan ini. Kalau tidak, maka bersiaplah untuk menjalani kesakitan akibat kehilangan. Barangkali inilah yang disebut dengan sakaratul maut.

Maka mulailah sang diri bersama hidup menjalani kehidupan di alam dingin nan gelap. Kalaulah sang diri terlalu cinta kepada raganya, maka rasailah saat raga dipreteli satu demi satu hingga hancur menjadi alam. Dan saat itu sang diri akan sibuk menikmati sakitnya kehilangan. Tak akan sempat dia memperhatikan yang lainnya akibat terlalu sakitnya dirinya. Barangkali inilah siksa kubur. Maka beruntunglah mereka yang mengerti dan sadar saat hidup di dunia, apalagi kalau mau mengikuti arahan akalnya. Niscaya mereka mempersiapkan dirinya. 

Berhubung sebenarnya sang diri masih hidup, maka sang diri yang sudah berpindah ke alam kematian masih bisa berkomunikasi dengan yang hidup di alam dunia. Tentunya harus dengan izin dari Allah (Yang Maha Kuasa).

Masih mungkinkah di alam kematian, sang diri menjadi sadar?

Mungkin saja, karena sang diri masih ditemani oleh sang hidup. Dimana dalam hidup dia masih mungkin untuk mengerti. Kecuali mereka yang disibukkan dengan penderitaan. Apa yang mendorong mereka menjadi sadar? Tentunya melalui doa untuk mendapatkan ampunan dan rahmat Ilahi dari orang-orang yang masih hidup yang masih mengingat almarhum. Selain doa, maka ingatan, pengertian dan akal yang dibawa sang hidup akan membantunya. Ingatan akan amal kebaikannya berpotensi membawa dia kepada pengertian dan kesadaran yang semakin tinggi. Maka akalnya akan semakin fokus kepada tujuannya, yaitu selalu hadir menghadap Allah.

Oleh karena itu persiapkan sang diri dari sekarang untuk menempuh jalan kematian. Ibarat sang diri berada di bawah sebilah pedang tajam yang tergantung pada seutas benang yang tipis. Hingga setiap saat bisa terjadi.

 

Jakarta, 08 Agustus 2020; 18 Dzulhijjah 1441



[1] Ada beberapa istilah yang berhubungan dengan kematian, yaitu wafat, ajal dan raji’un. Wafat adalah terhentinya catatan amal. Ajal adalah waktu untuk sesuatu. Raji’un artinya kembali. Dengan demikian bisa dimengerti kenapa orang yang berperang di jalan Allah, ketika terbunuh tidak disebut mati. Karena dirinya tidak terikat kepada raganya dengan fakta mereka tidak takut mati dalam perang.


Jumat, 07 Agustus 2020

Hati Nurani Melawan Dajjal Filosofis

Siang itu bapak mertua memanggil karena ada keperluan yang sangat penting. Kepentingan ini ada hubungannya dengan tingkah laku umat yang sudah tidak layak. Dengan dalih agama dan mengatasnamakan Allah ada kelompok umat yang merasa benar sendiri dan berpotensi mengadu domba warga negera.

Pada saat tiba di tempat mertua, sudah ada pak Joni yang datang duluan. Kemudian tiba pula mas Dimas dan pak Basori. Setelah lengkap berempat, pak Basori dan mas Dimas diminta duduk di depan bapak. Kemudian bapak bertanya kepada mereka berdua perihal Kitab Suci dan Hati Nurani.

Saya yang saat itu duduk di sebelah kanan bapak, merasakan suasana yang tidak biasa. Sepertinya akan datang utusan Ilahi.

Setelah mendengar jawaban pak Basori dan mas Dimas, saya diminta duduk di depan bapak, diantara pak Basori dan mas Dimas. Pak Joni tetap di sebelah kiri bapak untuk menjadi saksi.

Bapak kemudian menyampaikan bahwa sedang menuju ke tempat kami bantuan yang datang dari Arab. Sosoknya memakai jubah putih dan bersorban. Namun saat bapak menyampaikan berita tersebut, utusan berjubah putih tersebut menuju ke laut selatan terlebih dahulu untuk menancapkan tongkatnya.

