Akibat dari dorongan keakuannya, semenjak
zaman dulu hingga sekarang selalu ada orang yang menggeser pengertian agama
tanpa menyadari. Mereka menunggangi pikiran untuk menguasai ilmu agama
tersebut. Bukan pemahaman yang masuk ke dalam hati (a’) melalui pengertian
(a6’’) dan akalnya (a7’’), namun keakuannya. Manusia dengan keakuannya adalah yang
paling masif dalam melakukan perusakan alam semesta. Salah satu bukti adalah
adanya kisah berikut:
Dalam sejarah Islam sendiri pernah
terjadi peristiwa kelam, yaitu peperangan antara pemeluk Islam. Dalam perang
Nahrawan Kekhalifahan Islam yang diimpin Ali (kw) melawan kaum Khawarij, yaitu
yang mengukur agama dengan keakuannya. Dikisahkan:
“SIAPA DARI KALIAN YANG INGIN KE SURGA?”
Yang dijawab dengan suara serempak,
“KAMI SEMUA AKAN MENUJU SURGA!”[1]
Di tengah-tengah barisan pasukan
Khawarij, ada seorang laki-laki berjalan berkeliling, membangkitkan semangat
mereka untuk berperang. Suaranya seperti desis ular dan badannya mengeluarkan
bau busuk. Tak lama setelah itu, pada tengah hari itu juga, dari kubu Khawarij
tersebut terdengar teriakan keras dengan suara masih seperti desis ular yang
ditujukan kepada anggota pasukannya, “SIAPA DARI KALIAN YANG INGIN KE SURGA?”
Yang dijawab dengan suara serempak,
“KAMI SEMUA AKAN MENUJU SURGA!” Sambil berteriak itu, mereka serentak terjun
dan melancarkan serangan dahsyat dan gencar ke pihak pasukan Ali (kw)[2]
dengan menghujani anak panah dan tombak. Namun dalam waktu tidak lama pasukan
Ali (kw) dapat menguasai keadaan dan menaklukkan pasukan kaum Khawarij.
Pemimpin mereka yang bernama Abdullah bin Wahab Ar-Rasibi tewas.
Dalam pada itu, Imam Ali (kw) merenung
lama sekali, diam, sedih dan gelisah. Sahabat-sahabat dan pengikutnya merasa
heran. Kemudian dengan tenang, beliau meminta orang-orang di sekitarnya mencari
Zus Sudayyah (Dzu Tsadiyyah – Al Mukhaddaj) di antara para korban perang.
Mereka pun segera bergerak dan bekerja
keras untuk itu, mereka melakukan pencarian di antara mayat-mayat dan yang
sekarat. Kemudian mereka melaporkan kepada Ali (kw) bahwa mereka tidak menemukannya.
Ali (kw) semakin nampak berduka dan
berkata, “Sungguh saya tidak berbohong dan tidak dibohongi.” Beliau yakin pasti
orang itu ada di antara para korban itu.
Setelah dicari kembali, ditemukanlah
mayat Zus Sudayyah. Ali (kw) pun bersujud syukur kepada Allah SWT[3].
Hal ini membuat heran para sahabatnya, dan bertanya kenapa Ali (kw) bersyukur
atas kematian Zus Sudayyah? Ali (kw) menjawab bahwa Zus Sudayyah adalah orang
paling sesat dan paling berbahaya.
Siapakah mereka yang disebut Ali (kw) sebagai orang paling
sesat dan berbahaya?
Dikisahkan pula dalam hadits Muslim[4]: Diriwayatkan dari Abu Said Al Khudri (ra)[5],
“Ali bin Abi Thalib (kw) pernah mengirimkan sepotong emas kepada Rasulullah (saw)[6]
dalam satu lembar kulit yang telah disamak, sedang emas itu belum dibersihkan
tanahnya. Kemudian beliau membagi-bagikan emas tersebut kepada empat orang,
yaitu ‘Uyainah bin Hishn, Aqra’ bin Habis, Zaid Al Khail dan orang yang keempat
ini adalah Alqamah bin “Ulatsah atau Amir bin Thufail.
Lalu ada seorang laki-laki dari sahabat
beliau yang berkata, “Kami inilah yang lebih berhak akan emas ini daripada
mereka!”
Kata-kata itu lalu sampai kepada Nabi (saw),
maka beliau bersabda, “Apakah kalian tidak mempercayai aku, padahal aku ini
orang yang terpercaya di kalangan penduduk langit dan berita langit datang
kepadaku setiap pagi dan sore?”
Lalu berdirilah seseorang yang bermata
cekung, benjol tulang pipi dan dahinya, lebat jenggotnya, gundul kepalanya dan
menyingsingkan lengan pakaiannya, kemudian dia berkata, “Wahai Rasulullah,
takutlah kepada Allah!”
Beliau menjawab, “Celakalah kamu,
bukankah aku orang yang paling patut dari penduduk bumi ini untuk bertakwa
kepada Allah?”
Setelah itu,orang itu berpaling, lalu Khalid berkata, “Wahai Rasulullah,
izinkanlah saya memenggal leher orang itu!”
Beliau menjawab, “Jangan, barangkali dia
mengerjakan sholat.”
Khalid berkata, “Banyak sekali orang
mengerjakan sholat hanya di mulutnya saja, tetapi di hatinya berlainan!”
Rasulullah (saw) bersabda,
“Sesungguhnya, aku tidak diperintahkan untuk meneliti hati manusia dan tidak
pula untuk membedah dada mereka.”
Kemudian saat orang itu berpaling,
beliau menatapnya dengan tajam seraya bersabda, “Sesungguhnya akan lahir dari keturunan
orang ini suatu kaum yang hanya pandai membaca Kitab Allah, tetapi tidak
meresap ke dalam hatinya (jiwanya); mereka lepas dari agama Islam, seperti
lepasnya anak panah dari busurnya.”
Saya mengira beliau bersabda, “Andaikata
aku mendapati mereka, pasti aku akan perangi sebagaimana memerangi Tsamud.”
Dalam
hadits riwayat lain:
Setelah perang Hawazin, Dzul
Khuwaishirah (Hirqush bin Zuhair as Sa’di) mendekati Nabi (saw) yang sedang
membagi harta rampasan perang lalu berkata, “Bagilah dengan adil, wahai
Muhammad! Sebab engkau belum berlaku adil.”
Mendengar itu, Nabi (saw) menjawab,
“Celakalah kau! Lalu siapa yang bisa berlaku adil, jika aku saja tak mampu?”
Melihat kejadian itu, Umar bin Khathab (ra)
bangkit membela Rasulullah (saw) dan berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh dia
orang munafik. Karena itu, izinkan aku memenggal lehernya!”
Rasulullah (saw) menjawab, “Biarkan saja
dia, karena dia memiliki sejumlah pengikut dimana salah seorang dari kalian
akan menganggap remeh sholatnya dibanding sholat mereka dan menganggap remeh
bacaan Al Qur’annya dibanding bacaan mereka. Tetapi mereka keluar dari agama
seperti anak panah keluar dari busurnya. Mereka juga memberontak suatu golongan
umat ini. Mereka akan dibunuh oleh kelompok pertama dari dua kelompok besar,
dengan alasan yang benar. Pemimpin mereka adalah Al Mukhaddaj (Dzu Tsadiyyah)?”
Dalam kasus tuduhan bahwa Rasulullah (saw)
telah berlaku tidak adil adalah tuduhan dari orang-orang yang pikirannya (a7) ditunggangi oleh keakuannya. Dimana keadilan dimaknai sama rasa
sama rata, sesuai arti kata “’adl”. Sedangkan menurut Al Qur’an, seringkali
kata yang digunakan adalah “qisth”, yaitu menempatkan pada bagiannya/porsinya. Pengertian keadilan (qisth)[7]
model ini akan sulit diterima bagi Dzul Khuwaishirah dan kelompoknya yang
dipimpin oleh Al Mukhaddaj (Dzu Tsadiyyah atau
Zus Sudayyah), yang dengan mengandalkan pikiran dengan ditunggangi keakuannya
menganggap dibagi
secara merata bukan sesuai porsinya.
Tuduhan bahwa Rasulullah (saw) berlaku
tidak adil berasal dari banyaknya harta rampasan yang diberikan kepada
orang-orang Mekah dibanding kepada para sahabat beliau yang selama ini
mendampingi dalam berjihad. Ternyata harta rampasan yang diberikan kepada
orang-orang Mekah adalah dalam rangka membujuk keimanan mereka yang masih lemah
agar tetap dalam Islam. Sedangkan bagi para sahabat, bukankah
cukup Allah dan Rasul-Nya, karena hanya dengan keutamaan dan pemberian Allah
lah mereka bergembira.
Karena Nabi (saw) mengerti bahwa kepemilikan akan memperkuat keakuan, sehingga
membuat umatnya kehilangan kesadaran diri.
QS Yunus 10 ayat 57-58: “Hai
manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhan-mu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit
dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah, “Dengan keutamaan Allah dan
dengan pemberian-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Keutamaan dan
pemberian-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.””
Dalam
kisah lainnya[8]: Anas (ra) bertutur, “Seorang lelaki pernah disebut-sebut di
hadapan Rasulullah (saw). Orang tersebut memiliki kesungguhan dan semangat
dalam perang.
Rasulullah (saw) mengatakan, “Aku tidak mengetahui orang tersebut.”
Anas (ra) mengatakan, “Ciri-ciri lelaki
tersebut adalah begini dan begitu.”
Beliau (saw) tetap menjawab, ”Aku tidak
mengetahuinya.”
Ketika
kami tengah membincangkan hal tersebut, seorang lelaki muncul. Lalu Anas
(ra) mengatakan, “Inilah dia orangnya, wahai Rasulullah (saw).”
Beliau (saw) tetap menjawab, ”Aku tidak
mengetahuinya. Namun sesungguhnya pada abad ini akan ada setan dengan ciri
hitam kemerahan.” Ketika orang tersebut mendekat, dia mengucapkan salam kepada
Nabi (saw) dan Nabi (saw) membalasnya. Rasulullah (saw) berkata kepadanya, “Bersumpahlah
kepada Allah, apakah ketika kamu muncul kepada kami, dalam hatimu terbersit
bahwa tiada seorang pun dari kaumku ini yang lebih utama daripada kamu?”
Ia menjawab, “Ya benar – dalam hatiku
terbersit demikian – wahai Rasulullah (saw).” Ia pun masuk masjid dan sholat.”
Jabir (ra) menceritakan, seorang lelaki
melewati Rasulullah (saw). Orang-orang pun membicarakan dan menyanjung kebaikan
dia. Abu Bakar (ra) menuturkan, “Sesungguhnya Rasulullah (saw) pernah melewati
orang tersebut ketika dia sedang sujud. Ketika itu Rasulullah (saw) bergegas
pergi untuk menunaikan sholat. Usai menyelesaikan sholat, beliau kembali kepada
orang tersebut. Ternyata orang itu masih dalam keadaan bersujud. Rasulullah (saw)
besabda, “Siapakah yang dapat membunuh orang ini?”
Dalam redaksi yang lain disebutkan: Rasulullah (saw) berkata kepada Abu
Bakar (ra), “Wahai Abu Bakar, berdiri dan bunuhlah orang tersebut!”
Maka Abu Bakar masuk ke dalam masjid dan
mendapati orang tersebut sedang berdiri sholat. Abu Bakar bergumam dalam hatinya, “Sesungguhnya dalam
sholat ada hak-hak Allah yang mesti dijaga dan ditunaikan. Lebih baik aku
berkonsultasi terlebih dahulu terhadap Nabi (saw).”
Beliau Nabi (saw) bertanya, “Sudahkah
engkau membunuhnya?”
Abu Bakar (ra) menjawab, “Belum, karena aku
melihatnya sedang sholat. Menurutku, sesungguhnya dalam sholat ada hak-hak
Allah yang mesti dijaga dan ditunaikan. Jika aku berkeinginan untuk
membunuhnya, aku pasti telah membunuhnya.”
Nabi (saw) berujar, “Engkau bukan orang
yang mampu melakukannya. Pergilah engkau wahai Umar (ra), dan bunuhlah orang
itu!”
Umar pun masuk masjid. Ternyata orang
itu sedang bersujud sehingga Umar menunggunya cukup lama. Kemudian Umar
bergumam, “Sesungguhnya dalam sujud terdapat hak Allah yang mesti dijaga.” Maka
Umar (ra) kembali. “Seandainya aku berkonsultasi kepada Rasulullah (saw),
sesungguhnya orang yang lebih baik dariku pun telah melakukannya.” Maka Umar (ra)
mendatangi Rasulullah (saw).
Beliau (saw) bertanya, “Sudahkah engkau
membunuhnya?”
Umar (ra) menjawab, “Belum, wahai
Rasulullah (saw). Karena aku melihat dia sedang bersujud. Dan menurutku, sujud
memiliki hak yang mesti dijaga. Jika aku berkehendak untuk membunuhnya, aku
pasti telah melakukannya.”
Rasulullah (saw) bersabda, “Engkau bukan
orang yang mampu melakukannya. Berdirilah wahai Ali (kw) dan bunuhlah olehmu
jika kamu mendapati orang tersebut!”
Maka Ali (kw) pergi menuju orang
tersebut. Ternyata orang tersebut telah keluar dari masjid. Akan tetapi Ali
kembali menuju Rasulullah (saw).
Lalu beliau (saw) bertanya kepada Ali (kw),
“Sudahkah engkau membunuhnya?”
Ali (kw) menjawab, “Belum.”
Orang inilah yang terbunuh dalam perang
Nahrawan melawan Ali (kw), yaitu Dzu Tsadiyyah (Al Mukhaddaj).
Rasulullah (saw) bersabda, “Seandainya
orang tersebut dibunuh hari ini, maka dua orang dari kalangan umatku tidak akan
berselisih, sampai Dajjal keluar.”
Dalam redaksi lain disebutkan:
“Maka (fitnah Dajjal) akan menjadi
fitnah pertama sekaligus terakhir.”
Apa yang membuat seorang yang
mengaku beriman kepada Allah, menjalankan rukun Islam dengan intensif, bahkan
dikisahkan Zus Sudayyah rajin membaca Qur’an dan kalau sujud menempel di lantai
masjid bisa disebut sebagai orang paling sesat dan paling berbahaya? Keakuannya.
[1]Perang Nahrawan – Juli
658 M sebagaimana dikisahkan oleh Ali Audah, Ali bin AbiTalib, Litera Antar
Nusa, hal 292 - 297
[2]kw singkatan
dari karamallahu wajhah.
[3]SWT
singkatan dari Subhanahu Wa Ta’ala yang bermakna Maha Suci Allah dan Maha Tinggi.
[4]Zaki Al-Din ‘Abd Al-Azhim
Al-Mundziri, Ringkasan Shahih Muslim, Mizan, 2009, hal 292-293
[5](ra) singkatan
dari radhiyallahu ‘anhu yang bermakna semoga Allah meridhainya.
[6](saw) singkatan dari Shallalahu
‘alaihi wasalam yang artinya Allah memberi salam dan shalawat (penghormatan).
[7]Keadilan
adalah kata jadian dari kata "adil" yang terambil dari bahasa Arab
"'adl". Kamus-kamus bahasa Arab menginformasikan bahwa kata ini pada mulanya
berarti "sama".
Keadilan diungkapkan oleh Al-Quran antara lain dengan kata-kata
al-'adl, al-qisth, al-mizan, dan dengan menafikan kezaliman, walaupun pengertian
keadilan tidak selalu menjadi antonym kezaliman. 'Adl, yang berarti "sama", memberi kesan adanya dua pihak
atau lebih; karena jika hanya satu pihak, tidak akan terjadi
"persamaan".
Qisth arti asalnya adalah "bagian" (yang
wajar dan patut). Ini tidak harus mengantarkan adanya "persamaan".
Bukankah bagian dapat saja diperoleh oleh satu pihak? Karena itu, kata qisth lebih
umum daripada kata 'adl, dan karena itu pula ketika Al-Quran menuntut seseorang
untuk berlaku adil terhadap dirinya sendiri, kata qisth itulah yang
digunakannya. (Quraish Shihab)
[8]Syaikh Musthafa Muhammad
Abu al Mu’athi, Dahsyatnya Ramalan Rasulullah – Kumpulan Hadis Lengkap
Rasulullah (saw) tentang Masa Depan Umat dan Dunia (terjemahan dari kitab
Nubuat Al-Rasul), Salamadani, 2012