Manusia semestinya wajib mencari tahu, siapa Tuhan? Siapa dirinya? Dan
kenapa berada di sini?
Cobalah bertanya kepada orang beragama tentang siapa yang dimaksud dengan Tuhan?
Pasti jawabnya adalah Pencipta alam semesta. Umumnya mereka tidak bisa
menjelaskan lebih lanjut.
Ada juga orang yang meneliti perihal Tuhan, selain menggunakan Kitab Suci,
mereka juga menggunakan referensi sejarah seperti pepatah: “Kuntu Kanzan makhfiyyan ahbabtu an
‘urifa fa khalaqtul khalqa fabi ‘arafu-ni.” Yang artinya, “Aku adalah perbendaharaan tersembunyi, Aku cinta dikenal. Aku ciptakan makhluk-Ku agar
mengenal-Ku.” Sebagian orang menambahkan kalimat: “… dengan Allah lah mereka
mengenal Aku”.
Dari pernyataan ini, mereka menyimpulkan bahwa terdapat dua buah sifat Tuhan yang saling berlawanan. Yaitu yang satu selalu berupaya menyembunyikan
jati Diri-Nya. Yang satu lagi cinta untuk dikenal. Keberlawanan ini seolah menyatakan bahwa Dia meminta manusia untuk menemui-Nya
di Persembunyian-Nya, bukan sebaliknya. Kalau manusia tidak mau hadir
kepada-Nya atau bahkan meminta Tuhan untuk menampakkan Diri, maka akan terjadi
bencana. Contoh adalah kisah Nabi Musa (as) saat meminta Yang Tersembunyi untuk menampakkan jati
Dirinya agar dia bisa melihat-Nya. QS Al A’raaf 7 ayat 143: Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan
Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman kepadanya, berkatalah
Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat
melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak
sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya
niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada
gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan.
Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku
bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman".
Dan memang pada kenyataannya, semua bencana selalu didahului dengan
tanda-tanda kehadiran Ilahi, seperti peristiwa lumpur Lapindo.
Mereka-mereka yang mengaku sudah mengerti, kemudian berupaya menjelaskan
perihal keberadaan Tuhan dengan bentuk bangunan atau seni instalasi. Misalnya pada
zaman wali, orang-orang membuat ibarat berupa tata
kota beserta bangunannya, misalnya masjid. Masjid terletak di pusat kota dengan
bangunan kadipaten, tempat pasukan, pasar dan alun-alun. Pada masjid selalu
dibangun gapura sebagai pintu masuk persis menghadap ke arah pengimaman masjid.
Mulut jalan yang disebut dengan gapura merupakan lambang dari Al Ghaffur, Sang Pemberi ampunan. Maknanya gapura akan bisa ditemukan bilamana bersikap Istighfar, yaitu upaya manusia untuk hadir
menemui Tuhannya.
Seni instalasi ini adalah untuk menjelaskan perihal Hadits Qudsy yang diriwayatkan oleh Tirmidzi (ra):
Dari Anas bin Malik (ra), dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah (saw) bersabda,
“Allah berfirman, “Wahai anak Adam, sesungguhnya selama kamu berdoa dan
mengharap hanya kepada-Ku, Aku memberi ampunan kepadamu terhadap apa yang ada
padamu dan Aku tidak mempedulikannya.
Wahai anak Adam, seandainya dosamu sampai ke langit, kemudian kamu minta
ampun kepada-Ku, maka Aku memberi ampunan kepadamu dan Aku tidak
mempedulikannya.
Wahai anak Adam sesungguhnya apabila kamu datang kepada-Ku dengan
kesalahan sepenuh bumi, kemudian kamu menjumpai Aku dengan tidak menyekutukan
Aku dengan sesuatu, niscaya Aku datang kepadamu dengan ampunan sepenuh bumi.”””
Ada juga sekelompok orang yang meneliti Kitab Suci
semisal Al Qurán dan menyimpulkan bahwa Tuhan memiliki tiga sebutan utama
sebagaimana terdapat dalam QS An Naas 114 ayat 1-3: Katakanlah, “Aku berlindung
kepada Rabb manusia. Raja (Malik)
manusia. Sesembahan (Ilah) manusia. Jadi dalam Quran terdapat beberapa
penggunaan istilah tentang Tuhan, yaitu Rabb, Malik dan Ilah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar