Rabu, 31 Oktober 2012

Pembuat Kerusakan Berdalih Agama

Akibat dari dorongan keakuannya, semenjak zaman dulu hingga sekarang selalu ada orang yang menggeser pengertian agama tanpa menyadari. Mereka menunggangi pikiran untuk menguasai ilmu agama tersebut. Bukan pemahaman yang masuk ke dalam hati (a’) melalui pengertian (a6’’) dan akalnya (a7’’), namun keakuannya. Manusia dengan keakuannya adalah yang paling masif dalam melakukan perusakan alam semesta. Salah satu bukti adalah adanya kisah berikut:
Dalam sejarah Islam sendiri pernah terjadi peristiwa kelam, yaitu peperangan antara pemeluk Islam. Dalam perang Nahrawan Kekhalifahan Islam yang diimpin Ali (kw) melawan kaum Khawarij, yaitu yang mengukur agama dengan keakuannya. Dikisahkan:
“SIAPA DARI KALIAN YANG INGIN KE SURGA?”
Yang dijawab dengan suara serempak, “KAMI SEMUA AKAN MENUJU SURGA!”[1]
Di tengah-tengah barisan pasukan Khawarij, ada seorang laki-laki berjalan berkeliling, membangkitkan semangat mereka untuk berperang. Suaranya seperti desis ular dan badannya mengeluarkan bau busuk. Tak lama setelah itu, pada tengah hari itu juga, dari kubu Khawarij tersebut terdengar teriakan keras dengan suara masih seperti desis ular yang ditujukan kepada anggota pasukannya, “SIAPA DARI KALIAN YANG INGIN KE SURGA?”
Yang dijawab dengan suara serempak, “KAMI SEMUA AKAN MENUJU SURGA!” Sambil berteriak itu, mereka serentak terjun dan melancarkan serangan dahsyat dan gencar ke pihak pasukan Ali (kw)[2] dengan menghujani anak panah dan tombak. Namun dalam waktu tidak lama pasukan Ali (kw) dapat menguasai keadaan dan menaklukkan pasukan kaum Khawarij. Pemimpin mereka yang bernama Abdullah bin Wahab Ar-Rasibi tewas.
Dalam pada itu, Imam Ali (kw) merenung lama sekali, diam, sedih dan gelisah. Sahabat-sahabat dan pengikutnya merasa heran. Kemudian dengan tenang, beliau meminta orang-orang di sekitarnya mencari Zus Sudayyah (Dzu Tsadiyyah – Al Mukhaddaj) di antara para korban perang.
Mereka pun segera bergerak dan bekerja keras untuk itu, mereka melakukan pencarian di antara mayat-mayat dan yang sekarat. Kemudian mereka melaporkan kepada Ali (kw) bahwa mereka tidak menemukannya.
Ali (kw) semakin nampak berduka dan berkata, “Sungguh saya tidak berbohong dan tidak dibohongi.” Beliau yakin pasti orang itu ada di antara para korban itu.
Setelah dicari kembali, ditemukanlah mayat Zus Sudayyah. Ali (kw) pun bersujud syukur kepada Allah SWT[3]. Hal ini membuat heran para sahabatnya, dan bertanya kenapa Ali (kw) bersyukur atas kematian Zus Sudayyah? Ali (kw) menjawab bahwa Zus Sudayyah adalah orang paling sesat dan paling berbahaya.
Siapakah mereka yang disebut Ali (kw) sebagai orang paling sesat dan berbahaya?
Dikisahkan pula dalam hadits Muslim[4]: Diriwayatkan dari Abu Said Al Khudri (ra)[5], “Ali bin Abi Thalib (kw) pernah mengirimkan sepotong emas kepada Rasulullah (saw)[6] dalam satu lembar kulit yang telah disamak, sedang emas itu belum dibersihkan tanahnya. Kemudian beliau membagi-bagikan emas tersebut kepada empat orang, yaitu ‘Uyainah bin Hishn, Aqra’ bin Habis, Zaid Al Khail dan orang yang keempat ini adalah Alqamah bin “Ulatsah atau Amir bin Thufail.
Lalu ada seorang laki-laki dari sahabat beliau yang berkata, “Kami inilah yang lebih berhak akan emas ini daripada mereka!”
Kata-kata itu lalu sampai kepada Nabi (saw), maka beliau bersabda, “Apakah kalian tidak mempercayai aku, padahal aku ini orang yang terpercaya di kalangan penduduk langit dan berita langit datang kepadaku setiap pagi dan sore?”
Lalu berdirilah seseorang yang bermata cekung, benjol tulang pipi dan dahinya, lebat jenggotnya, gundul kepalanya dan menyingsingkan lengan pakaiannya, kemudian dia berkata, “Wahai Rasulullah, takutlah kepada Allah!”
Beliau menjawab, “Celakalah kamu, bukankah aku orang yang paling patut dari penduduk bumi ini untuk bertakwa kepada Allah?”
Setelah itu,orang itu berpaling, lalu Khalid berkata, “Wahai Rasulullah, izinkanlah saya memenggal leher orang itu!”
Beliau menjawab, “Jangan, barangkali dia mengerjakan sholat.”
Khalid berkata, “Banyak sekali orang mengerjakan sholat hanya di mulutnya saja, tetapi di hatinya berlainan!”
Rasulullah (saw) bersabda, “Sesungguhnya, aku tidak diperintahkan untuk meneliti hati manusia dan tidak pula untuk membedah dada mereka.”
Kemudian saat orang itu berpaling, beliau menatapnya dengan tajam seraya bersabda, “Sesungguhnya akan lahir dari keturunan orang ini suatu kaum yang hanya pandai membaca Kitab Allah, tetapi tidak meresap ke dalam hatinya (jiwanya); mereka lepas dari agama Islam, seperti lepasnya anak panah dari busurnya.”
Saya mengira beliau bersabda, “Andaikata aku mendapati mereka, pasti aku akan perangi sebagaimana memerangi Tsamud.”
Dalam hadits riwayat lain:
Setelah perang Hawazin, Dzul Khuwaishirah (Hirqush bin Zuhair as Sa’di) mendekati Nabi (saw) yang sedang membagi harta rampasan perang lalu berkata, “Bagilah dengan adil, wahai Muhammad! Sebab engkau belum berlaku adil.”
Mendengar itu, Nabi (saw) menjawab, “Celakalah kau! Lalu siapa yang bisa berlaku adil, jika aku saja tak mampu?”
Melihat kejadian itu, Umar bin Khathab (ra) bangkit membela Rasulullah (saw) dan berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh dia orang munafik. Karena itu, izinkan aku memenggal lehernya!”
Rasulullah (saw) menjawab, “Biarkan saja dia, karena dia memiliki sejumlah pengikut dimana salah seorang dari kalian akan menganggap remeh sholatnya dibanding sholat mereka dan menganggap remeh bacaan Al Qur’annya dibanding bacaan mereka. Tetapi mereka keluar dari agama seperti anak panah keluar dari busurnya. Mereka juga memberontak suatu golongan umat ini. Mereka akan dibunuh oleh kelompok pertama dari dua kelompok besar, dengan alasan yang benar. Pemimpin mereka adalah Al Mukhaddaj (Dzu Tsadiyyah)?”
Dalam kasus tuduhan bahwa Rasulullah (saw) telah berlaku tidak adil adalah tuduhan dari orang-orang yang pikirannya (a7) ditunggangi oleh keakuannya. Dimana keadilan dimaknai sama rasa sama rata, sesuai arti kata “’adl”. Sedangkan menurut Al Qur’an, seringkali kata yang digunakan adalah “qisth”, yaitu menempatkan pada bagiannya/porsinya. Pengertian keadilan (qisth)[7] model ini akan sulit diterima bagi Dzul Khuwaishirah dan kelompoknya yang dipimpin oleh Al Mukhaddaj (Dzu Tsadiyyah atau Zus Sudayyah), yang dengan mengandalkan pikiran dengan ditunggangi keakuannya menganggap dibagi secara merata bukan sesuai porsinya.
Tuduhan bahwa Rasulullah (saw) berlaku tidak adil berasal dari banyaknya harta rampasan yang diberikan kepada orang-orang Mekah dibanding kepada para sahabat beliau yang selama ini mendampingi dalam berjihad. Ternyata harta rampasan yang diberikan kepada orang-orang Mekah adalah dalam rangka membujuk keimanan mereka yang masih lemah agar tetap dalam Islam. Sedangkan bagi para sahabat, bukankah cukup Allah dan Rasul-Nya, karena hanya dengan keutamaan dan pemberian Allah lah mereka bergembira. Karena Nabi (saw) mengerti bahwa kepemilikan akan memperkuat keakuan, sehingga membuat umatnya kehilangan kesadaran diri.
QS Yunus 10 ayat 57-58: Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhan-mu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah, “Dengan keutamaan Allah dan dengan pemberian-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Keutamaan dan pemberian-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”
Dalam kisah lainnya[8]: Anas (ra) bertutur, “Seorang lelaki pernah disebut-sebut di hadapan Rasulullah (saw). Orang tersebut memiliki kesungguhan dan semangat dalam perang.
Rasulullah (saw) mengatakan, “Aku tidak mengetahui orang tersebut.”
Anas (ra) mengatakan, “Ciri-ciri lelaki tersebut adalah begini dan begitu.”
Beliau (saw) tetap menjawab, ”Aku tidak mengetahuinya.”
Ketika  kami tengah membincangkan hal tersebut, seorang lelaki muncul. Lalu Anas (ra) mengatakan, “Inilah dia orangnya, wahai Rasulullah (saw).”
Beliau (saw) tetap menjawab, ”Aku tidak mengetahuinya. Namun sesungguhnya pada abad ini akan ada setan dengan ciri hitam kemerahan.” Ketika orang tersebut mendekat, dia mengucapkan salam kepada Nabi (saw) dan Nabi (saw) membalasnya. Rasulullah (saw) berkata kepadanya, “Bersumpahlah kepada Allah, apakah ketika kamu muncul kepada kami, dalam hatimu terbersit bahwa tiada seorang pun dari kaumku ini yang lebih utama daripada kamu?”
Ia menjawab, “Ya benar – dalam hatiku terbersit demikian – wahai Rasulullah (saw).” Ia pun masuk masjid dan sholat.”
Jabir (ra) menceritakan, seorang lelaki melewati Rasulullah (saw). Orang-orang pun membicarakan dan menyanjung kebaikan dia. Abu Bakar (ra) menuturkan, “Sesungguhnya Rasulullah (saw) pernah melewati orang tersebut ketika dia sedang sujud. Ketika itu Rasulullah (saw) bergegas pergi untuk menunaikan sholat. Usai menyelesaikan sholat, beliau kembali kepada orang tersebut. Ternyata orang itu masih dalam keadaan bersujud. Rasulullah (saw) besabda, “Siapakah yang dapat membunuh orang ini?”
Dalam redaksi yang lain disebutkan: Rasulullah (saw) berkata kepada Abu Bakar (ra), “Wahai Abu Bakar, berdiri dan bunuhlah orang tersebut!”
Maka Abu Bakar masuk ke dalam masjid dan mendapati orang tersebut sedang berdiri sholat. Abu Bakar bergumam dalam hatinya, “Sesungguhnya dalam sholat ada hak-hak Allah yang mesti dijaga dan ditunaikan. Lebih baik aku berkonsultasi terlebih dahulu terhadap Nabi (saw).”
Beliau Nabi (saw) bertanya, “Sudahkah engkau membunuhnya?”
Abu Bakar (ra) menjawab, “Belum, karena aku melihatnya sedang sholat. Menurutku, sesungguhnya dalam sholat ada hak-hak Allah yang mesti dijaga dan ditunaikan. Jika aku berkeinginan untuk membunuhnya, aku pasti telah membunuhnya.”
Nabi (saw) berujar, “Engkau bukan orang yang mampu melakukannya. Pergilah engkau wahai Umar (ra), dan bunuhlah orang itu!”
Umar pun masuk masjid. Ternyata orang itu sedang bersujud sehingga Umar menunggunya cukup lama. Kemudian Umar bergumam, “Sesungguhnya dalam sujud terdapat hak Allah yang mesti dijaga.” Maka Umar (ra) kembali. “Seandainya aku berkonsultasi kepada Rasulullah (saw), sesungguhnya orang yang lebih baik dariku pun telah melakukannya.” Maka Umar (ra) mendatangi Rasulullah (saw).
Beliau (saw) bertanya, “Sudahkah engkau membunuhnya?”
Umar (ra) menjawab, “Belum, wahai Rasulullah (saw). Karena aku melihat dia sedang bersujud. Dan menurutku, sujud memiliki hak yang mesti dijaga. Jika aku berkehendak untuk membunuhnya, aku pasti telah melakukannya.”
Rasulullah (saw) bersabda, “Engkau bukan orang yang mampu melakukannya. Berdirilah wahai Ali (kw) dan bunuhlah olehmu jika kamu mendapati orang tersebut!”
Maka Ali (kw) pergi menuju orang tersebut. Ternyata orang tersebut telah keluar dari masjid. Akan tetapi Ali kembali menuju Rasulullah (saw).
Lalu beliau (saw) bertanya kepada Ali (kw), “Sudahkah engkau membunuhnya?”
Ali (kw) menjawab, “Belum.”
Orang inilah yang terbunuh dalam perang Nahrawan melawan Ali (kw), yaitu Dzu Tsadiyyah (Al Mukhaddaj).
Rasulullah (saw) bersabda, “Seandainya orang tersebut dibunuh hari ini, maka dua orang dari kalangan umatku tidak akan berselisih, sampai Dajjal keluar.”
Dalam redaksi lain disebutkan:
“Maka (fitnah Dajjal) akan menjadi fitnah pertama sekaligus terakhir.”
Apa yang membuat seorang yang mengaku beriman kepada Allah, menjalankan rukun Islam dengan intensif, bahkan dikisahkan Zus Sudayyah rajin membaca Qur’an dan kalau sujud menempel di lantai masjid bisa disebut sebagai orang paling sesat dan paling berbahaya? Keakuannya.


[1]Perang Nahrawan – Juli 658 M sebagaimana dikisahkan oleh Ali Audah, Ali bin AbiTalib, Litera Antar Nusa, hal 292 - 297
[2]kw singkatan dari karamallahu wajhah.
[3]SWT singkatan dari Subhanahu Wa Ta’ala yang bermakna Maha Suci Allah dan Maha Tinggi.
[4]Zaki Al-Din ‘Abd Al-Azhim Al-Mundziri, Ringkasan Shahih Muslim, Mizan, 2009, hal 292-293
[5](ra) singkatan dari radhiyallahu ‘anhu yang bermakna semoga Allah meridhainya.
[6](saw) singkatan dari Shallalahu ‘alaihi wasalam yang artinya Allah memberi salam dan shalawat (penghormatan).
[7]Keadilan adalah kata jadian dari kata "adil" yang terambil dari bahasa Arab "'adl". Kamus-kamus bahasa Arab menginformasikan bahwa kata ini pada mulanya berarti "sama".
Keadilan diungkapkan oleh Al-Quran antara lain dengan kata-kata al-'adl, al-qisth, al-mizan, dan dengan menafikan kezaliman, walaupun pengertian keadilan tidak selalu menjadi antonym kezaliman. 'Adl, yang berarti  "sama", memberi kesan adanya dua pihak atau lebih; karena jika hanya satu pihak, tidak akan terjadi "persamaan".
Qisth arti asalnya adalah "bagian" (yang wajar dan patut). Ini tidak harus mengantarkan adanya "persamaan". Bukankah bagian dapat saja diperoleh oleh satu pihak? Karena itu, kata qisth lebih umum daripada kata 'adl, dan karena itu pula ketika Al-Quran menuntut seseorang untuk berlaku adil terhadap dirinya sendiri, kata qisth itulah yang digunakannya. (Quraish Shihab)
[8]Syaikh Musthafa Muhammad Abu al Mu’athi, Dahsyatnya Ramalan Rasulullah – Kumpulan Hadis Lengkap Rasulullah (saw) tentang Masa Depan Umat dan Dunia (terjemahan dari kitab Nubuat Al-Rasul), Salamadani, 2012

Selasa, 30 Oktober 2012

Manusia & Masalahnya


Pada awalnya orang akan terseret oleh hawa nafsunya dan menjadikan sarana jasmani (a1 s/d a4) sebagai sarana pemuas keakuannya. Setiap saat kegiatannya hanya memburu kenikmatan, tak ada bedanya dengan tumbuhan. Mayoritas masyarakat adalah seperti ini, sehingga mereka menjadi cinta dunia dan mengeksplorasi dunia bagi kesenangannya.
Kemudian ada juga kelompok yang belajar seni bela diri. Mereka melatih kemampuan daya sensorik dan motorik (a5) untuk menjadi orang sakti, kebal, kuat. Mereka merasa memiliki daya tersebut dan dipergunakan untuk memuaskan dirinya. Biasanya mereka memiliki watak sok jagoan.
Ada lagi kelompok orang yang terseret hawa nafsunya melalui sarana perasaannya (a5’). Barangkali representasinya adalah kehidupan dunia glamor atau kehidupan seniman yang hanya mengejar kesenangan hati. Mereka ini kehidupannya seperti orang kerasukan jin. Biasanya memiliki watak mudah tersinggung.
Lalu orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan memanfaatkan kemauannya (a6’). Mengingat hawa nafsu manusia tak terbatas kecuali dibatasi oleh tidur dan kematian, maka mereka menjadi kesetanan kalau dihalangi. Orang-orang yang kesetanan akan cenderung melakukan kerusakan yang lebih masif.
Yang paling parah adalah orang-orang yang mengikuti kemauan hawa nafsunya hingga menguasai pikiran (a7), maka keakuannya akan menguat. Mereka akan berwatak seperti Iblis, yaitu enggan dan takabur. Bahkan ada yang menggunakan dalil-dalil agama yang mereka pelajari dari Kitab.
Kesemuanya itu akan menelan dunia demi kepuasan dirinya, ibarat Bhatara Kala. Otomatis hasilnya adalah kerusakan dunia hingga membawa kepada kiamat.

Orang Jawa Menjelaskan Hakekat Manusia

Orang Jawa zaman dahulu, diantaranya diwakili oleh para wali di tanah Jawa mengingatkan umat akan jati dirinya dan Tuhannya dalam bentuk seni tata kota. Seni tata kota Kabupaten atau Kota Praja biasanya terdiri dari Alun-alun yang berbentuk segi empat, dengan pohon beringin di tengahnya. Melambangkan diri manusia yang oleh orang Jawa disebut dengan sedulur papat lima pancer/badan.
Di bagian depan yang membelakangi gunung, terdapat kadipaten yang merupakan simbol dari saudara yang pertama, yakni jasmani. Jasmani memiliki naluri berupa keinginan untuk dipuaskan tanpa memandang aturan hukum dan moralitas, sehingga digambarkan oleh Qur’an dengan kalimat “An nafs al ammarah bis-suu’ yang artinya diri yang menyuruh pada kejahatan”. Kadipaten yang harus dirawat dengan baik, karena melalui kadipaten atau jasmani inilah manusia berkarya di dunia. “Saya” seseorang yang menguasai jasmaninya sangatlah berbahaya karena naluri ingin dipuaskan tidak mengenal moral, hukum keadilan dan kesetaraan.
Gambar 1 Kabupaten Tuban (Koleksi M Erfan Iskandar, 2011)
Di sisi kanan kadipaten umumnya terdapat penjara, kodim dan sekolah. Tempat ini melambangkan kemampuan/qudrat (a5) manusia. Qur’an menyebut dengan, “An nafs al lauwamah yang artinya diri yang suka mencela”. Mereka yang “sayanya” dibiarkan menguasai singgasana ini akan memiliki kecenderungan suka mencela. Kebanyakan orang memanfaatkan kemampuannya untuk kepuasan “sayanya”. Padahal kemampuan (a5) adalah tentara yang hebat. Kemampuan perlu dikembangkan dengan pendidikan agar semakin sempurna, yakni menciptakan atau mengkreasikan sesuatu.
Gambar 2 Deretan Penjara – Kodim – Sekolahan yang berada di sisi timur Alun-alun Tuban (Koleksi M Erfan Iskandar, 2011)
Di sisi depan, yang menghadap ke laut, terdapat pasar/tempat hiburan yang merupakan tempat kesibukan. Orang yang “sayanya” menguasai perasaan hatinya (a5’), mereka akan memanfaatkan informasi baik dan informasi buruk untuk kesenangannya. Namun kalau mereka mampu menggunakan perasaannya sebagai pengarah akunya dengan arahan dari pikiran (a7), maka mereka akan semakin memperoleh keberuntungan berupa nikmat. Qur’an melambangkannya dengan kalimat: “wa alhamaha fujuraha wa taqwaha, qad aflaha man zakaha.” Yang artinya dan mengilhamkan kejahatan dan ketaqwaan, sungguh beruntunglah mereka yang mensucikan dirinya.
Gambar 3 Tempat Hiburan dan Pertokoan yang berada di sisi utara Alun-alun Tuban (Koleksi M Erfan Iskandar, 2011)
Di sisi kiri adalah masjid yang merupakan tempat bersujud, tempat mengabdi. Seorang yang mengaku abdi adalah orang mereka yang menyerahkan dirinya melalui kemauan yang diterangi oleh pengertian. Kemauan yang diterangi pengertian akan membawa “sayanya” rela untuk menerima kenyataan dan mengikuti perintah Kuasa. Hal ini digambarkan oleh Qur’an dengan panggilan mesra: “Wahai jiwa yang tenang (an nafs al muthmainah) kembalilah kepada Rabb-mu dengan ridha dan diridhai.”
Gambar 4 Masjid Tuban yang berada di sisi barat Alun-alun Tuban (Koleksi M Erfan Iskandar, 2011)
Sedangkan alun-alun yang kosong yang meliputi semuanya itu adalah melambangkan pikiran manusia. Di tengahnya terdapat pohon beringin yang rindang. Melalui alun-alun tersebut, perintah dari sang raja (adipati) disampaikan, melalui kebiasaan pepe dekat pohon beringin tersebut, keinginan rakyat disampaikan. Ini adalah lambang pikiran (a7) atau Baitul Makmur tempat dimana perintah dari Kuasa atau keluhan dari “saya” dikomunikasikan.
Gambar 5 Pohon Beringin yang terletak dalam Alun-alun Tuban (Koleksi M Erfan Iskandar, 2011)
Dari kenyataan hidup dan dari kitab suci menginformasikan bahwa jelas manusia adalah hamba (saya), yang berhak atas surga-Nya. Namun kalau hamba tersebut cinta kepada kenikmatan surga, maka dia tidak akan bisa kembali kepada Tuhannya. Sebaiknya tetaplah berupaya untuk kembali kepada asal-usulnya atau sangkan parannya, yaitu Kuasa. Dalam istilah Islam disebut dengan “inna Lillahi wa inna ilaihi raji’un”.
Karena pengajaran para Wali menggunakan sarana berupa seni tata kota, otomatis menimbulkan multi tafsir. Sehingga sulit untuk dimengerti. Namun itu adalah kenyataan yang harus diterima masyarakat.
Untuk orang zaman sekarang, melalui rumus A atau wahyu Jagad Pitu lah kejelasan tentang hakekat manusia dan Tuhannya dibeber.
Bukankah hanya manusia yang bisa menceriterakan tentang hidup dan kehidupan, melalui pikirannya (a7)? Bukankah itu Dewa Ruci, dimana alam semesta berada di dalamnya?

Senin, 29 Oktober 2012

KIsah Penciptaan Manusia Menurut QurĂ¡n & Sains


Kembali kepada tempat penggemblengan pertama, yaitu neraka panas; awal keberadaan saya di dunia disampaikan dalam QS Al A’raaf 7 ayat 172: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul, kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.”Kata sulbi di sini menjelaskan bahwa pertanyaan ini disampaikan Allah ketika manusia masih berupa air yang akan dipancarkan. Hal ini tertulis dalam QS Ath Thariq 86 ayat 6-7: Ia diciptakan dari air yang dipancarkan, yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.
Menurut bapak, raga saya tempat menjalani hukuman turun melalui awal (A) dan selanjutnya tercipta menjadi raga. Sedangkan sayanya disabda turun setelah raganya dan pengertiannya sempurna pada kira-kira usia 5 tahunan.
Proses penciptaan diri manusia dikisahkan dalam berbagai ayat Quran diantaranya dalam QS As Sajdah 32 ayat 7-9: Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina. Kemudian Dia menyempurnakannya dan meniupkan ke dalamnya ruh-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati (al af-idah); (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.
QS Shaad 38 ayat 71-72: (Ingatlah) ketika Rabb-mu berfirman kepada Malaikat, “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruhKu; Maka hendaklah kamu menyungkur dengan bersujud kepadanya.”
QS An Nahl 16 ayat 78: Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati (al af’idah), agar kamu bersyukur.
QS Az Zumar 39 ayat 6: Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan daripadanya isterinya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang (berbuat) demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan yang mempunyai kerajaan. Tidak ada Tuhan selain Dia; Maka bagaimana kamu dapat dipalingkan?
QS Al Mu’minuun 23 ayat 12-16: Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang  belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta yang paling baik. Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari Kiamat.
Pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim: Abu Abdurrahman bin Mas’ud ra berkata bahwa Rasulullah (saw) telah bersabda: “Sesungguhnya, setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nuthfah, kemudian menjadi ‘alaqah selama itu juga, kemudian menjadi mudhghah selama itu juga, kemudian meniupkan ruh kepadanya ….’’[1]
Menurut pakar ilmu pengetahuan, pertumbuhan bayi adalah dimulai dengan otak, kemudian jantung, baru paru-paru. Lalu lahirlah anak tersebut. Setelah itu anak sampai usia hingga tiga tahun tidak mampu mengingat apa yang sudah dialaminya. Setelah menginjak usia 3 tahun, baru kemampuan mengingat / memorinya mulai berfungsi. Saat usia mencapai 5 tahun baru pengertiannya berkembang dan anak tersebut mencapai kesadaran diri. Lalu pada usia 7 tahun, akalnya mulai sempurna dan dia mulai menggali kemanfaatan bagi dirinya.


[1] QS Al Hijr 15 ayat 29.

Persiapkan Dirimu Menghadapi Fitnah Akhir Zaman

Aku berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. Dengan Asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Dzat yang...