Suasana tidak biasa tersebut semakin kuat karena sang utusan telah tiba. Bapak kemudian menjelaskan maksud sang utusan, yang ternyata adalah malaikat, yaitu perihal Kitab Suci. Kitab Suci adalah bacaan yang bergantung tanpa gantungan, tidak bisa dikotori apalagi dirusak. Kitab Suci tersebut adalah hati nurani manusia. Hati nurani adalah Kitab Suci yang diturunkan oleh Allah Yang Maha Kuasa untuk menjadi pedoman hidup manusia.

Sepulang dari Banyuwangi dan saat duduk menunggu sholat Jumát, saya kepikiran bagaimana menyadarkan kembali rakyat Indonesia yang telah terpengaruh oleh pencatut agama bahkan berani mengatas-namakan Allah. Yang bersangkutan bahkan didukung oleh para ulama dan tokoh nasional. Pada saat itulah saya mendapat jawaban bahwa hanya dengan menyalakan hati nurani lah, maka rakyat Indonesia akan tersadar dan kembali kepada jalan kebenaran. Dengan upaya sebisa mungkin, saya menyalakan hati nurani saya dengan harapan bahwa Allah juga menyalakan hati nurani rakyat Indonesia.

Alhamdulillah, semenjak itu terjadilah perubahan suasana. Berangsur-angsur kesadaran rakyat Indonesia meningkat.

Beberapa minggu kemudian ketika pulang ke Banyuwangi, saat kami dan para sahabat berkumpul bersama bapak di tengah malam, tiba-tiba bapak memerintahkan Koko untuk mencari 3 buah durian yang bagus dan tidak boleh lewat dari jam 3 pagi. Alhamdulillah, dia berhasil membawa 3 buah durian walau ada satu yang kurang sempurna. Setelah bapak berdoa dan ditegaskan bapak agar Dajjal Filosofis yang menggelapkan hati nurani bangsa ini harus berhenti. Alhamdulillah yang bersangkutan pergi dan tidak kembali.

Apakah sebenarnya hati nurani? Hati nurani adalah hati yang bercahaya. Hati menggambarkan keadaan kejiwaan seseorang. Sedangkan nurani adalah cahaya yang menerangi. Dari manakah cahaya yang menerangi tersebut berasal? Cahaya tersebut berasal dari pikiran kita yang juga disebut sebagai Baitul Makmur atau tempat kesibukan Ilahi. Pada Baitul Makmur tersebut terdapat memori yang berisikan segala informasi tentang alam semesta ini, pengertian yaitu yang membuat manusia bisa menarik manfaat dari pengertian tersebut dan akal yang memberikan cara untuk mewujudkan cita-cita.

Bilamana digambarkan dengan rumus A – Jagad Pitu, hati (a6) yang padanya terdapat perasaan (a5’) atau emosi atau ghadhab adalah menurut Al Ghazalli dan kemauan (a6’) atau ambisi atau syahwat menurut Al Ghazali. Bilamana diri atau aku atau saya atau nafsu menguasai hati dan mengikuti perasaan (a5’), maka hidupnya akan seperti orang kerasukan jin. Sedangkan bilamana mengikuti kemauan (a6’), maka hidupnya akan kesetanan. Kalau ini dibiarkan seperti itu, maka hati (a6) akan semakin gelap dan semakin terkuasai oleh jin ataupun setan. Apalagi kalau sampai merambah ke pikiran (a7), maka yang muncul menguasai adalah watak Iblis.

Untuk mencegah hal tersebut, maka diri harus dibuat sadar. Kesadaran yang muncul dari pengamatan diri terhadap peristiwa berupa informasi dan bilamana diafirmasi oleh memori (a5’’) menjadi pengetahuan. Bilamana pengetahuan ini berhasil membawa manusia ingat bahwa ini semua adalah izin dari Yang Kuasa, maka disebut dengan dzikir. Dari keadaan teringat tersebut, kalau dihadapkan kepada Allah Yang Kuasa hingga memperoleh pengertian (a6’’) dan diturunkan ke dalam diri. Ini akan membuat kita tersadar. Tentunya pengertian (a6’’) akan terus bertanya, bagaimana merealisasikan pengertian tersebut menjadi wujud nyata yang bisa dinikmati? Di sinilah peran akal (a7’’) yang memberi solusi. Bilamana pengertian belum sampai, maka akal akan memberi solusi berupa kepercayaan (A10). Selanjutnya akal (a7’’) akan menyarankan untuk membuat teori, hingga teknik bahkan gambaran. Ini semua adalah ilmu (A9). Dari gambaran tersebut, maka bila diwujudkan akan menjadi realitas (A8) yang bisa dinikmati manusia.

Nikmatilah itu jangan malu-malu, jangan berpura-pura. Itu semua adalah nikmat Ilahi. Syukurilah, hingga terbukti bahwa cita-cita, ilmu dan realitas adalah satu kesatuan kebenaran yang disebut dengan Haqqul Yaqin.

Jadi hati (a6) yang diterangi oleh pikiran (a7) itulah yang disebut dengan hati nurani atau kitab suci umat manusia. Kitab suci yang telah diturunkan melalui para Nabi dan dituliskan merupakan referensi yang harusnya tetap kita jadikan sebagai sarana pembuktian juga bahwa bukan hanya kita, namun para Nabi pun membuktikan hal yang sama. Dengan demikian kita akan semakin yakin bahwa kita berada di jalan yang lurus, sebagaimana jalan para Nabi yang telah diakreditasi oleh Allah Yang Maha Kuasa.

QS Al A’raaf 7 ayat 3: Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran.

QS Al Maidah 5 ayat 68: Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran Taurat, Injil dan Al Qur’an yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu.” Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu akan menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka, maka janganlah kamu bersedih hati terhadap orang-orang kafir itu.

 

 

Sidoarjo, 10 Agustus 2019; 9 Dzulhijjah 1440

Senin, 13 Juli 2020

Hakekat Yang Maha Kuasa & Cara Mendekat Kepada-Nya


Kuasa adalah kemampuan melakukan apa saja. Kuasa pasti tunggal tiada duanya, karena kalau ada kuasa yang lain pasti beradu, yang berarti tidak kuasa. Kuasa pasti mutlak, kalau tidak akan digerogoti sehingga menjadi tidak kuasa. Kuasa wajib ada yang dikuasai. Siapa yang dikuasai? Tentunya DiriNya sendiri. Kesatuan antara Kuasa dan DiriNya sendiri disebut Yang Maha Kuasa atau biasa kita sebut dengan Allah. Sebagai Yang Maha Kuasa, Allah pasti menunjukkan kekuasaannya, yaitu mengadakan karya-Nya atau biasa kita sebut dengan ciptaan atau makhluk.

Manusia mengetahui keberadaan Allah Yang Maha Kuasa melalui ciptaan-Nya. Ibarat jejak kaki orang di pantai, kita bisa mengetahui adanya orang yang berjalan di pantai. Tetapi tidak bisa memastikan siapa dia. Demikian pula dengan adanya ciptaan berupa diri kita dan alam ini. Kita bisa memastikan ada-Nya Allah Yang Maha Kuasa dengan pengetahuan yang diperoleh melalui indra yang diafirmasi oleh memori, yang kemudian diproses oleh pengertian pikiran hingga memperoleh kesimpulan dan akal akan memberikan cara mensikapi dan menindak-lanjuti. Karena tidak bisa memastikan wujudNya, maka akal menasehatkan untuk meyakini akan ada-Nya. Kecuali Dia memperlihatkan DiriNya kepada kita. Bukankah Dia kuasa?

Ingat! Jangan membatasi pengertian kita akan keberadaan Allah Yang Maha Kuasa, karena ini berarti membatasi kuasaNya. Dia meliputi segala sesuatu. Melalui alam dunia yang bisa diindrai, kita selalu menyaksikan karya-Nya, yang dengan itu kita mempercayai bahkan bisa meyakini akan ada-Nya. Diharapkan kita bisa selalu dalam keadaan ingat akan Dia dan sadar bersama-Nya.

Semua yang tergelar di alam dunia tentunya berasal dari kehendak Allah. Kehendak tersebut akan turun menjadi cita atau fitrah alam untuk masing-masing perwujudan. Melalui sabda-Nya, maka cita alam akan terdorong mewujud menjadi benda atau makhluk (materi). Tentunya keduanya tidak bisa terlepas akan adanya yang bukan benda atau makhluk (non materi). Keduanya, materi dan non materi merupakan satu kesatuan, yang kalau terpisah, maka wujud materi akan hancur.

Di alam manusia, bilamana seseorang akan mewujudkan idenya, maka dia harus memulai dengan kepercayaan bahkan keyakinan akan terwujudnya. Artinya seseorang perlu memiliki otorisasi berupa kekuasaan untuk mewujukan dari Yang Maha Kuasa (izin) dan otorisasi bahwa dialah yang ditunjuk sebagai pelaksananya. Proses pengadaan atas ide pasti menggunakan ilmu, walau dimulai dari sekedar mencontek dari yang sudah ada. Proses pengadaannya pasti perlu modal dan perjuangan sungguh-sungguh. Sedangkan hasilnya akan ditentukan oleh tingkat kualitas yang diharapkan.

Membuat karya melalui perwujudan ide adalah salah satu yang bisa dilakukan oleh manusia, sehingga berkembanglah peradaban. Manusia mengawali dari peradaban primitif lalu berkembang terus-menerus menjadi berperadaban canggih. Dimana ujung dari peradaban adalah untuk kenikmatan manusia itu sendiri.

Manusia hidup mengejar nikmat, melalui eksplorasi wilayah alam dunia yang bisa diindrai dan alam imajinasi. Alam dunia sudah jelas tidak perlu dibahas. Sedangkan alam imajinasi adalah alam dimana ide-ide manusia berasal. Ide-ide dimana isinya adalah kenikmatan yang bertingkat-tingkat dan tak terbatas. Diri manusia bisa menikmati apa yang bisa diindrai dan dirasakan di alam tampak. Namun bisa juga menikmatinya di alam imajinasi, semisal kenikmatan akan ilmu. Di alam ini, kita seperti sedang menemukan surga, namun lupa akan Allah Yang Maha Kuasa. [Namun ingatlah akan peran kita berada di alam dunia!]
Dari pengamatan atas proses terwujudnya benda dan makhluk di alam, maka kalau ini dianggap sebagai proses menurun karena seolah menjauh dari singgasana Allah Yang Maha Kuasa. Dengan demikian, maka untuk kembali kepada Allah sejatinya hanya dengan menjalani proses kembali menaik (mi’raj) melalui jalur yang sama. Bilamana disederhanakan, prosesnya adalah melalui pengadaan, pendekatan dan penghadiran akan adanya Allah Yang Maha Kuasa. Ketiga tahapan ini kebetulan juga disampaikan dalam Hadits Qudsy yang diriwayatkan oleh Tirmidzi (ra): Dari Anas bin Malik (ra), dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah (saw) bersabda, “Allah berfirman, “Wahai anak Adam, sesungguhnya selama kamu berdoa dan mengharap hanya kepada-Ku, Aku memberi ampunan kepadamu terhadap apa yang ada padamu dan Aku tidak mempedulikannya. Wahai anak Adam, seandainya dosamu sampai ke langit, kemudian kamu minta ampun kepada-Ku, maka Aku memberi ampunan kepadamu dan Aku tidak mempedulikannya. Wahai anak Adam sesungguhnya apabila kamu datang kepada-Ku dengan kesalahan sepenuh bumi, kemudian kamu menjumpai Aku dengan tidak menyekutukan Aku dengan sesuatu, niscaya Aku datang kepadamu dengan ampunan sepenuh bumi.”””

Semoga menjadi jelas bahwa menghadap Allah harus melalui pengetahuan, yaitu dengan mengingat untuk mengakui keberadan-Nya. Karena dengan mengingat, maka kita sedang menghadap kepada-Nya (pengadaan). Selanjutnya kita berusaha mendekat, yaitu dengan pengertian (pendekatan), bukan dengan perasaan. Penggunaan perasaan berarti kita masih meraba-raba dalam kegelapan. Lalu kita berserah diri kepada-Nya, bukankah berserah diri itu menandai bahwa kita percaya seutuhnya (yaqin) kepada-Nya (penghadiran)?

Perihal diterima atau tidak itu hak prerogatif dari Allah Yang Maha Kuasa. Kewajiban kita adalah percaya hingga yaqin.

Jakarta, 12 Juli 2020


Persiapkan Dirimu Menghadapi Fitnah Akhir Zaman

Aku berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. Dengan Asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Dzat yang...