Agama yang
pada mulanya adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan
peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan
dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya[1]. Pada
kenyataannya kehidupan manusia dianggap tidak tertata bahkan telah kacau balau,
saling membunuh, saling ingin menguasai satu sama lain, diantaranya dengan
dalih agama. Akibatnya para ahli pun bingung menetapkan pengertian baru perihal
agama ataukah karena kedangkalan pemahaman agama yang menjadi sumber konflik.
Bilamana tetap
menggunakan kenyataan bahwa agama diharapkan sebagai solusi secara sistematis atas
keselamatan umat manusia, maka dari pengamatan sejarah peradaban, upaya untuk
mendapatkan keselamatan berubah bentuknya sesuai dengan zamannya. Misalnya
pada zaman sebelum ada peradaban, dimana orang hidup dari alam dengan cara
mengumpulkan makanan hingga berburu binatang, memiliki kepercayaan
kekuatan-kekuatan alam, diantaranya disebut dengan Animisme[2]-Dinamisme[3]-Totemisme[4]. Kepercayaan
seperti ini sebagai upaya masyarakat untuk bisa mendapatkan makanan yang
dikehendaki termasuk menjaga kelestarian ketersediaannya. Kepercayaan model ini
cenderung menggunakan kepercayaan akan adanya daya-daya yang ada pada alam.
Selanjutnya jumlah
orang semakin banyak, masyarakat terbentuk, maka kebutuhan makan meningkat.
Sebagian orang memilih menetap dan mulai melakukan upaya membuat usaha
perkebunan, peternakan dan pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Masyarakat semakin membesar dan saling berinteraksi untuk membentuk suku-suku sesuai
genetika atau geografinya dan diikat oleh rasa senasib sepenanggungan atau
memiliki tujuan yang sama. Dengan adanya perluasan kelompok masyarakat, maka
perlu ada pemimpin yang kuat yang bisa memberikan jaminan keselamatan kepada
masyarakat tersebut dan tentunya Negara mulai terbentuk.
Pada zaman
itu Negara beserta pemimpin sebagai pemberi jaminan keselamatan. Sebagai penjamin
keselamatan, pemimpin dipercaya memiliki kekuasaan atau mendapatkan kekuasaan
dari langit. Pemilik kekuasaan yang ada di langit dan memberi mandat langit
kepada para pemimpin disebut dengan dewa. Inilah awal munculnya agama dalam
konteks sarana untuk mendapatkan keselamatan, yaitu agama Hindu dari India.
Jadi
kepercayaan berubah menjadi agama dengan ditandai adanya agama Hindu dari India
yang berbahasa Sanskerta. Kebetulan kata agama[5] berasal
dari bahasa Sanskerta agama yang
berarti tradisi. Sehingga agama adalah sikap dan tindakan agar tidak terjadi
perpecahan melalui penyatuan tradisi. Dengan demikian agama sebagai pengikat
Negara agar tidak pecah dan masyarakat bisa menikmati keselamatan melalui
keberadaan Negara dan pemimpinnya yang merupakan titisan dari para pemegang
kekuasaan atau dewa.
Selanjutnya
menurut pengamatan Siddharta Gautama seorang putra mahkota dari kerajaan
Kapilavastu di Nepal, meski Negara sudah bisa memberikan keselamatan, ternyata dia masih mendapati
rakyat yang menderita karena kesengsaraan[6]. Dari
pengamatannya, kesengsaraan terjadi sebagai akibat dari ketidak-mampuan
orang
untuk memenuhi hasrat kemauannya. Budha kemudian
memberikan solusi berupa adanya aturan main yang akan mengekang kemauan orang sehingga bisa
memperoleh keselamatan atau terbebas dari kesengsaraan. Aturan
main tersebut dalam kehidupan bernegara disebut dengan undang-undang.
Undang-undang disusun sebagai penjamin keselamatan warga Negara, termasuk
aturan untuk melindungi keselamatan warga Negara dari serbuan dari luar. Jadi
yang mengikat kesatuan warga Negara adalah aturan atau disebut dengan
Undang-Undang.
Melalui
pikiran, orang selalu berupaya menjangkau hal-hal di luar wilayahnya. Muncul
dorongan untuk melakukan eksplorasi berupa pengembangan diri dan dorongan
ekspansi berupa pengembangan wilayah. Imperium baik berupa Negara maupun
perusahaan mulai dibangun sehingga kebutuhan masyarakat pun meningkat. Bukan
lagi sekedar kebutuhan fisik, kebutuhan emosional pun berkembang. Ekonomi
berkembang, uang diciptakan sebagai sarana bertransaksi. Tanpa pengelolaan
ekonomi dan permodalan, orang atau Negara menjadi sengsara karena akan menjadi
korban eksplorasi dan ekspansi. Pemilik modal pun menjadi juru selamat.
Wilayah
Timur Tengah pada zaman itu menjadi pusat ekonomi dunia. Modal besar diperlukan
baik untuk perdagangan maupun ekspansi politik membangun imperium. Eksploitasi
orang yang satu terhadap orang yang lain yang tidak memiliki modal telah
menciptakan kesengsaraan, yakni muncul perbudakan. Juru selamat diperlukan.
Maka berkembanglah agama Kristen dengan Jesus sebagai Juru Selamat. Jesus hadir
dengan mukjizat dan sikap kasih sayang, sehingga mampu membebaskan masyarakat
dari kesengsaraan akan penindasan. Ekonomi atau modal itulah mukjizatnya.
Lebih dari lima
abad kemudian, di wilayah Timur Tengah lain, yaitu dari daerah Arab yang
gersang dan membosankan, muncullah agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad (saw)
Islam yang bermakna keselamatan, berarti dibutuhkan oleh umat manusia, para
pencari keselamatan. Seseorang yang menghabiskan waktunya selama sekitar 15
tahun menyendiri mencari solusi akan keselamatan menemukan kesimpulan bahwa ilmu
akan menjadi penyelamat umat manusia. Ilmu yang merupakan kesimpulan dari
pengamatan alam semesta akan menjadi solusi atas kesengsaraan umat manusia. Nabi
Muhammad (saw) mendorong penggunaan pengamatan alam untuk memperoleh ilmu yang
bisa dimanfaatkan untuk memperoleh keselamatan. Dengan ilmu maka persoalan para
pencari selamat (umat manusia) bisa diselesaikan.
Nabi Muhammad
(saw) saat itu baru menginisiasi masyarakat untuk melakukan pengamatan alam
semesta. Muhammad (saw) seperti diingatkan kembali atas fitrah kemanusiannya. Yaitu
fitrah yang membuat manusia berada di puncak jagad dengan pemanfaatan sarana
hidup yang berupa pikiran.
Melalui
pengamatan alam, orang memperoleh data atau informasi atau memori dari alam
semesta yang disebut dengan ilmu atau pengetahuan. Kemudian mereka memproses
informasi tersebut untuk menghasilkan sesuatu yang akan membawanya kepada
keselamatan berupa kenikmatan.
Kemudian orang
dengan menggunakan ilmunya mulai mengembangkan pengertiannya. Dengan pengertian
yang dibangun, maka disusunlah rumus-rumus tentang kelakuan alam semesta. Dari
rumus-rumus yang disusun, manusia bisa memanfaatkan dan peradaban modern terbentuk.
Peradaban modern yang ditandai dengan munculnya berbagai penemuan yang membuat
orang semakin bisa menggali kenikmatan di luar yang sudah ada. Orang saling
berjuang menjadi penemu. Kekuasaan yang membawa keselamatan hadir dalam bentuk
penemuan-penemuan yang semakin membawa kepada kenikmatan-kenikmatan lebih.
Tidak adalagi Nabi-nabi yang muncul, yang ada adalah orang pandai yang menjadi penemu
dan hasil temuannya bermanfaat buat orang banyak, yaitu teknologi.
Zaman modern
berarti zaman kesadaran akan peradaban, karena orang sudah menggunakan
pengertiannya. Dengan kesadaran tersebut, maka boleh dikatakan bahwa setiap
orang mulai menyadari bahwa selama ini mereka hanya menjadi obyek dari
kehidupan. Jadi saatnya orang-orang menjadi subyek dari kehidupan.
Di saat inilah
orang-orang mulai menggunakan peran akalnya, karena dengan akal diperoleh cara.
Kemanusiaan akhirnya muncul untuk mengambil perannya. Orang-orang menjadi
semakin cerdas, dimana mereka bisa menggunakan kecerdasannya untuk memenuhi
hasrat keselamatannya. Bahkan kecerdasan buatan pun dikembangkan untuk membantu
manusia menyelesaikan permasalahannya termasuk menjaga dirinya agar terbebas
dari permasalahan.
Dengan
adanya teknologi, sebagian orang menjadi malas berfikir, namun ada juga yang
memandang hal ini sebagai peluang, terutama orang-orang cerdas. Mereka
mengembangkan teknologi yang berbasis pada kecerdasan untuk memberikan
kemudahan bagi umat manusia. Berkembanglah teknologi informasi sebagai
penyelamat manusia. Dan dunia pun dalam genggaman individu manusia, yaitu dalam
bentuk laptop atau handphone.
Dengan
adanya kenyataan bahwa berbagai agama telah ada di bumi ini dan sedemikian
sulitnya disatukan, maka dari arah selatan, yaitu Jawa (Indonesia) muncullah
sebuah konsep yang diharapkan bisa menyatukan umat manusia, yaitu Pancasila.
Esensinya adalah agama untuk manusia, dimana yang dituju adalah perikemanusiaan
yang berketuhanan.
Skema Peradaban Agama
Dari sejarah
agama, bisa ditarik kesimpulan bahwa agama adalah pengikat suatu masyarakat
atau kelompok masyarakat. Hal ini senafas dengan pengertian religi yang berasal
dari Bahasa Latin Religare[7]
yang berarti mengikat kembali.
Dengan pendekatan sejarah kepercayaan dan agama, nampaknya upaya-upaya
keselamatan berbeda-beda sesuai zaman. Sehingga agama sepertinya bersifat
situasional. Meski secara peradaban agama bersifat situasional, namun kepercayaan
dan agama memiliki suatu garis merah perihal esensi tujuannya. Esensi agama ini
tidak berubah semenjak manusia pertama hingga akhir nanti, yaitu sikap dan laku
untuk memperoleh keselamatan dan kebahagiaan.
[2] Wikipedia 20 Jun 2018: Kepercayaan Animisme (dari bahasa Latin anima atau “roh”) adalah kepercayaan
kepada makhluk halus dan roh
[3] Wikipedia 20 Jun 2018: Dinamisme adalah pemujaan terhadap roh nenek
moyang yang telah meninggal menetap di tempat-tempat tertentu
[4] Wikipedia 20 Jun 2018: Totemisme adalah kepercayaan atau agama yang
mempercayai adanya daya atau sifat Ilahi yang dikandung sebuah benda atau
makhluk hidup selain manusia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar