Orang
Jawa zaman dahulu, diantaranya diwakili oleh para wali di tanah Jawa mengingatkan umat
akan jati dirinya dan
Tuhannya dalam
bentuk seni tata kota. Seni tata kota Kabupaten atau
Kota Praja biasanya terdiri dari Alun-alun yang berbentuk segi empat, dengan
pohon beringin di tengahnya. Melambangkan diri manusia yang oleh orang Jawa
disebut dengan sedulur papat lima pancer/badan.
Di bagian depan yang membelakangi gunung, terdapat kadipaten
yang merupakan simbol dari saudara yang pertama, yakni jasmani. Jasmani
memiliki naluri berupa keinginan untuk dipuaskan tanpa memandang aturan hukum
dan moralitas, sehingga digambarkan oleh Qur’an dengan kalimat “An nafs al ammarah bis-suu’ yang artinya
diri yang menyuruh pada kejahatan”. Kadipaten yang harus dirawat dengan baik,
karena melalui kadipaten atau jasmani inilah manusia berkarya di dunia. “Saya” seseorang yang menguasai jasmaninya
sangatlah berbahaya karena naluri ingin dipuaskan tidak mengenal moral, hukum
keadilan dan kesetaraan.
Gambar 1 Kabupaten Tuban (Koleksi M Erfan
Iskandar, 2011)
Di sisi kanan kadipaten umumnya terdapat
penjara, kodim dan sekolah. Tempat ini melambangkan kemampuan/qudrat (a5) manusia. Qur’an
menyebut dengan, “An nafs al lauwamah
yang artinya diri yang suka mencela”. Mereka yang “sayanya” dibiarkan menguasai singgasana ini akan memiliki
kecenderungan suka mencela. Kebanyakan orang memanfaatkan kemampuannya untuk
kepuasan “sayanya”. Padahal
kemampuan (a5) adalah tentara yang hebat. Kemampuan perlu dikembangkan dengan pendidikan
agar semakin sempurna, yakni menciptakan atau mengkreasikan sesuatu.
Gambar 2 Deretan Penjara – Kodim – Sekolahan
yang berada di sisi timur Alun-alun Tuban (Koleksi M Erfan Iskandar, 2011)
Di sisi depan, yang menghadap ke laut, terdapat pasar/tempat
hiburan yang merupakan tempat kesibukan. Orang
yang “sayanya” menguasai perasaan hatinya (a5’), mereka akan memanfaatkan informasi baik dan informasi buruk untuk kesenangannya. Namun
kalau mereka mampu
menggunakan perasaannya sebagai
pengarah akunya dengan arahan dari pikiran (a7), maka mereka akan semakin memperoleh keberuntungan berupa nikmat. Qur’an melambangkannya dengan
kalimat: “wa alhamaha fujuraha wa taqwaha, qad aflaha man zakaha.” Yang artinya
dan mengilhamkan kejahatan dan ketaqwaan, sungguh beruntunglah mereka yang
mensucikan dirinya.
Gambar 3 Tempat Hiburan dan Pertokoan yang
berada di sisi utara Alun-alun Tuban (Koleksi M Erfan Iskandar, 2011)
Di sisi kiri adalah masjid yang
merupakan tempat bersujud, tempat mengabdi. Seorang yang mengaku abdi adalah
orang mereka yang menyerahkan dirinya
melalui kemauan yang diterangi oleh pengertian. Kemauan
yang diterangi pengertian akan membawa “sayanya” rela untuk menerima kenyataan
dan mengikuti perintah Kuasa. Hal ini digambarkan oleh Qur’an dengan panggilan mesra: “Wahai jiwa yang tenang (an
nafs al muthmainah) kembalilah
kepada Rabb-mu dengan ridha dan diridhai.”
Gambar 4 Masjid Tuban yang berada di sisi
barat Alun-alun Tuban (Koleksi M Erfan Iskandar, 2011)
Sedangkan alun-alun yang kosong yang
meliputi semuanya itu adalah melambangkan pikiran
manusia. Di tengahnya
terdapat pohon beringin yang rindang. Melalui alun-alun tersebut, perintah dari
sang raja (adipati) disampaikan, melalui kebiasaan pepe dekat pohon beringin
tersebut, keinginan rakyat disampaikan. Ini
adalah lambang pikiran (a7) atau Baitul Makmur tempat dimana perintah dari
Kuasa atau keluhan dari “saya” dikomunikasikan.
Gambar 5 Pohon Beringin yang terletak dalam
Alun-alun Tuban (Koleksi M Erfan Iskandar, 2011)
Dari kenyataan hidup dan dari kitab suci menginformasikan
bahwa jelas manusia adalah
hamba (saya), yang berhak atas surga-Nya. Namun kalau hamba tersebut cinta
kepada kenikmatan surga, maka dia tidak akan bisa kembali kepada Tuhannya.
Sebaiknya tetaplah berupaya untuk kembali kepada asal-usulnya atau sangkan
parannya, yaitu Kuasa. Dalam istilah Islam disebut dengan “inna Lillahi wa inna
ilaihi raji’un”.
Karena
pengajaran para Wali menggunakan sarana berupa seni tata kota, otomatis
menimbulkan multi tafsir. Sehingga sulit untuk dimengerti. Namun itu adalah
kenyataan yang harus diterima masyarakat.
Untuk
orang zaman sekarang, melalui rumus A atau wahyu Jagad Pitu lah kejelasan
tentang hakekat manusia dan Tuhannya dibeber.
Bukankah
hanya manusia yang bisa menceriterakan tentang hidup dan kehidupan, melalui
pikirannya (a7)? Bukankah itu Dewa Ruci, dimana alam semesta berada di
dalamnya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar