Dalam kisah perihal penciptaan akal yang dicatat pula dalam
hadits qudsy yang ditulis pada kitab Durratun Nasihin karya Syekh Utsman bin
Hasan Asy-Syakir: Ketika Allah menciptakan akal (a7’’), Dia bertanya kepada
akal (a7’’), “Siapa Aku dan siapa kamu?”
Akal (a7’’) menjawab, “Engkau Tuhanku dan aku hamba-Mu.”
Puas dengan jawaban tersebut, Allah berfirman bahwa Dia tidak
akan menciptakan makhluk yang lebih mulia dari akal (a7’’).
Berbeda ketika Dia menciptakan jiwa. ketika jiwa ditanya
Allah, “Siapa Aku dan siapa engkau?”
Jiwa menjawab, “Aku ya
aku, Engkau ya Engkau.”
Jiwa pun disiksa dalam neraka panas selama 1000 tahun. Lalu
ditanya lagi dengan pertanyaan yang sama. Jiwa pun tetap menjawab, “Aku ya aku,
Engkau ya Engkau.”
Jiwa pun disiksa dalam neraka dingin selama 1000 tahun. Lalu
ditanya lagi dengan pertanyaan yang sama. Jiwa pun tetap menjawab, “Aku ya aku,
Engkau ya Engkau.”
Jiwa pun disiksa dalam neraka lapar selama 1000 tahun. Lalu
ditanya lagi dengan pertanyaan yang sama. Jiwa pun akhirnya menyerah dan
menjawab, “Aku hamba-Mu dan Engkau Tuhan-ku.”
Dari
kisah tersebut sudah jelas bahwa yang dihukum adalah jiwa yang menyebut dirinya
dengan “aku” atau “saya”.
Dalam
penjelasan Yesus (as) dalam Injil Barnabas sebagai berikut: Berkata Yesus, “Adakah
seorang manusia dijumpai yang masih ada kehidupan pada dirinya, akan tetapi
kemampuan “aku” tiada bekerja padanya?”
“Tidak”, kata pengikut-pengikut itu.
“Kamu menipu dirimu sekalian”, kata Yesus.
“Karena orang tuna netra, tuna rungu, tuna wicara dan cacat puntung, dimana “aku”nya?
Dan kapan seorang manusia berada dalam pingsan?”
Kemudian para pengikut itu telah bingung,
ketika Yesus berkata, “Ada tiga hal yang menjadikan manusia, yaitu ruh, “aku”
dan daging (a1 s/d a4). Tiap satu diantaranya terpisah. Allah kita menciptakan
ruh dan jasad (a1 s/d a4), sebagai yang telah kamu dengar, tetapi kamu belum
mendengar bagaimana Dia menciptakan “aku”. Oleh sebab itu besok kalau Allah
memperkenankan, aku akan menceritakan kepada kamu semua.”
…
“Demi Allah [yang] pada
hadirat-Nya ruhku berdiri, banyak yang sudah tertipu mengenai kehidupan kita,
karena demikian rapatnya hubungan antara ruh dan “aku”. Sehingga sebagian besar manusia mengiyakan ruh dan “aku” adalah hal yang satu dan
sama, namun terbagi dalam penugasan bukan dalam wujud. Mereka menyebutnya
sensitif (rasa perasaan), vegetatif (rasa tumbuh) dan jiwa yang cerdas (intellectual soul). Tetapi sungguh aku
katakan kepadamu, ruh itu adalah satu, yang berakal dan hidup. Orang-orang dungu manakah akan mereka
dapatkan ruh berakal (a7’’) tanpa kehidupan? Tentulah tidak pernah. Tetapi kehidupan
tanpa “aku” dan kehendak (a6’)
sudah dijumpai, sebagaimana keadaan
ketidak-sadaran, dimana “aku” meninggalkannya.”
Thaddeus menjawab, “O
Guru, apabila “aku” meninggalkan kehidupan, seorang manusia tidak mempunyai
kehidupan.”
Yesus menjawab, “Ini
tidak benar, sebab manusia kehilangan kehidupan apabila ruh meninggalkannya,
karena ruh itu tidak kembali lagi ke dalam tubuh (a1 s/d a4),
terkecuali oleh mukjizat. Akan tetapi “aku” akan hilang lantaran ketakutan yang dialaminya atau
kesedihan yang sangat diderita oleh “aku”nya. Justru “aku” itu telah diciptakan Allah untuk kesenangan dan dengan
kesenangan itu sendiri, dia hidup. Bahkan sebagaimana tubuh (a1 s/d a4) itu
hidup oleh makanan, ruh itu hidup dengan ilmu dan kasih sayang.
“Aku” memberontak menentang ruh melalui perasaan marah.
Hal ini berarti dia telah kehilangan kesenangan surga karena dosa. Oleh sebab
itu adalah kewajiban yang paling utama untuk memeliharanya dengan kesenangan
ruhani bagi orang yang tidak ingin hidupnya dalam kesenangan jasmani.
Mengertikah kamu?
Sungguh aku berkata
kepadamu bahwa Allah telah menciptakannya, telah menghukumnya ke neraka dan ke
dalam salju dan es yang tak tertahankan karena ia berkata bahwa ia adalah
Allah. Tetapi ketika Dia menghilangkan pemeliharaan terhadapnya dengan membawa
pergi makanannya dari padanya, barulah ia mengetahui bahwa ia adalah seorang
hamba Allah dan pekerja bagi tangan-tangan-Nya.
Dan sekarang ceriterakanlah kepadaku, bagaimana “aku” bekerja pada orang kafir?
Pasti itu adalah sebagai Tuhan (Ilah) di dalam diri mereka, mengingat bahwa mereka mengikuti “aku” itu, memungkiri akal (a7’’)
dan hukum Allah. Oleh sebab itu mereka menjadi
tak menyenangkan dan tak beramal shalih.”
Dari kisah-kisah di atas bisa
dimengerti kenapa orang diciptakan di atas bumi? Yaitu agar menjadi sarana
untuk menghukum “aku” yang makar. Pertama aku akan digembleng di neraka panas,
yaitu kehidupan dunia ini yang berasal dari panas.
Menurut Islam, selanjutnya aku digembleng di neraka dingin,
yaitu alam kubur. Hal ini terjadi kalau dalam gemblengan di dunia, akunya masih
belum menyadari jati dirinya dan tujuannya. Rasulullah (saw) bersabda,
“Sesungguhnya liang kubur itu menyeru dengan lima kalimat. Ia berkata, “Aku
adalah rumah kesendirian, maka bawalah teman kepadaku. Aku adalah rumah ular,
maka bawalah penawar kepadaku. Aku adalah rumah kegelapan, maka bawalah lampu
kepadaku. Aku adalah rumah tanah, maka bawalah permadani kepadaku. Aku adalah
rumah kemiskinan, maka bawalah bekal kepadaku.””
Perihal neraka dingin karena terbukti bahwa raga seseorang
sudah mati dingin. Lalu kemana dengan sayanya, dayanya, hatinya dan pikirannya?
Kalau memperhatikan diri sendiri, nampak ada kecenderungan bahwa saya selalu
menuju kepada yang dicintai. Bayangkan kalau saya di alam kubur tanpa raga (a1
s/d a4)? Barangkali keadaan frustasi itulah yang akan dialami. Seperti orang
hidup, namun sadar bahwa dirinya lumpuh.
Bagaimana pula dengan sarana-sarana bathin seperti daya (a5),
rasa (a5’), kemauan (a6’), memori (a5’’), pengertian (a6’’) dan akal (a7’’)
yang dianugerahkan ketika hidup di dunia? Apakah bisa saya fungsikan? Sedangkan
kenyataannya saya adalah entitas yang dikuasai, yang berarti saya tidak bisa
apa-apa. Apalagi ketika saya ditanya tentang tanggung jawab yang harus saya
emban saat hidup di dunia.
Di Jawa saya menyaksikan ada beberapa kejadian bahwa yang
sudah wafat masih bisa diajak berkomunikasi, bisa dimanfaatkan untuk menjadi
perantara. Walau tidak semua. Ada pula kejadian, dimana mereka yang sudah
mendahului dan belum sempat mengenal Yang Kuasa, namun memiliki akhlak yang
baik mendapat ampunan dengan mengenal Yang Kuasa melalui orang-orang tertentu.
Bahkan banyak kisah tentang orang yang meninggal menyampaikan pesan melalui
mimpi.
Namun ya begitu, karena alam qubur itu gelap tidak ada panas,
tidak ada cahaya sehingga informasi yang bisa kita ambil masih tetap samar. Saya
hanya bisa menduga memakai teori (A9), dimana dugaan saya itu hanya bisa
terjadi atas izin dari Yang Kuasa. Tanpa izin-Nya tak akan mungkin hal tersebut
terjadi.
Dari
kitab lama kalau pun saya masih pula tidak sadar diri, maka akan digembleng di
neraka lapar, yaitu di padang Mahsyar. QS Az Zumar 39 ayat 68-70: “Dan ditiuplah
sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang
dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi
maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu. Dan terang benderanglah bumi (padang
Mahsyar) dengan cahaya Tuhannya; dan diberikanlah buku dan didatangkanlah para
Nabi dan saksi-saksi dan diberi keputusan di antara mereka dengan adil, sedang
mereka tidak dirugikan. Dan disempurnakan bagi tiap-tiap jiwa apa yang
dikerjakannya dan Dia lebih mengetahui apa yang mereka kerjakan.” Untuk wilayah
ini hanya bisa didekati dengan kepercayaan (A10).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar